Rekan-rekan milis,
Posting saya ini sebenarnya menindak lanjuti posting dari rekan milis Pak 
Sugiri dibawah ini, yang saya kutip sebagian, karena kalau saya langsung reply 
maka posting yang sebelum-sebelumnya akan ikut terposting ulang.
AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA.  Boen Bio &  Li Thang  GUS DUR
Posted by: "ibcindon" ibcin...@rad.net.id   ibcindon
Mon Feb 1, 2010 7:36 pm (PST)
…

Dalam hal TMII bagaimana kalau kita gunakan untuk suatu lahan tempat 
performance, belajar dan mempelajari budaya. Mirip TIM Jakarta.

Bangunan utama dapat diberi nama BUN BIO GUS DUR ( tempat budaya GUS DUR ) atau 
pun LI THANG GUS DUR ( Hall/aula pembelajaran GUS DUR ). 

Dilengkapi dengan perpustakaan, semacan CHINESE HERITAGE CENTER di SINGAPORE, 
yang sekarang dipimpin oleh Prof. LEO SURYADINATA .

Management dapat mengelola program yang terarah yang tetap dan teratur dilokasi 
ini. Mungkin acara budaya TiongHoa, pameran, acara kesenian, diskusi, ceramah, 
seminar dst, dst.

Income pemeliharaan dapat dengan menyewakan HALL / LITHANG untuk upacara dan 
pesta. Lahan parkir luas sudah pasti, pesta taman pun dapat diselengarakan 
disana.

Dengan srana gtaman serba mirip HangChow atau Sihu.

Melihat kecenderungan masyarakat klas the have di Jakarta yang suka show off , 
jika fasilitas yang disediakan serba luas dan nyaman rasanya sarana ini tidak 
akan pernah kekurangan peminat sepanjang tahun.

Juga keinginan memperingati GUS DUR akan teringat sepanjang waktu.

Pemeiliharaan dan penelitian budaya Tionghoa di Indonesia dapat terselengarakan 
secara berkesinambungan………..

Banyak tujuan dapat diperoleh pada waktu yang bersamaan…..
MARI KITA BAHAS BAIK-BAIAK……………………………. Kenapa tidak ??????

Salam erat,

Sugiri.

Comment dari saya:

Pak Sugiri dan rekan rekan milis Budaya Tionghoa,
Setuju,  kita bahas baik-baik dan juga dengan kepala dingin barangkali ya.
Menurut saya ide  anda sangat bagus untuk kita pikirkan bersama dan usulkan ke 
Pengurus Taman Budaya Tionghoa untuk dapat dipertimbangkan.
Soal adanya beberapa bangunan atau bentuk arsitektur yang tidak mewakili 
arsitektur Tionghoa Indonesia saya rasa janganlah jadi sumber kebencian atau 
rasa permusuhan terhadap Taman Budaya Tionghoa ini.  Walaupun secara jujur saya 
pribadi dan beberapa teman  juga  merasa kecewa akan hal itu,  pada akhirnya 
kami mencoba menerimanya sebagai suatu "cost" yang memang mesti kita bayar.

Sederhananya begini, mana yang kita akan pilih, suatu lahan yang cukup luas di 
tempat yang aman dan bisa diterima oleh lingkungan sekitarnya kalau diatasnya 
dibangun suatu tempat yang nantinya jelas bernuansa Tionghoa Indonesia atau 
pusat kebudayaan Tionghoa,  namun diatas lahan tersebut terlanjur ada beberapa 
bangunan yang secara arsitektur tidak mewakili kebudayaan Tionghoa Indonesia, 
dengan pilihan lainnya  yaitu lahan kosong namun terpencar-pencar, dengan 
kesulitan sosial politik yang harus dihadapi dalam bentuk penolakan dari 
masyarakat sekitarnya yang kita tahu sudah menjadi ciri yang makin mengemuka 
saat ini?  Meskipun dana ada, tidak usah tanah satu hektar,  untuk bisa 
dapatkan tanah beberapa ratus meter untuk sekolah atau rumah sakit atau apapun 
selama dianggap terkait dengan agama atau etnis tertentu yang dianggap mewakili 
agama tertentu yang berbeda dengan agama dari masyarakat sekitar, sebagian 
besar tidak akan bisa direalisasikan karena ditolak masyarakat sekitar lokasi 
tersebut.
Karena itu kami berpendapat dari segi keamanan dan penerimaan masyarakat 
sekitar, lokasi dalam TMII ini sebenarnya merupakan suatu keunggulan yang 
sangat patut disyukuri dan dimanfaatkan dengan bijaksana oleh masyarakat 
Tionghoa Indonesia.
Tapi tentunya jangan pula gara-gara itu kita jadi lupa untuk tetap melestarikan 
sejarah budaya dan arsitektur Tionghoa yang tersebar di seluruh Indonesia, 
selama masih ada dalam kontrol kita. 

Sebenarnya ada satu hal lagi yang mengecewakan kalau kita terpaku pada keadaan 
Taman Budaya Tionghoa saat ini . Kalau kita berkunjung kesana sekarang, maka 
yang terbayang adalah bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa yang 
kaya raya, tidak ada orang Tionghoa yang miskin dan sederhana. Mungkin ini yang 
membuat sebagian dari kita kalau datang kesana mengatakan, mohon maaf,  agak 
merasa muak dan sebal, merasa melihat sesuatu kebohongan yang tidak cocok 
dengan realita.  Kalau sebagian dari kita yang orang Tionghoa saja punya 
perasaan seperti itu bagaimana yang kita bisa harapkan perasaan pengunjung dari 
suku lainnya yang datang ke anjungan ini? Padahal saya lihat salah satu misinya 
Taman Budaya Tionghoa (bisa dilihat di 
http://www.taman-tionghoa.com/visi-misi.htm) berbunyi: "4. MEMUPUK RASA SENASIB 
DAN SEPENANGGUNGAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KESATUAN DAN PERSATUAN NASIONAL." 
Jadi saat ini rupanya masih ada jarak antara kondisi Taman Budaya Tionghoa dan 
misinya ya?

Mungkin suatu saat kalau antara lain contohnya kehidupan pedagang lada Tionghoa 
di Banten di abad 16,  petani gula Tionghoa di Bataviasche Ommelanden di abad 
17 dan 18 atau kehidupan para buruh tambang timah  Tionghoa di Bangka pada abad 
19, buruh tambang Tionghoa di Kalimantan Barat, atau pedagang mindring Tionghoa 
  serta proses silang budaya yang berjalan dalam perioda lebih dari 300 tahun 
ini antara orang Tionghoa  dengan suku lain di Indonesia dalam segala bidang 
kehidupan, mulai dari pertanian, makanan, pakaian, kesenian dll,yang hasilnya 
bisa dikenali dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang, bisa digambarkan 
dalam suatu museum di Taman Budaya Tionghoa ini, persepsi yang menyesatkan ini 
bisa terhapuskan, dan sejarah orang Tionghoa Indonesia yang lebih lengkap dan 
lebih jujur bisa lebih terlihat.

Mungkin sebagai contoh kalau kita datang ke Museum Sejarah Singapura  di 
Sentosa Island dimana kita lihat sejarah orang Tionghoa Singapura diperlihatkan 
secara lebih lengkap an proporsional, mulai  kehidupan para kuli Tionghoa yang 
sangat melarat pada jaman dulu mereka datang  sampai dengan kehidupan modern 
masyarakat Tionghoa  sekarang ini di Singapura.

Kata orang tua jaman dulu, kalau kita pingin dapat jeruk yang manis tapi 
ternyata dapatnya jeruk yang sangat asam, jangan langsung dibuang ke tempat 
sampah, tapi peraslah  jeruk asam itu lalu tambahkan gula secukupnya menjadi 
air jeruk yang segar.
Bagaimana kalau teman teman milis Budaya Tionghoa ini sumbangkan pikiran dan 
ide supaya Taman Budaya Tionghoa ini berubah sedemikian sehingga kalau suatu 
waktu kita atau anak cucu kita datang kesana menjadi makin pintar dan makin 
mengenal budaya Tionghoa Indonesia dan bukannya menjadi bingung dan bete? 

Terima kasih dan salam,

Bian



Kirim email ke