tulisan ini saya copas dari kompasiana, sebuah tulisan karya ririn handayani
dalam rangka iB Blogger Competition.
kalo udah di blog publik begitu, apa saya masih harus izin lagi ya ? kalau
saya dianggap salah, maka saya mohon maaf sebesar-besarnya.
selain saya sangat mendukung lomba artikel semacam ini, IMHO beberapa
tulisan di dalamnya cukup menarik untuk diobrolkan mengingat nampaknya isyu
ekonomi pro rakyat dan kerakyatan maupun jalan tengah sangat mewarnai
pilpres kali ini, dan bagi saya itu berarti masyarakat kita mulai peduli
dengan kebangunan ekonomi bagi rakyat (kecil) yang mungkin dari sisi jumlah
merupakan mayoritas di republik ini (sayangnya, belum jelas benar dari angka
itu berapa rakyat kecil yang wiraswasta, yang karyawan, maupun yang keduanya
:)

komentar saya di bawah ini adalah pikiran saya yang bukan pelaku UMKM, bukan
pengamat ekonomi, hanya pendapat seorang jurukunci ki brankas yang tertarik
dengan pengembangan UMKM (hmm. jatuh2nya pengamat juga ya.. tapi ketinggian
ah.. penonton aja deh :)

menurut saya, yang lebih sulit bukanlah segmentasi pemberian kredit pada
UKM, melainkan antara 1) memilih UMKM yang memang "layak" dibantu (kriteria
bisa macam2 soalnya) dan / atau   "mendidik" UKM ini agar mampu menyusun
rencana usaha yang cukup matang sehingga potensinya berkembang ngga perlu
diragukan lagi, setidaknya menurut analis kredit :) dan 2) menyajikan
laporan yang cukup handal, utamanya bagi dia sendiri, sehingga bisa monitor
dan mungkin mengembangkan usahanya lagi.
kalo mengharap masyarakat siap duluan, mungkin sulit, meski pasti ada aja
rekan2 LSM yang siap membantu UMKM tersebut dalam hal itu. mengandalkan
penyuluh pemerintah punya, hmm.. entah juga ya.. hehe.. jadi menurut saya
memang perlu ada semacam penyuluhan dari bank itu sendiri.

]eh.. dan semoga pendapat saya ini ngga terlalu "asal". kalo ternyata ngaco
ya mohon maap dan mohon koreksinya :)


*BR, ari.ams*

sumber asli:
http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/07/17/beranikah-bank-syariah-menjadi-grameen-bank-di-indonesia/
*
*
>
> iB Blogger Competition adalah lomba penulisan artikel di kanal blog
> Kompasiana dengan total hadiah sebesar Rp. 20 juta. Tema tulisan seputar
> Perbankan Syariah. Lomba terbuka untuk umum, dengan syarat harus memiliki
> blog atau account di situs pertemanan (Facebook, Multiplay, dll). Artikel
> diterima paling lambat tanggal 15 Agustus 2009 untuk periode I dan tanggal
> 31 Oktober 2009 untuk periode II.

*
Beranikah Bank Syariah Menjadi ‘Grameen Bank’ di Indonesia? *Oleh
ririnhandayani - 17 Juli 2009 - Dibaca 296 Kali -

Ada berita memprihatinkan yang dimuat Harian Pagi Radar Jember dua hari
berturut-turut, 28 dan 29 Juni 2009 lalu. Yakni tentang nasib 2.200 anggota
Bank Gakin (Bank Keluarga Miskin) di Kabupaten Jember yang seperti telur di
ujung tanduk. Pasalnya, modal bank yang dibina Dinas Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah Jember itu akan ditarik oleh pemiliknya, Bank Jatim. Padahal
modal pinjaman yang diberikan Bank Jatim hampir mencapai 80%. Dari 29 Bank
Gakin yang ada, hanya tujuh unit yang menggunakan dana mandiri. Dana yang
digulirkan juga lumayan besar yakni mencapai Rp 14 milyar lebih. Jika benar
Bank Jatim akan menarik seluruh pinjamannya, dipastikan sekitar 2.200
anggota Bank Gakin Jember akan kelabakan. Mereka harus pontang-panting
mempertahankan eksistensi usahanya yang sudah tiga tahun ini dirintis dengan
gemilang. Mereka akan terpukul karena pemerintah dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten Jember, belum mampu menyediakan dana pengganti karena keterbatasan
anggaran. Demikian sebagian isi dari tulisan di Harian Pagi Radar Jember
tersebut. Atas realitas ini, akankah Bank Syariah khususnya Bank Syariah di
Kota Jember tergerak hatinya dan melihat ini sebagai potensi pasar yang
prospektif?

