At 05:53 PM 8/31/2007, you wrote: Saudara Airlangga,
1. Bukan tugas orang lain untuk memuaskan pendapat pribadi anda. Anda mau bilang ABS/MBS itu kucing garong ataupun sinterklas - ya terserah - toh yang dinilai adalah alasan dan landasan pendapat anda. 2. Bundling jelas diperlukan untuk memanage resiko kredit. Yang jelek digabung dengan yang bagus - akan ketemu titik tengahnya secara statistikal sehingga yang bagus bisa mengatasi resiko dari kualitas yang jelek. Kalau ternyata asumsi model ini kemudian punya kelemahan -- yaitu angka yang jelek ternyata bisa melonjak sangat cepat dan punya resiko sistemik -- maka yang perlu diperbaiki adalah modeling itu sendiri dan asumsi yang menyertainya. Yang demikian adalah bentuk progres. Bukan karena ada kejadian satu rumah kebakaran - lantas seluruh korek api harus dimusnahkan. 3. Apakah derivatif perlu? Ya, setidaknya untuk mengefisienkan transfer resiko (dan keuntungan). Semakin besar resiko yang bisa dikuantifikasi (lewat harga instrumen derivatif) maka semakin besar alokasi modal yang bisa dimobilisasi. Memang betul bahwa ada resiko di mana derivatif tidak berfungsi seperti desain -- tetapi itu kembali lagi adalah faktor resiko - yang sejauh bisa dipahami - akan bisa diantisipasi. Banyak orang meributkan loss dari instrumen derivatif - mulai dari kasus Orange County, Barings Bank, LTCM, hingga sub prime mortgage -- tetapi orang cuma terpaku pada kasus kegagalannya saja. Berapa banyak kasus yang berhasil tapi tidak disorot atau tidak muncul di media? Tentu jauh lebih banyak, karena untuk setiap kerugian - ada pihak lain yang memetik keuntungan. Ingat prinsip "survival bias" (atau dalam hal ini "non-survival bias"). Secara logis, bila memang derivatif itu tidak berguna dan cuma merugikan -- maka volume transaksinya akan menurun -- tetapi jelas anda tidak menemukan angka yang menurun. Apa iya sesuatu yang "zero sum game" (seperti judi) -- volumenya bisa bertambah? Tentu saja tidak. Hanya positive sum game yang bisa mengalami pertumbuhan. 4. Kalau sekarang ini porsi investasi terhadap PDB di Indonesia sedemikian rendah (untuk investasi infrastruktur cuma 2,5% PDB pada tahun 2006) - apa sih akar masalahnya? Karena pasar modalnya kurang efisien. Demand dan supply-nya nggak ketemu. Di satu sisi ada ratusan trilyun dana nganggur mencari return yang lebih baik (sampai-sampai mereka tertarik pada mlm, ponzi scheme, dll.) sementara di sisi lain, ada proyek-proyek penting (semisal infrastruktur) yang mengalami kekurangan pendanaan. Apa itu tidak ironis? Anda bayangkan sendiri - betapa buruknya masalah infrastruktur di Indonesia -- ketika selama 30 tahun - panjang jalan tol di Indonesia cuma sekitar 680 km, sementara China membangun jalan tol kira-kira 1000 km per tahun!!! Kita memang tidak punya modal dan arus modal sekuat China -- tetapi jelas berarti kita harusnya bisa mengefisienkan modal yang ada. Anda hitung sendiri berapa besar lapangan kerja yang bisa tersedia, kemakmuran yang tercipta, hasil pertanian yang sukses masuk pasar, gizi buruk yang teratasi, anak yang tidak jadi putus sekolah - bila infrastruktur di Indonesia bisa dibangun sesuai "rencana". Nggak ada duitnya? Bohong. Duitnya ada kok - tapi memang supply-nya nggak ketemu dengan demand -- sementara birokratnya cuman jadi calo pemburu rente yang nyaris tanpa resiko (pemburu rente di Wallstreet setidaknya masih berhadapan dengan resiko). Bukankah itu yang harusnya kita perbaiki? 