Jokowi dan Topeng Monyet 🙈🙉🙊

J.J. Rizal,
Sejarawan

Atas nama ketertiban dan "perikemonyetan", Jokowi menetapkan, mulai 2014,
Jakarta harus bebas dari tukang topeng monyet. Seketika mulai 20 Oktober,
razia pun digelar oleh tim gabungan Dinas Sosial, Dinas Peternakan, dan
Satuan Polisi Pamong Praja. Sekitar 350 tukang topeng monyet di lima
wilayah Jakarta kocar-kacir diburu.

"Kasihan monyetnya kurus seperti saya," canda Jokowi. Ini betul dipandang
dari sudut perlindungan hewan. Terlebih mulia lagi, Jokowi akan menampung
monyet-monyet hasil razia itu di Kebun Binatang Ragunan. Sementara itu,
Ahok berkata, "Tukangnya akan dijadikan pelatih pertunjukan sirkus hewan."
Ini sikap bertanggung jawab Pemerintah Kota Jakarta yang patut diapresiasi.
Tapi, dari semua itu, tetap saja ada dimensi lain dari topeng monyet yang
belum diperhitungkan, yaitu aspek sistem pengetahuan lokal (local knowledge
system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom).

Demikianlah faktor budaya belum dijadikan pertimbangan dalam kebijakan
publik Pemerintah Kota DKI Jakarta. Alhasil ketiadaan upaya melihat dan
menilai topeng monyet sebagai bagian dari local knowledge system membuat
nasib topeng monyet sebagai seni pertunjukan tidak disuarakan. Ada kesan
kuat Pemkot Jakarta dan mayoritas masyarakat berpikir dihapus saja topeng
monyet, karena tidak bernilai. Tetapi, benarkah sikap itu ditilik dari
sudut local knowledge system?

Ada kepercayaan di masyarakat Betawi bahwa asal-usul topeng monyet terkait
dengan cerita rakyat Ki Alang, seorang ulama terkemuka di Kerajaan
Jayakarta. Tersebutlah di negeri Jakarta, kisah Raja Jayakarta yang
memiliki seekor monyet. Sang Raja menggunakan monyet peliharaannya untuk
melecehkan Ki Alang.

Ki Alang dipanggil menghadap raja. Ia diperintahkan mengajar monyet sang
raja mengaji kitab agama. "Saya minta waktu 70 hari," kata Ki Alang. Raja
sepakat dan monyetnya pun dibawa pulang Ki Alang. Monyet dibiarkan puasa.
Makan sebelum subuh dan nanti berbuka magrib. Saat berbuka itulah Ki Alang
mulai mengajarkannya mengaji. Sang monyet diminta mengambil beberapa butir
nasi di setiap halaman kitab. Begitu terus saben hari sampai sang monyet
terlatih membuka halaman demi halaman kitab sembari komat-kamit.

Ketika tiba waktunya Ki Alang menghadap, terkagetlah Raja Jayakarta demi
melihat monyetnya dengan sigap membuka lembar demi lembar kitab sambil
berkomat-kamit persis santri. Agar wibawanya tidak jatuh, Raja Jayakarta
pun berkata, "Saya minta monyet itu jangan hanya mengebet dan
berkomat-kamit. Ayo, kamu latih lagi sampai bisa lantang mengaji." Ki Alang
diam, lantas berkata, "Saya akan melatihnya, tetapi beri waktu 70 tahun."

Raja Jayakarta terkejut. Menunggu 70 tahun artinya sama saja dengan "ampe
ujan berkelir" atau "ampe lebaran kuda" alias "hal yang mustahil, sesuatu
yang dilakukan sampai mati pun tidak bakal bisa". Raja kena sentil Ki
Alang. Ia telah menjadi pongah dan menyalahgunakan kewenangan meminta
sesuatu di luar kepatutan. Ia pun harus menanggung malu dan rasa celaka
lantaran kebodohannya.

Di dalam masyarakat Betawi, kisah Ki Alang menjadi medium wanti-wanti alias
peringatan betapa celaka seorang pemimpin yang angkuh dan menyalahgunakan
wewenang. Sebab, ia bisa saja bermahkota, duduk di singgasana, berbaju
indah berperhiasan mewah, punya kuda gagah, tetapi sejatinya jauh lebih
rendah daripada monyet. Seekor monyet dapat diselamatkan dalam batas-batas
tertentu dari kebodohan dengan dilatih, tapi pemimpin yang angkuh dan
sewenang-wenang tidak tertolong karena dirinya sudah tit atau mati.

Kisah Ki Alang sebenarnya folklor Betawi yang diadaptasi dari naskah lama
Hikayat Lima Tumenggung bagian "Hikayat Tumenggung Al Wazir" karya Ya'
Mikul. Sebagai naskah lama, seperti dikatakan Edi Sedyawati, merupakan
warisan intelektual yang tidak hanya memiliki nilai historis, tapi juga
gagasan-gagasan. Kisah Ki Alang oleh masyarakat Betawi telah difungsikan
sebagai pedoman untuk evaluation element atau unsur penilaian, apakah
sesuatu sudah sesuai dengan yang menjadi kepatutan (prescriptive element).

Saking penting gagasan moral dalam kisah Ki Alang, masyarakat Betawi pada
masa lalu merasa tak cukup ajaran itu dituturkan, tetapi dimanifestasikan
pula sebagai pertunjukan topeng monyet. Penggunaan kata "topeng" pada
topeng monyet menunjukkan sifat khas bahwa itu adalah seni pertunjukan
Betawi. Ingat saja topeng Betawi seperti yang dimainkan maestronya: Mak
Kinang, Bokir, Bodong, Nirin Kumpul, dan Kartini. Bedanya, topeng Betawi
adalah seni pertunjukan yang dimainkan orang, sedang topeng monyet
dimainkan binatang.

Lebih jauh yang juga khas menandakan Betawi adalah kata topeng pada topeng
monyet-begitu juga topeng Betawi-tidak mengacu pada topeng (mask). Jika
melihat kartu pos bergambar topeng monyet di Batavia awal abad ke-20
terbitan JL van Dieten, tampak monyetnya meski berbaju tetapi tidak
bertopeng. Dalam kartu pos itu juga tampak ikut bermain topeng monyet
seekor kambing yang dihias menyerupai kuda istimewa raja.

Singkat cerita, dalam kilas balik jelas menunjukkan topeng monyet adalah
bagian dari local knowledge system Betawi. Sebagai seni pertunjukan, topeng
monyet pun terlihat mengalami continuity and change atau keberlanjutan dan
perubahan. Topeng monyet mampu melanjut dan malahan menyebar ke luar
wilayah geografi kebudayaan Betawi. Namun dalam bertahan melintasi zaman
sampai hari ini, topeng monyet mengalami perubahan-perubahan, dari yang
semula tanpa musik menjadi dengan iringan musik, dari dimainkan tim
binatang menjadi pertunjukan tunggal monyet. Bahkan, dari tidak bertopeng
menjadi bertopeng.

Namun, dari semua perubahan itu, ironinya adalah kearifan tradisi yang
mendasari kelahiran topeng monyet dari kisah Ki Alang sudah terlupa. Tiada
lagi tukang topeng monyet yang menuturkannya. Nah, apa kini dengan
hilangnya nilai traditional knowledge (pengetahuan tradisional), topeng
monyet itu harus diikuti penghilangan topeng monyetnya yang secara historis
adalah traditional cultural expression (ekspresi budaya tradisional) Betawi?

Jelas orang Betawi mengalami kerugian kultural akibat penghilangan topeng
monyet. Tetapi percayalah, kerugian besar juga bakal dialami orang
Indonesia, mengingat telah menasionalnya topeng monyet. Sebab, penghilangan
topeng monyet adalah juga pelenyapan kesempatan menyerap gagasan dasarnya
yang justru nilainya sangat aktual hari ini. Topeng monyet adalah medium
budaya peranti evaluasi, refleksi apakah diri-apalagi seorang pemimpin-di
balik pakaian bagus, kendaraan mewah, dan bagus-bagus lainnya, hati serta
jiwanya sudah mati digerogoti kegelapan serta kebusukan, sehingga lebih
rendah statusnya daripada seekor monyet.

-- 
-- 
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
add my twitter @aga_madjid
thanks for joinning this group.

--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"aga-madjid" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke