Diambil dari http://www.thaniago.blogspot.com


Orkestra Itu Menyenangkan!
Oleh: Roy Thaniago
 
 
Apa yang Anda pikirkan dengan kata ‘orkestra’?
 
BANYAK dari kita pasti mengasosiasikan orkestra
sebagai sesuatu yang mewah, prestisius, konsumsi jetset, seni bernilai tinggi,
kaku, konservatif, dan lain-lain. Kalau nonton orkestra harus duduk tenang di
ruang gelap, tanpa gerak, tanpa suara, kalau bisa tanpa kedip – agar dianggap
berbudaya. Duduk pun diatur diri sedemikian anggun, kostum pun harus dipilih
teliti, minimal setara dengan pakaian pesta.
 
Kalau
Anda tetap berpikir – atau berandai? – seperti itu, siap-siap untuk merasa
keliru bila menyaksikan orkes yang satu ini. Karena, di tangan mereka, persepsi
tentang orkes yang selama ini melekat di pikiran dibuat jungkirbalik. Pesannya
menjadi begini kira-kira: orkestra itu menyenangkan!
 
Untuk
lebih meyakinkan Anda, selain membaca catatan kecil ini, sebaiknya Anda berada
di Balai Sarbini pada 9 Juni 2008 lalu. Di sana, dua kelompok orkes besar 
melebur
menjadi satu, Nusantara Sympony Orchestra (NSO) dan Tokyo City Philharmonic
Orchestra (TCPO). Mungkin lewat mereka, Anda paham apa yg dibicarakan pada 
paragraf
di atas.
 
Malam
itu, konser dua kelompok orkes yang sama-sama terkemuka di negaranya
masing-masing, Indonesia dan Jepang, mengadakan konser yang dikhususkan bagi 
pelajar. Maka tak heran, sejak
di pelataran gedung wajah-wajah muda menyesaki suasana menjelang pementasan.
Kesesakan itu ditambah dengan ikut melubernya penonton berkebangsaan Jepang.
Jelas saja, konser ini memang digelar dalam rangka 50 tahun persahabatan 
Indonesia – Jepang.
 
Di
bawah baton Hikotaro Yazaki, orkestra mengalunkan nomor-nomor karya yang sudah
populer, bahkan oleh awam sekalipun. Misalnya saja sebagai nomor pembuka mereka
membawakan karya W.A. Mozart (1756-1791) yang berjudul Overture from Operas ‘Le 
Nozze di Figaro’. Karya yang termasuk
dalam jenis opera Buffa, yang
menceritakan tentang perseteruan antar rakyat golongan atas dan bawah ini
dimainkan dengan amat ringan. Sejak not pertama dibunyikan, kesan melayang
milik komposisi jaman Klasik ini sudah terasa. Sapa menyapa antar instrumen
terjadi dengan amat rukun.
 
Symphony No. 5 milik Beethoven (1770-1827) yang sudah dibawakan pada konser NSO 
24
Mei lalu, dibawakan kembali, namun dalam kesan yang berbeda. Kali ini tidak
seringan dahulu, tapi lebih bertenaga. Tentu saja memang karena jumlah pemain
yang lebih banyak. Namun selain itu, ini menandakan bahwa musik tak perlu
ditafsir berulang dengan cara yang sama. Musik haruslah dinamis dan terus
berkembang jelajah tafsirnya, bahkan bila dimainkan oleh orang yang sama
–maksudnya konduktor yang sama. Karya komponis Jerman ini hanya babak pertama
yang dimainkan.
 
Karya
dari Leroy Anderson (1908-1975) komponis Amerika menjadi amat menghibur. Ada 
Typewriter yang mencoba mengolah imitasi suara mesin tik dalam
sebuah orkes. Sang solois yang duduk di sebelah Yazaki menggunakan mesin tik
sungguhan yang menghasilkan efek ritmis perkusif sepanjang lagu. Seperti mesin
tik, suara ketika menggeser kertas dan bunyi bel penanda juga diimitasi oleh
perkusi.
 
Syncopatedyang ditulis pada tahun 1945 juga tidak kalah seru dan jenaka. Namun 
yang
membuat semakin cair suasana di Balai Sarbini ada pada lagu Plink Plank Plunk.  
Yazaki tanpa malu-malu bergoyang pinggung
mengikuti irama. Sesekali ia berikan tanda sebelum not up beat masuk sehingga 
para pemain berbunyi dengan seragam. Suara
jenaka instrumen gegek yang di-pizicatto ini makin menarik ketika pemain 
contrabass memutar-mutarkan instrumen layaknya
musisi jazz.
 
Menambah
semaraknya suasana, karya dari komponis muda Selandia Baru, Chris Watson (1976)
berjudul Jangeran didaulat untuk
dibawakan. Karya ini menjadi menarik, karena selain berdasar komposisi orang 
Indonesia – melodi ditulis oleh Otto Sidharta – karya ini merupakan simbol 
pertemuan
antar Barat dan Timur. Sekaligus menegaskan hubungan baik dua negara yang amat
berbeda secara politik, ekonomi, kepercayaan, juga budaya, tapi mampu melebur
harmonis dalam kesenian. Diambil dari bahan asli Indonesia (Bali) kemudian 
diolah dalam medium yang khas
Barat (orkes). Namun ciri keduanya, Barat dan Timur, tetap terasa dalam
identitasnya masing-masing.
 
Sekelompok
pemain gamelan pimpinan I Gusti Kompiang Raka bersinergi dengan orkestra
membawakan melodi. Kemudian untuk melayani kebutuhan visual, penari Bali, Anak 
Agung Gede Ariawan, ditampilkan. Lampu merah
marun keunguan menyiram tubuh sang penari yang begitu asli membawakan tanpa
modifikasi gerak.
 
Karya-karya
dari Peter Ilyich Tchaikovsky, Jean Sibelius, dan Georges Bizet kemudian susul
menyusul menambah nikmatnya penonton menyaksikan – atau untuk yang pertama kali
berkenalan – dengan orkestra. Yazaki dan pasukan musiknya yang berdinamis –
bukan kompromi – dengan publik Indonesia yang agak asing dengan musik Barat 
ini, dilempari panjangnya tepuk tangan dan
elu-eluan dari berbaris-baris kursi. Sehingga Yazaki melempar balik pulalah
hadiah encore sebanyak dua buah milik
Bizet dan Redetzki March yang
terkenal milik Richard Strauss.
 
Jadi,
bagaimana orkestra menurut Anda?
 
Roy Thaniago
Penggiat
Agenda 18,
Blogger
(thaniago.blogspot.com),
Mahasiswa
Jurusan Musik Universitas Pelita Harapan.


      Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang 
juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

Kirim email ke