************************
 Laporkan Situasi lingkungan
 <[EMAIL PROTECTED]>
 Atau Hub Eskol Hot Line
 Telp: 031-5479083/84
 **************************

Pembaca Eskol-Net yang terkasih,
Berikut kami sampaikan sebuah berita yang cukup mengejutkan dan sudah
tersebarluas seperti yang dilansir oleh Gatra Online di bawah ini.
Mohon berdoa untuk setiap kemungkinan yang terjadi dan berdoa agar
pemerintah dapat mengambil sikap yang tegas dan bijaksana dalam mengatasi
hal ini. Tuhan memberkati.

Salam dan doa,
Redaksi Eskol-Net
================

Jakarta , Senin, 05-03-2001 00:28:51
Fatwa Mati
Satu Penginjil, Satu Pendeta, Satu Fatwa: Mati!

http://www.gatra.com/index2.php3?id=2001030412135169&rubrik=Nasional&mid=2
GATRA.com - EMPAT utusan Forum Ulama Umat (FUU), Bandung, Sabtu pagi
pekan lalu, bertandang ke Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Metro Jaya.
Utusan FUU yang dipimpin Hadi Muhammad itu berencana menemui Kapolda
Metro Jaya, Inspektur Jenderal Mulyono Sulaiman. Tapi, si tuan rumah tak
ada di tempat. Mereka hanya diterima Sekretaris Pribadi Kapolda Metro,
Inspektur Satu Kristian.

Dari Mapolda, mereka meneruskan ke Markas Besar Kepolisian RI (Mabes
Polri). Maksudnya, mau menemui Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro.
Ternyata, ia pun tak ada di tempat. ''Bapak sedang ke luar kota,'' kata
seorang bintara. Tak puas dengan jawaban itu, utusan FUU ini menuju ke
kediaman Kapolri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, tak jauh dari Mabes
Polri. Lagi-lagi, utusan FUU ini kecele. Mereka hanya ditemui seorang
staf, Brigadir Tri Cahyono.

''Bapak sedang pergi ke Surabaya,'' kata Tri Cahyono. Lalu, dengan sopan
Try menanyakan apakah ada sesuatu yang perlu dititipkan. ''Akan kami
sampaikan,'' tuturnya. Apa boleh buat, Hadi Muhammad pun mengeluarkan
satu bundel berkas, dan dua keping kaset. ''Ini bukti-bukti penghinaan
yang dilakukan Pendeta Suradi dan Poernama,'' ujar Hadi. Bundel dan
kaset sejenis juga diberikan kepada Mapolda.

Yang dituding Hadi sebagai penghina adalah dr. Suradi ben Abraham,
seorang penginjil yang juga Ketua Yayasan Nehemia, di Jalan Proklamasi
47, Jakarta Pusat. Sedangkan Drs. H.A. Poernama Winangun, alias H. Amos,
adalah seorang pendeta yang juga aktif di Yayasan Nehemia tersebut.

Pengaduan Hadi ke Jakarta itu merupakan tindak lanjut dari fatwa yang
dikeluarkan FUU di Masjid Istiqomah, Bandung, Ahad 25 Februari lalu.
Waktu itu, dalam acara tablig akbar yang dihadiri sekitar 1.000 jamaah,
KH Athian Ali Muhammad Da'i, Ketua FUU, membacakan ''Fatwa Forum Ulama
Umat Mengenai Penghinaan Terhadap Islam''.

Fatwa dalam tiga lembar kertas ukuran folio itu berisi dua butir
pernyataan. Pertama, bahwa berdasarkan syariat Islam, mereka yang
menghina Islam seperti Pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun
wajib dihukum mati. Kedua, sebagai tindak lanjutnya, FUU meminta
pemerintah melaksanakan tindakan hukum untuk menghindari umat Islam
mengambil cara sendiri.

Fatwa itu kontan disambut dengan teriakan takbir sahut-menyahut.
Tangan-tangan umat teracung ke atas sembari mengepal. Mata mereka
menatap tajam, menyebarkan kebencian dan kemarahan.

Mengapa FUU sampai mengeluarkan fatwa mati? Dalam pandangan FUU, baik
Suradi maupun Poernama telah terang-terangan menghina Nabi Muhammad dan
Allah SWT. Penghinaan itu, menurut Athian, tertuang dalam buletin Gema
Nehemia, buku-buku, ataupun kaset-kasetnya yang telah beredar luas,
sampai ke luar Jawa.

Suradi, misalnya, mengatakan bahwa Tuhannya umat Islam adalah hajar
aswad (batu hitam) yang menempel di dinding Ka'bah di Mekkah itu. Tak
hanya itu. Disebutkan pula bahwa wahyu yang diterima Nabi Muhammad di
Gua Hira adalah suara setan; Al-Quran itu bukanlah ayat suci, karena
ayat-ayatnya bertentangan; Muhammad belum selamat, karena lima kali
dalam sehari umat Islam mendoakannya, dengan membaca ''Allahumma shalli
ala sayidina Muhammad, wa ala ali sayidina Muhammad (Ya Allah
selamatkanlah Muhammad dan keluarganya); dan masih banyak lagi.

Adapun penghinaan Pendeta Drs. H.A. Poernama Winangun kepada umat Islam,
antara lain, tulisannya di buku Upacara Ibadah Haji. Di buku yang terbit
pada Desember 1997 itu, Poernama menyatakan bahwa kedudukan Nabi Isa AS
sama dengan Allah SWT; Nabi Muhammad pernah memerkosa seorang gadis;
Nabi Musa AS lebih memiliki pengetahuan dibandingkan dengan Allah SWT;
umat Islam memberhalakan Ka'bah; dan masih banyak lagi yang tak patut
ditulis.

Fatwa FUU itu kontan direspons meriah. Sepanjang pekan lalu, radio-radio
swasta di Bandung membincangkannya. Khatib-khatib Jumat juga
menghadirkan materi fatwa mati itu di atas mimbar. Di antaranya di
Masjid Al-Manar di Jalan Putar, masjid di kompleks Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri di Jatinangor, dan masjid di lingkungan Kampus
Universitas Islam Bandung.

Dukungan terhadap fatwa mati juga mengalir. Misalnya, ada 30 pernyataan
sikap yang datang dari dewan keluarga masjid, dan 20 pimpinan pondok
pesantren di Bandung. Partai dan ormas Islam di Jawa Barat pun
menyampaikan sikap dukungannya. Antara lain, dari Partai Persatuan
Pembangunan, Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Laskar
Ababil Jabar, dan Ikhwanul Muslimin Jabar. ''Semuanya dinyatakan secara
tertulis,'' tutur Athian. Ia juga masih menunggu dukungan resmi dari
Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat, walau dukungan perorangan dari warga NU
sudah disampaikan.

Tapi, sebagai warga negara yang baik, masih kata Athian, pihaknya tak
mau main hakim sendiri. ''Kami mengirim utusan untuk membawa bukti-bukti
itu ke Polda Metro Jaya,'' katanya. Dan, urusan itu sudah dilakukan oleh
Hadi Muhammad Sabtu lalu tersebut.

Di kalangan Kristen Protestan, ''jualan'' model Suradi dan Poernama juga
dianggap bermasalah. ''Kami sedang merintis untuk membuat aktivitas yang
membuat antarumat beragama rukun, eh, kok malah ada masalah seperti
ini,'' tutur Pendeta E.P. Sembiring. Pendeta yang aktif di Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) ini menganggap metode yang dipakai Suradi tak
bakal efektif. ''Kalau antarumat beragama mau rukun, ya jangan memasuki
wilayah agama orang lain,'' katanya. Sebab, cara-cara seperti itu hanya
membuat masalah saja.

Dua tahun lalu, Suradi pernah membuat geger umat Kristiani. Pasalnya,
dia mengusulkan pada Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) agar
mengubah nama Allah menjadi Yahwe Elohim yang berasal dari bahasa
Ibrani. ''Usulan itu tak ada yang menanggapinya,'' ujar Sembiring.
Alkitab terbitan LAI, masih kata Sembiring, tidak hanya dipakai kalangan
Protestan, melainkan juga umat Katolik.

Hal senada juga disampaikan Pendeta Dr. I.P. Lambe. Menurut Sekretaris
Umum PGI ini, yang disampaikan kelompok Suradi itu merupakan pendapat
mereka sendiri. ''Walau sama-sama bersumber dari Alkitab, Suradi punya
pengertian sendiri,'' ia menegaskan.

Menurut Lambe, PGI akan berkoordinasi dan berkomunikasi dengan MUI untuk
menjelaskan duduk soalnya. ''Kami akan sampaikan bahwa itu bukan ulah
gereja atau umat Kristen keseluruhan. Mudah-mudahan pemerintah dapat
melokalisasi persoalan, supaya tidak menjadi persoalan yang ditimpakan
kepada seluruh umat Kristen,'' katanya.

Menghadapi ancaman fatwa mati tersebut, Suradi tidak terlalu cemas.
''Saya sudah sering diancam dan diteror. Kalau memang harus mati karena
pelayanan, ya apa boleh buat. Nabi-nabi juga mati dibunuh,'' kata Suradi
sambil membetulkan letak kacamatanya. Bahkan, dengan nada pasrah Suradi
menambahkan: ''Saya sudah diberi tambahan umur oleh Tuhan. Sekarang saya
mau membalasnya dengan pelayanan.''

Pada Gatra, Suradi mengaku bahwa dirinya dibesarkan di kota Yogyakarta,
di lingkungan ayah dan ibu yang muslim. Semua kewajiban agama, mulai
salat hingga puasa, dijalani keluarga ini secara baik, kecuali pergi
haji yang belum ditunaikan. ''Ayah saya cuma pegawai negeri, tidak
mampu,'' ujar anak kelima dari tujuh bersaudara ini.

Semula, Suradi seorang muslim. Pada usia 21 tahun, ia beralih menjadi
Kristen. Ia lalu diajak Hamran Amrie (meninggal pada 1987) yang
perjalanan keagamaannya juga mirip dengan Suradi --dari Islam menjadi
Kristen-- untuk menjadi penginjil, pada 1982. Karena meyakini setiap
pengikut Kristus keturunan Nabi Abraham, Suradi menambahkan di belakang
namanya ''ben Abraham''.

Pada 1982 itu, Suradi mulai mengajarkan Injil. Ia berkhotbah dari satu
gereja ke gereja lain. Ia menyebarluaskan keyakinannya yang baru
tersebut. Rumah yang ditempati sejak 1965, di Jalan Proklamasi 47,
Jakarta Pusat, selain menjadi tempat praktek dokter (praktek umum dan
gigi), juga dipakai sebagai lokasi kursus penginjilan dengan nama
Yayasan Christian Centre Nehemia.

Kursus penginjilan itu rutin, tiga kali sepekan selama enam bulan. Dalam
setahun, kursus diadakan sampai dua kali. ''Tahun ini sudah 16 angkatan.
Tiap angkatan 30 orang lulus,'' ujar ayah tujuh anak itu. Berhubung
biaya kursus gratis, Suradi melakukan seleksi ketat terhadap siapa pun
yang ingin mengikuti kursusnya. Ia tak mau terbuka menyebutkan dari mana
dana untuk kursus dan penyebaran buletin Gema Nehemia diperolehnya.

Yang pasti, Suradi bersikeras bahwa apa yang dilakukannya selama ini
tidak bermaksud menyinggung Islam. ''Saya membandingkan ajaran Islam
dengan Kristen, supaya orang Kristen tidak pindah agama menjadi Islam,''
katanya. Selain itu, ''Kalau orang Islam imannya kuat, tentu tidak perlu
terpengaruh dengan ucapan saya,'' kata kakek tujuh cucu ini.

Kini, Suradi dan Poernama memang sudah dituduh melakukan penghinaan
terhadap agama Islam. Hukum positif bakal menjeratnya. ''Tentang
penghinaan terhadap agama, hukum positif kita telah memberi ruang,''
tutur Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, guru besar hukum tata negara,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kepada Hendri Firzani dari Gatra.
Masih menurut Jimly, ''Dalam KUHP, itu diatur dalam Pasal 156 sampai
157.''

Oleh sebab itu, Jimly menganjurkan agar persoalan ini diserahkan kepada
pengadilan. ''Biarlah pengadilan yang memutuskan, walaupun tidak sampai
hukuman mati,'' ia menambahkan. Jimly benar. Untuk urusan penghinaan
terhadap agama, menurut KUHP Pasal 156a, hukuman maksimalnya adalah lima
tahun penjara.

Dalam kancah kerukunan umat beragama Indonesia, Suradi seakan memecahkan
rekor untuk diburu. Pasalnya, ketika para pemuka agama mencoba mencari
titik-titik temu dan menjauhkan perbedaan, Suradi malah tampil untuk
mengoyak-ngoyaknya.

Itu sebabnya, baru pertama kali ini ada fatwa mati untuk seorang
penginjil dan seorang pendeta. Di tingkat dunia, pada 1989, Salman
Rushdie, penulis novel Ayat-ayat Setan, juga divonis mati oleh Imam
Khomeini dari Iran. Fatwa itu dikeluarkan Khomeini karena, dalam
novelnya, Salman dituduh telah menghina ajaran Islam.
Herry Mohammad, Asrori S. Karni, Sulhan Syafi'i, dan Ronald Panggabean
[Laporan Utama Gatra Nomor 16, Beredar Senin, 5 Maret 2001]


"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
***********************************************************************
Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan
tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED]
Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772
atau
BCA Cab. Darmo Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838
***********************************************************************
Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan:
subscribe eskolnet-l    ATAU    unsubscribe eskolnet-l

Kirim email ke