5. Saya tidak punya masalah dengan sudut pandang anda yang kontras -- tetapi kalau kontradiksi dan antithesis hanya cuman buat senang senangan pribadi semata-mata supaya kelihatan "beda" - tapi anda tidak bisa menangkap atau bahkan tidak peduli esensinya -- itu berarti anda sekadar narcistik. Waktu dan tenaga di seluruh dunia pun tidak akan cukup memuaskan anda - bila memang itu motifnya. Dan memang bukan tugas orang lain untuk memuaskan anda. >Rente ekonomi ya tetap saja rente ekonomi. > >Pertama kali dilakukan oleh bank ke pihak ketiga, okelah berguna (at >least bagi si bank). Tapi ketika ABS/MBS tersebut dibundle dan dijual >lagi ke pihak ke empat, dan pihak ke empat jual lagi ke pihak ke >lima...dst.. dst.. Tidak ada lagi added value di transaksi derivatif >lanjutan tersebut, selain ... rente ekonomi. > >Sepertinya yg terjadi bukan semata2 karena kemacetan nasabah yg >ber-rating buruk (sub-prime) tersebut. Tapi karena si mortgage sudah >terlanjur di bundle menjadi MBS bertingkat-tingkat berjenjang-jenjang >sehingga terlalu kompleks dari sudut resiko dan return-nya. Sekali >beberapa kredit macet, efeknya berantai jauh melebihi scope asalnya. > >Dan sesuai nature-nya rente ekonomi, impak psikologisnya sering kali >melebihi nilai yg sedang dipertaruhkan. Akibatnya jelas histeria, satu >pasar goyang semuanya... > >Andaikan mortgage-nya itu masih dipegang bank-nya alias belum dijual >ke pasar derivatif, pasti efeknya hanya lokal di bank tsb saja. Dan >bank punya keleluasaan utk merestrukturisasi utang2 macet. Sementara >dengan MBS, kepentingan pihak2 yg me-rente ekonomi secara >bertingkat-tingkat jelas akan menyempitkan ruang gerak si bank. >Keadaan buruknya jadi berlipat-lipat. > >Intinya, pasar primer lebih berguna utk kemaslahatan orang banyak. >Maksimal, sampai pasar sekunder. Tapi lebih dari itu... mudaratnya >lebih banyak dari manfaatnya. > >ABS, MBS, CDO atau apalah namanya itu = permainan uang belaka yang >tidak jelas manfaatnya kecuali memuaskan "risk appetite" orang2 yg >kelebihan uang dan gemar berjudi :P > >Permainan berbahaya karena impaknya tidak hanya terbatas pada >pemainnya, tapi ke mana-mana. > >Bahkan sampai ke Indonesia. Apalagi pasar kita, pasar prematur, pasar >karbitan, isinya penuh tidak punya underlying economical base yg kuat. > >BR, > >-=ContraDictionary AntiThesis=- > >--- In ><mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com>AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, > >"Irsal Imran" ><[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Setuju apa yang dikatakan bung Poltak. Dengan adanya ABS ini, > > Mortgage Bank bisa "menjual" hutang mortgage ini ke orang lain > > sehingga bank tersebut akan mendapatkan cash yang bisa mereka > > lemparkan lagi untuk dipinjamkan ke orang lain. Dengan begitu bank > > mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam memberikan pinjaman kredit > > rumah, dibanding kalau kredit yang ada cuman disimpan sebagai aset > > saja oleh bank. Dengan lebih banyaknya uang yang tersedia untuk > > kredit perumahan, maka tentu saja akan memudahkan orang2 membeli > > rumah, yang berarti ril sector (dalam hal ini industri perumahan) pun > > akan terangkat. Bayangkan kalau suatu mortgage bank mempunyai > > keterbatasan melempar dana karena dana mereka tidak cukup, tentu > > ceritanya akan lain, bisa-bisa orang harus beli rumah dengan interest > > rate yang tinggi karena kurangnya dana yang tersedia (mungkin > > contohnya di Indonesia:)). > >