Tujuh belas tahun sudah usia bank syariah di Indonesia sejak berdiri 1992
lalu, namun eksistensinya masih “melangit”. Sebagian besar strategi dan
inovasi produk yang dikembangkan bank syariah belum bisa dinikmati sektor
riil yang notabene adalah kalangan masyarakat kelas bawah yang jelas-jelas
sangat membutuhkan aliran modal namun tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan
agunan. Dalam mekanisme pemberian kredit/modal, bank syariah menetapkan
prosedur yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Masalahnya
kemudian menjadi sangat sederhana, apa artinya perbedaan antara bank
konvensional dengan sistem bunganya dan bank syariah dengan sistem bagi
hasilnya, jika keduanya sama-sama susah diakses oleh masyarakat kecil yang
membutuhkan modal untuk kelangsungan usahanya?

Saya terenyuh mendengar cerita seorang ibu lijo (penjual sayur keliling)
tentang bagaimana ia bisa mendapatkan modal usaha untuk bisa berjualan dan
bagaimana ia harus membayar bunganya. Tak adanya akses untuk meminjam modal
usaha ke bank karena tak punya apa-apa untuk dijadikan agunan, terpaksa si
ibu meminjam uang kepada rentenir dengan bunga 20 persen sebulan. Bandingkan
dengan tingkat suku bunga kredit komersil bank konvensional yang kini hanya
berkisar 11-14 persen/tahun (Jawa Pos, 4 Juli 2009). Si rentenir rupanya
sedikit berbaik hati dengan “belanja” pada ibu lijo rata-rata Rp 10 ribu
setiap hari. Ia tidak perlu membayar belanjaannya, cukup dihitung dengan
teliti kemudian mengurangi jumlah bunga yang harus dibayar ibu lijo atas
pinjamannya. Rata-rata sepuluh ribu setiap hari mungkin sedikit meringankan
dan tidak terlalu besar dibandingkan jika harus membayar sekaligus. Tapi
bagi seorang lijo yang jam 12 malam harus sudah bangun dan segera kulakan ke
pasar kemudian berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain, dari satu
rumah ke rumah lain sejak hari masih gelap, yang jika sedang hoki paling
cepat jam 10 pagi baru bisa pulang ke rumah atau hingga jam 12 siang jika
dagangannya tak cepat laku, nominal itu sangat luar biasa. Betapa tidak?
Dari setengah kilogram daging ayam yang harganya sekitar Rp 11 ribu, lijo
biasanya hanya mengambil keuntungan Rp 500, atau Rp 100 dari seikat bayam
yang dijualnya. Dari receh demi receh itulah ia membayar bunga dan mencicil
hutangnya pada rentenir, menghidupi keluarganya dan masih harus menyisihkan
untuk modal berjualan esok harinya.

Dalam situasi seperti ibu lijo di atas, keberadaan Bank Gakin tentu akan
sangat membantu. Sayangnya, untuk kabupaten Jember sebagaimana diberitakan
oleh Harian Pagi Radar Jember bulan lalu, nasibnya seperti telur di ujung
tanduk. Akankah bank syariah yang semakin marak mengekspansi Kota
Suwar-suwir ini mau menjadi dewa penolong bagi wong cilik tersebut?
Memberdayakan secara ekonomi sekaligus membebaskan masyarakat dari jerat
riba.

*Belajar dari Grameen Bank*

Muhammad Yunus dan Grameen Bank-nya berhasil membuktikan bahwa gerakan nyata
untuk mendayagunakan ekonomi masyarakat bawah bisa berjalan. Salah satu ciri
unik Grameen Bank adalah pola pemberian kredit yang disandarkan pada
pembentukan kelompok kecil penerima kredit. Satu kelompok terdiri dari lima
orang yang saling bantu dan mengawasi dalam proses income generating
(aktifitas yang mendatangkan penghasilan). Hanya dua orang dari mereka yang
diperkenankan meminta kredit dari bank dan jika mereka tidak bermasalah
dalam pengembalian kreditnya, dua orang lainnya dalam kelompok boleh ikut
meminjam, dan jika semua sukses si orang kelima bisa mengajukan kredit pada
bank. Dukungan moral dari sesama anggota kelompok peminjam menjadi pemacu
pengembalian kredit secara disiplin. Hanya sebagian kecil dari kreditor yang
gagal mengembalikan kredit, sebagian besar (98,85%) mengembalikannya secara
penuh tepat pada waktunya.

