Saya kira kajian comprehensive mengenai BUMN sedang atau bahkan sudah dilakukan kementrian BUMN. Pada dasarnya memang, kebijakannya satu, sedapat mungkin memprivatisasi BUMN via IPO, kalo bisa. Atau cara2 lain, misalnya private placement, untuk beberapa BUMN yang tidak sensitive secara politis dan kondisi kEuangannya ngak bagus2 amat.
Dalam hal ini, ketika Pemerintah mau melego BUMN, ingin dapat cuan juga yang lumayan sebagai bahan untuk menutup defisit. Jadi memang peran kementrian BUMN, memastikan bahwa kinerja BUMN baik, sehingga dapat memberikan deviden, bayar pajak dan ketika IPO mendatangkan cash flow lumayan... kira2 sesimple itu. Nah mungkin yang disini menjadi pertanyaan bagaimana dnegan BUMN yang sifatnya "strategis", misalnya persenjataan, energy atau apapun yang bisa didefinisikan strategis...soale definsi strategis adalah beyond financer atau ekonom, melainkan domain politikus....... Contoh apakah Pindad atau Pertamina boleh diprivatisasi...atau di IPO kan? Kalo tanya financer dan ekonom, saya yakin jawabannya nyaris sama, bole2 saja. Selama, masih ada di Indonesia, bayar pajak, bayar deviden dst dst... Tapi ketika ditanyakan ke politikus, ya jawabannya bisa macem2. Oka From: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com [mailto:ahlikeuangan-indone...@yahoogroups.com] On Behalf Of Dody Dharma Hutabarat Sent: 15 Oktober 2009 16:51 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Re: [Keuangan] Re: Menyorot Peran BUMN Apakah semua BUMN harus diserahkan ke swasta? Apakah tidak ada pengecualian? Kenapa pengelolaan unit-unit usaha di tangan pemerintah dinilai tidak efisien? Apakah tidak ada pengecualian? Bagaimana kasus negara lain? ________________________________ From: Poltak Hotradero <hotrad...@gmail.com <mailto:hotradero%40gmail.com> > To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com <mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com> Sent: Wed, October 14, 2009 11:17:50 PM Subject: Re: [Keuangan] Re: Menyorot Peran BUMN At 10:26 PM 10/14/2009, you wrote: >Diskusi tentang BUMN tidak akan ada habisnya. Masalahnya, setiap BUMN >punya lahan masing-masing dan tidak bisa di-analisis secara pukul rata. > >Bagi kita di Indonesia, listrik dan kereta api, misalnya, amat sulit >diserahkan kepada kompetisi murni. Karena keterbatasan kemampuan >konsumen/pelanggan. Boleh dikatakan keduanya natural monopoly. Telekomunikasi dulunya juga disebut sebagai natural monopoly, tetapi ternyata perkembangan teknologi memungkinkan perubahan sehingga kompetisi terjadi dan harga di level konsumen bisa turun. Saya rasa, kita harus berangkat dari tujuan menurunkan harga di level konsumen dengan disertai pertumbuhan bisnis yang menjangkau lebih banyak konsumen. >Penerbangan sipil bisa diserahkan kepada kompetisi swasta, namun Garuda >tidak bisa dijual: di mana harga diri kita sebagai bangsa? (49 persen >saham bisa tentunya). Amerika Serikat tidak pernah punya perusahaan penerbangan milik negara. KLM, Air France, dan Alitalia sudah merger menjadi satu. British Airways sudah diprivatisasi, dan berencana untuk merger dengan Iberia Airlines dan American Airlines (dan mungkin ditambah dengan Qantas). Penerbangan adalah bisnis yang beresiko sangat tinggi (lihat saja apa yang terjadi pada bangkrutnya PanAm, TWA, SwissAir, Delta, dan berbagai perusahaan penerbangan lainnya) - sehingga sudah seharusnya pemerintah tidak perlu punya perusahaan penerbangan (kalau memang tidak mampu menyediakan injeksi modal secara terus menerus). Injeksi modal terus menerus berarti perusahaan menerima subsidi dari pembayar pajak, tanpa peduli apakah pembayar pajak tersebut menikmati layanan perusahaan tersebut atau tidak. Harga diri bangsa terletak pada kemampuan memberi yang terbaik bagi sebanyak mungkin warga negara Indonesia. Bukan dengan kemampuan memelihara perusahaan zombie. >Saya meragukan kebijakan untuk mengadakan Kementerian BUMN, yang pada >akhirnya hanya mementingkan bottom line. Mungkin lebih baik diawasi >departemen teknis. Mengingat bahwa profit terkait dengan kontribusi penerimaan pajak dan redistribusi penerimaan tersebut kepada masyarakat -- maka saya justru mempertanyakan perusahaan yang terus menerus dibiarkan rugi atau tidak berkembang tetapi tetap dibiarkan hidup. Bila bukan kepentingan pembayar pajak (masyarakat) dan penerima manfaat pembayaran pajak (yang juga masyarakat) -- lalu kita mau memperhatikan kepentingan siapa lagi?? [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]