At 10:26 PM 10/14/2009, you wrote:
>Diskusi tentang BUMN tidak akan ada habisnya. Masalahnya, setiap BUMN
>punya lahan masing-masing dan tidak bisa di-analisis secara pukul rata.
>
>Bagi kita di Indonesia, listrik dan kereta api, misalnya, amat sulit
>diserahkan kepada kompetisi murni. Karena keterbatasan kemampuan
>konsumen/pelanggan. Boleh dikatakan keduanya natural monopoly.

Telekomunikasi dulunya juga disebut sebagai natural monopoly, tetapi 
ternyata perkembangan teknologi memungkinkan perubahan sehingga 
kompetisi terjadi dan harga di level konsumen bisa turun.

Saya rasa, kita harus berangkat dari tujuan menurunkan harga di level 
konsumen dengan disertai pertumbuhan bisnis yang menjangkau lebih 
banyak konsumen.



>Penerbangan sipil bisa diserahkan kepada kompetisi swasta, namun Garuda
>tidak bisa dijual: di mana harga diri kita sebagai bangsa? (49 persen
>saham bisa tentunya).


Amerika Serikat tidak pernah punya perusahaan penerbangan milik negara.
KLM, Air France, dan Alitalia sudah merger menjadi satu.
British Airways sudah diprivatisasi, dan berencana untuk merger 
dengan Iberia Airlines dan American Airlines (dan mungkin ditambah 
dengan Qantas).

Penerbangan adalah bisnis yang beresiko sangat tinggi (lihat saja apa 
yang terjadi pada bangkrutnya PanAm, TWA, SwissAir, Delta, dan 
berbagai perusahaan penerbangan lainnya) - sehingga sudah seharusnya 
pemerintah tidak perlu punya perusahaan penerbangan (kalau memang 
tidak mampu menyediakan injeksi modal secara terus menerus).

Injeksi modal terus menerus berarti perusahaan menerima subsidi dari 
pembayar pajak, tanpa peduli apakah pembayar pajak tersebut menikmati 
layanan perusahaan tersebut atau tidak.

Harga diri bangsa terletak pada kemampuan memberi yang terbaik bagi 
sebanyak mungkin warga negara Indonesia.  Bukan dengan kemampuan 
memelihara perusahaan zombie.



>Saya meragukan kebijakan untuk mengadakan Kementerian BUMN, yang pada
>akhirnya hanya mementingkan bottom line. Mungkin lebih baik diawasi
>departemen teknis.


Mengingat bahwa profit terkait dengan kontribusi penerimaan pajak dan 
redistribusi penerimaan tersebut kepada masyarakat -- maka saya 
justru mempertanyakan perusahaan yang terus menerus dibiarkan rugi 
atau tidak berkembang tetapi tetap dibiarkan hidup.

Bila bukan kepentingan pembayar pajak (masyarakat) dan penerima 
manfaat pembayaran pajak (yang juga masyarakat) -- lalu kita mau 
memperhatikan kepentingan siapa lagi??


Kirim email ke