Di antara kriteria pemberian modal yang dianut oleh Grameen Bank adalah
bahwa kredit pada masyarakat miskin pedesaan diberikan tanpa perlunya agunan
atau penjaminan, kredit digunakan untuk aktifitas yang mendatangkan
penghasilan (income generating), adanya pengawasan dan bimbingan ketat dari
pihak bank, serta transparansi pada pengelolaan banknya. Hampir semua
permodalan Grameen Bank dimiliki oleh para kreditornya sendiri dan hanya
sebagian kecil (6%) dimiliki oleh pemerintah Bangladesh. Saat ini,
operasional mereka dibiayai dari hasil pemutaran kredit dan sama sekali
tidak tergantung dari pinjaman atau bantuan dari pihak lain.

Muhammad Yunus dan Grameen Bank berhasil menjadi pemecah mata rantai
lingkaran setan yang diciptakan antara kemiskinan dan permodalan. Dukungan
anggota kelompok dalam proses peminjaman kredit menjadi pengganti perlunya
agunan di Grameen Bank. Dalam praktik ekonomi kapitalisme yang umum berlaku,
setiap peminjam kredit harus mempunyai sejumlah agunan sebagai jaminan bagi
bank. Dengan adanya syarat ini, rakyat miskin yang tidak punya apa-apa tidak
mungkin mendapat kesempatan mendapatkan modal dalam upayanya meningkatkan
penghasilan.

Upaya yang dilakukan Muhammad Yunus dan Grameen Bank terus berkembang pesat
dan yang sangat menarik adalah bahwa 97% diantara peminjam adalah perempuan.
Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya tidak hanya berhasil membuktikan
bahwa gerakan nyata untuk mendayagunakan ekonomi masyarakat bawah bisa
berjalan namun juga membuktikan bahwa kaum perempuan yang menjadi nasabah
utama (98%) ternyata tidak hanya bisa dipercaya namun juga mampu melakukan
sebuah perubahan sangat revolusioner, yakni berhasil melawan kemiskinan.
Perempuan secara tidak disengaja menjadi ujung tombak penerima kredit
Grameen Bank. Dengan nilai kredit yang tidak terlalu besar, perempuan
pedesaan Bangladesh yang secara tradisional tidak terlalu banyak
berkontribusi ekonomi dapat mencoba menumbuhkan usaha-usaha kecil yang
menghasilkan uang. Hasilnya luar biasa. Kaum perempuan Bangladesh memiliki
andil besar dalam meningkatkan perekonomian di desanya masing-masing dan
karena Grameen Bank dilakukan pada skala yang besar, kontribusinya pada
perekonomian negara juga cukup signifikan. Diperkirakan 1,1% dari GDP
Bangladesh merupakan nilai tambah dari seluruh aktifitas Grameen Bank.
Hingga 2008 lalu Grameen Bank telah memiliki 1.181 cabang, bekerja di 42.127
desa, didukung 11.777 staf, menyalurkan kredit sebanyak $3,9milyar kepada
2,6juta debitur yang 95% perempuan. Hingga kini model Grameen Bank telah
direplikasi oleh lebih 250 lembaga keuangan mikro di hampir 100 negara.

*Grameen Bank di Kabupaten Jember*

Pertumbuhan dan perkembangan Bank Gakin di Kabupaten Jember sangat pesat
bahkan berhasil meraih MDGs Award dan menjadi role model bagi bank
gakin-bank gakin di daerah lain di Indonesia. Bank Gakin adalah sebutan yang
diberikan sendiri oleh warga miskin yang menjadi anggotanya. Istilah ini
kemudian dipopulerkan oleh beberapa pengurus dan anggota Lembaga Keuangan
Masyarakat Mikro (LKMM) sebagai antitesis terhadap bank formal yang selama
ini tidak pernah mau peduli dengan ekonomi keluarga miskin.

Tumbuh kembang bank gakin di Jember dipelopori oleh Dinas Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah Kabupaten Jember sejak tahun 2005 lalu. Tujuan utamanya
adalah perempuan miskin dan produktif. Pada awalnya program ini akan
diimplementasikan pada tingkat desa. Namun karena wilayah desa dianggap
masih terlalu luas, wilayah kerja Keuangan Mikro Masyarakat dipersempit
menjadi tingkat dusun. Semakin sempit wilayah kerja diprediksi akan semakin
efektif. Dusun Semenggu dan Mojan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang
terpilih sebagai pioneer karena masyarakat di kedua lokasi tersebut telah
di-black list lembaga perbankan. Dengan modal dana hibah dari Dinas Koperasi
dan UMKM sebesar dua puluh lima juta rupiah dan simpanan sukarela anggota,
kedua Lembaga Keuangan Mikro Masyarakat tersebut telah mampu melayani
sekitar 30 kelompok yang beranggotakan lebih dari 150 kepala keluarga.

Sebagaimana halnya Grameen Bank, bank gakin di Jember juga menggunakan
prinsip tanggung renteng di antara para anggotanya. Kelompok usaha yang
terdiri atas 5-10 orang dapat mengajukan kredit usaha tanpa agunan antara Rp
50.000 hingga Rp 1 juta. Masyarakat yang mengajukan kredit tidak perlu
menyerahkan proposal usaha, apalagi melalui survei yang berbelit. Proposal
bisa diajukan secara lisan. Dana kredit bisa langsung cair setelah diadakan
survey sekilas terhadap usaha yang dijalankan. Dengan kucuran kredit
berjangka waktu 10 minggu yang diangsur setiap minggu dengan bunga 0,5
persen, terobosan ini sangat membantu kelompok usaha kecil dan menengah.

Anggota satu bank gakin maksimal 200 orang warga miskin. Jika lebih dari 200
orang, bank akan mengalami kesulitan dari sisi pengelolaan. Bank ini
dikelola sendiri oleh warga miskin, di mana 90% pengurusnya adalah
perempuan. Sebanyak 46% di antaranya adalah lulusan sekolah dasar dan 5%
tidak melewatkan pendidikan sekolah formal. Meski demikian, omzet bank gakin
di Jember mampu mencapai Rp 14 miliar dengan aset Rp 2,1 miliar. Pertumbuhan
omzet selama tiga tahun terakhir rata-rata 260%. Sebuah pertumbuhan yang
sangat spektakuler jika dilihat dari kacamata usaha. Sayang, nasibnya kini
seperti telur di ujung tanduk. Empat tahun belum cukup bagi sebagian besar
bank gakin untuk bisa mandiri. Hanya tujuh dari 29 Bank Gakin yang mampu
menggunakan dana mandiri.

*Butuh Keberanian Revolusioner dan Niat Tulus*

Problematika yang tengah melanda bank gakin di Jember sebenarnya bisa
menjadi potensi pasar yang prospektif. Termasuk bagi bank syariah di kota
Jember : Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Dibutuhkan
keberanian revolusioner dan niat tulus untuk mengambil alih peran Bank Jatim
yang selama ini menjadi pengayom. Keberanian yang revolusioner dan niat yang
tulus menjadi hal yang penting dalam konteks ini mengingat :

Pertama, sekalipun prospektif karena pertumbuhannya yang pesat hingga 260%,
membiayai bank gakin yang tidak lain adalah banknya orang miskin, tentu tak
semenguntungkan jika membiayai usaha besar yang omsetnya jauh lebih besar.
Juga jauh lebih menguntungkan dan aman jika dana bank disimpan dalam bentuk
Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. Faktor komersil ini yang mungkin menjadi
salah satu pertimbangan Bank Jatim mau menarik dananya di bank gakin. Dengan
sistem bagi hasilnya, bank syariah sebenarnya tidak akan rugi. Bukankah
selama ini prinsip bagi hasil yang dijalankan bank syariah berdasarkan
keuntungan riil di lapangan. Artinya, jika usaha yang dibiayai oleh bank
gakin berhasil, bank syariah yang memberikan dana pinjaman juga akan
memperoleh keuntungan. Hanya saja, karena pelakunya adalah unit usaha kecil,
keuntungannya juga relatif kecil. Di sinilah perlu adanya niat tulus untuk
memberdayakan ekonomi rakyat.

Kedua, ini adalah moment untuk membebaskan umat dari jerat riba. Andai Bank
Jatim benar-benar menarik modalnya, bisa jadi sebagian dari 2.200 anggota
bank gakin yang harus mencari suntikan dana baru akan masuk dalam jebakan
rentenir. Sangat disayangkan.

Kalaupun Bank Jatim tidak jadi menarik dananya atau Pemkab Jember bisa
mendapatkan bank/sponsor pengganti, fenomena maraknya bank gakin tetap
menjadi peluang pasar yang prospektif bagi bank syariah. Usaha kecil yang
dibiayai oleh bank gakin tidak akan selamanya menjadi usaha kecil. Pembinaan
yang intensif dan dukungan modal yang memadai sangat mungkin mengantarkannya
menjadi usaha besar tidak hanya dalam skala regional dan nasional, tapi juga
internasional. Di new economy era seperti sekarang, semuanya serba mungkin.
Tinggal apakah bank syariah berani menangkap peluang emas ini atau
membiarkannya berlalu begitu saja.

*Tulisan ini juga dimuat di www.auliya-fr.blogspot.com dan
www.facebook.com/ririn.handayani*

-- 

-----
save a tree.. please don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=========================
Join Facebook AKI dimana Anda bisa ber social interactive sambil bermain games 
atau just have fun together. Compulsory bagi new members start 1 Jan 2008. 
http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
=========================
Perhatian: Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. 
Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas.
=========================
Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
-------------------------
Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting 
sebelumnyaYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke