Saya lumayan sependapat dgn anda Bung Heri. Btw, saya pribadi kalau 
belum makan nasi berasa belum makan...hehehe. Oh nya yg pasti kalau nga 
mau gemuk, nasi sebaiknya dihindari as per bokin nulis di blognya 
http://keluargakusnadi.multiply.com/journal/item/7

Hanya Bung Heri, saya terus terang saja kuatir dgn pola brainwashing 
ORBA yg sudah merasuk kita2 semua (termasuk saya). Baru2 ini bokin saya 
dgn bengongnya baru mengetahui kalau di angkasa itu ada ratusan satelite 
entah itu militer punya atau civilian punya. Bokin menyangka Palapa itu 
adalah salah dari sekian *dikit *satelite yg beredar di angkasa :-). 
Juga saya pernah baca ada satu lecturer di salah satu uni Indo yg merasa 
kita sudah punya cukup banyak duit dari besarnya sumberdaya kita untuk 
bayar pengangguran alias social security ala negara maju! Belum lagi 
swasembada pangan, belum lagi exporter minyak mentah n list continues.

Semuanya itu brainwashing gaya P'Harto yg sangat sangat sangat sukses. 
Negara yg semestinya sudah tinggal landas ini terpaksa harus gigit jari 
setelah ORBA collaps meninggalkan keborokan yg sangat unbelievable bakal 
ditertawakan di jamannya. Kita memang harus optimis spt kata anda karena 
bila tidak ya tambah melempen. Hanya kalau bisa saya tambahkan, kita 
harus optimis plus realistic dgn keadaan. Supaya negara kita jaya, kita 
harus berani menelanjangi diri sendiri dulu. Slogan memang perlu tapi 
kita kan bukan di jaman Soekarno lagi.

Sekarang kita lihat untuk level bahasa yg merupakan kunci pintu dunia. 
Dibandingkan dgn India kita diposisi yg tidak ada advantagenya sama 
sekali karena kita jajahan Belanda. India, walaupun aksennya bikin 
puyeng kepala (krn sering muter2 hehehe) tapi tua muda, pendidikan tidak 
pendidikan bisa berbahasa english walau english gaya India. Plus mereka 
punya advantage bisa dgn mudah sekolah keluar negeri walaupun tidak 
punya duit! (ini ada storynya sendiri how n hanya saya beberkan bila ada 
yg berminat hehe). Kalau kita, belum apa2 sudah dihadang fiskal amit2 
gedenya hanya tuk berlibur cari pengalaman ke negara jiran. Saya punya 
teman baik yg cerita dia sampai gemetaran dulu pas ke singapore hanya 
gara2 merasa minder dgn englishnya hehehe.

Untuk teman2 kita yg sudah bekerja di luar negeri khususnya yg gelarnya 
diambil disana juga, mungkin kendala utama untuk balik ke Indonesia 
adalah kendala balik modal :-).

Heri Setiono wrote:
> Thanks Bung Arry dan Bung Enda. Saya melihat bahwa potensi SDM kita 
> sebenarnya sangat besar. Mungkin karena dari kecil kita makan nasi ya :--)
>   Saya juga tidak merisaukan dengan banyaknya orang Indonesia yang keluar 
> negeri baik dari level low level worker maupun professional worker. Dalam 
> level tenaga profesional, banyak teman-teman saya yang bekerja di luar negeri 
> (sebagian karena  terpaksa mengingat lapangan pekerjaan yang tidak banyak 
> saat ini) mengikuti jutaan kalangan level pekerja bawah yang sudah lebih 
> dahulu melanglang buana untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Someday 
> kalau ekonomi negeri ini membaik saya rasa ada keinginan dari mereka untuk 
> kembali ke Indonesia. Untuk level bahasa saya rasa kondisi pendidikan di 
> negeri ini sudah menuju ke arah yang lebih maju baik itu dari pemerintah 
> (dengan budget anggaran pendidikan yang makin membesar) maupun prakarsa 
> swasta. Sebagai contoh bahkan di tingkat taman kanak-kanak pun terutama di 
> kota-kota besar sudah mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris.Dari pengamatan 
> terhadap para karyawan pekerja lapangan selama saya bekerja saya melihat 
> bahwa pemahaman bahasa
>  Inggris mereka makin membaik seiring makin muda usia mereka meskipun belum 
> bisa dibilang dalam taraf lancar. Jadi sebenarnya proses globalisasi saat ini 
> sudah berlangsung tanpa ada yang mengatur. Saya setuju sebaiknya kita tidak 
> usah terlalu bernostalgia, bersifat cengeng tetapi harus  bersifat  optimis 
> bahwa kita akan menjadi lebih baik di masa depan.
>    
>   
> Regards,
>    
>   Heri Setiono
>   
> Arry Kusnadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>           Selamat juga Bung Heri atas menangnya saudara anda. Btw, bahasan 
> dari P' 
> Enda ini menarik untuk diulas. Sangat menarik karena permasalahan nga 
> segampang yg orang kira yaitu SDM bagus otomatis hidup jadi lancar. 
> Memang betul di Eropa, Amerika n Australia tidak sedikit yg excel dalam 
> akademik studynya. Masalahnya banyak dari mereka yg memang hanya study 
> tok sehingga dgn demikian tuntutan harus excel jadi sangat wajar n sudah 
> semestinya.
>
> Banyak teman2 saya yg study di eropa khususnya jerman karena beasiswa 
> dan walaupun saya tidak bisa bilang rata2 excel di jerman tapi mereka 
> hanya dituntut untuk study n study n study only. Rata2 akhirnya miskin 
> pengalaman khususnya pengalaman hidup karena ya tahunya study only, 
> comparing dgn teman2 bulenya (atau kalau untuk ukuran asia ya biasanya 
> India) yg disamping study juga kerja sana sini. Akhirnya kita bisa lihat 
> siapa yg bisa lebih survive?
>
> Ya kita tidak bisalah disamakan dgn keluarga Sutarja yg keluarganya dari 
> dulu di Indonesia sudah merupakan keluarga konglomerat. Yg mampu biayain 
> anak2nya secara luar biasa dari kecil sampai tingkat doctor. Masalahnya 
> adalah apakah kita mau cuma beberapa orang Indo kita yg bisa hebat2 di 
> luar negeri. Yg kita mau adalah pemerataan dimana banyak dari orang2 
> kita bisa berkiprah mencari nama internationally dan membuat orang luar 
> berpikir Indonesia itu exist. Contohnya India yg walaupun miskin tapi 
> sangat terkenal sbg pengexport IT yg mumpumi yg saking banyaknya sampai 
> green card lottery ke usa pun mereka sudah tidak eligible lagi.
>
> Contoh yg lain spt australia yg mempunyai sekitar 1 juta orang yg 
> bekerja di luar negaranya sendiri, jadi 1 dari 20 orang australia adalah 
> expat. Yg in return akhirnya membuat pikiran mereka mendunia atau 
> mengglobal dan yg terpenting sangat mobilitas. Saya lagi membayangkan 
> dari 220 juta penduduk kita kira2 10 juta saja bisa kerja di luar 
> tentunya betul2 merupakan lompatan jauh kedepan. tentunya bukan dalam 
> kapasitas kerja sbg pembantu.
>
> Jadi kenapa kita tidak bisa bahkan bersaing dgn India? Salah satunya 
> adalah kendala bahasa dan daya juang yg sangat lemah alias too manja n 
> one more thing kita ini terlalu suka bernostalgia.
>
> Regards,
> Arry



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke