JAWA POS -opini-Kamis, 15 Mei 2008,
Mengurangi Dampak Perluasan Kota di Jawa


Oleh Gutomo Bayu Aji 

Dalam State of World Population 2007 dinyatakan, pada
2008 ini, lebih dari separo penduduk dunia (3,3
miliar) tinggal di daerah urban. Pada tahun ini juga,
IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia)
memperkirakan tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai
50 persen. 

Perubahan desa-desa menjadi kota di Indonesia,
khususnya di Jawa, sekarang jauh lebih cepat daripada
yang diperkirakan. Selama tiga dekade terakhir, banyak
desa di Jawa yang direklasifikasi statusnya menjadi
kota. Penduduk kota, khususnya di Jawa, mengalami
lonjakan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan lebih
dari 3,5 persen.

Fenomena perluasan kota telah menjadi wacana dominan
pembangunan di Indonesia saat ini. Daerah-daerah
pinggiran kota (urban fringe) berkembang secara cepat
dan khususnya di Jawa cenderung tidak terkendali
seperti "katak melompat" (leap frogging development),
sehingga mendeformasi struktur sosial dan spasialnya.

Penaklukan

Berbagai dampak perluasan kota yang tidak terkendali
sekarang mengingatkan kita pada serbuan kaum migran
Eropa ke benua Amerika atas Indian serta tanah
Aborigin di Australia abad ke-17. Kaum migran Eropa
itu, antara lain, mempertontonkan pembentukan
kota-kota di kedua benua tersebut yang diwarnai
penaklukan. 

Melalui kartografi, "benua kosong" itu dipetakan
secara semena-mena. Hak tradisional penduduk asli
diabaikan, bahkan dipandang secara sub-human. Waktu
itu, peta telah berubah fungsi menjadi alat
eksploitasi sekaligus menegaskan arogansi
euro-centrism di kalangan penduduk asli.

Tradisi penaklukan tersebut diwariskan hingga saat ini
yang mana melalui citra landsat, sebuah peta bisa
disulap dengan mudah menjadi suatu tata ruang kota
yang memiliki informasi amat detail. Peta itu kemudian
ditetapkan melalui peraturan pemerintah sebagai
kodifikasi bagi pengembang.

Tradisi tersebut kini dijustifikasi secara legal.
Namun, lemahnya penegakan hukum membuat perluasan kota
tetap seperti "katak melompat". Memecah struktur ruang
tradisional, menimbulkan fragmentasi dan konversi
lahan secara luas yang diwarnai penaklukan terhadap
kehidupan masyarakat pinggiran kota.

Marginalisasi

Sebagian ahli demografi percaya bahwa urbanisasi yang
cepat akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang
lebih baik. Pada pola "katak melompat" ini, tidak
seluruhnya benar. Penetrasi yang dilakukan di daerah
pinggiran kota justru telah menyebabkan penduduk di
daerah itu termarginalkan.

Tak ubahnya Indian dan Aborigin pada awal abad ke-17,
kebanyakan penduduk di daerah pinggiran kota yang
terkena dampak perluasan kota itu justru kehilangan
nafkah dan mata pencaharian. Mereka terlempar dari
sektor pertanian dan terperangkap dalam kemiskinan
perkotaan.

Harapan bagi kaum marginal hanyalah sektor informal
perkotaan, khususnya yang berkarakteristik pedagang
kaki lima. Walaupun banyak pengamat menyatakan sektor
itu merupakan roda perekonomian kota, kenyataannya
tidak mendapat tempat di dalam sistem kota. Sering
sektor itu terkena imbas kebijakan penertiban atau
penggusuran.

Upaya formalisasi sektor informal sering mengalami
kegagalan karena dilakukan tanpa memperhitungkan
kemampuan daya beli dan akses mereka terhadap
infrastruktur yang disediakan pemerintah. Alhasil,
meski menjadi juru selamat krisis ekonomi wong cilik,
sektor itu sering diperlakukan seperti anak tiri.

Pengembangan Desa-Kota

Sekarang, perluasan kota dengan dalih apa pun akan
terjebak dalam tradisi penaklukan itu. Masalahnya,
tata ruang tersebut sering dibuat secara subjektif
tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah
pinggiran kota yang berciri desa-kota. 

Perluasan kota dengan tanpa memperhatikan kepentingan
desa-kota tak ubahnya pengembangan wilayah sepihak
yang hanya memperhatikan kepentingan kota. Sementara
desa-kota yang berciri agraris dengan kelompok paling
rentan, yakni petani kecil serta buruh tani, hanya
akan menjadi korban perluasan kota.

Saatnya perluasan kota dilakukan secara lebih
terencana dan manusiawi. Yakni, dengan cara
merekonstruksi tata ruang kota yang cenderung
subjektif ke arah desa-kota yang lebih objektif.
Dengan kata lain, meletakkan isu perluasan kota itu
dalam perencanaan pengembangan wilayah inter-regional.


Gutomo Bayu Aji, peneliti di Pusat Penelitian
Kependudukan, LIPI, Jakarta






      

Kirim email ke