Wajah Baru Anak-Anak Revolusi Oleh Damhuri Muhammad (Cerpenis, editor fiksi, tinggal di Jakarta) Sumber: Jawa Pos, Minggu, 15 Juni 2008 Kairo, 30 Agustus 2006, lelaki ringkih 95 tahun mengembuskan napas penghabisan. Mesir berkabung, dan para penggemar novel di seluruh dunia berduka atas wafatnya Naguib Mahfouz, pemenang Nobel Sastra 1988 itu. Sepanjang riwayat kepengarangannya, ia sudah menulis tidak kurang dari 40 novel dan ratusan cerita pendek. Penulis The Cairo Trilogy (Bayn Qasrayn,1956, Qasr al Shawq, 1957 dan As Sukkariyya, 1957) itu tak luput dari kontroversi. Pada 1994, seseorang menghunuskan belati di lehernya tatkala ia sedang dalam perjalanan menuju pertemuan mingguan dengan rekan-rekan sesama pengarang di sebuah kafe di Kairo. Naguib Mahfouz luka parah, saraf tangan kanannya terganggu. Serangan itu sebentuk harga yang mesti dibayar Naguib Mahfouz lantaran novelnya Aulad Haratyna (1962) yang dituding sesat. Ceritanya berkisar di Kairo masa silam dengan tokoh utama, Gabalawi. Banyak yang menganggap tokoh ayah dalam novel yang semula dimuat bersambung di harian Al Ahram itu sebagai alegori bahwa Tuhan lebih sayang pada Adham (Nabi Adam) dibanding pada Gabal (Musa), Rifa'a (Isa Almasih) dan Qasim (Muhammad SAW). Karena itu, Naguib Mahfouz dituding atheis. Seorang ulama garis keras Mesir mengeluarkan pernyataan: jika Naguib Mahfouz tidak menulis Awlad Haratyna, barangkali Salman Rushdie tidak akan menulis The Satanic Verses yang menggemparkan itu. Tidak sukar menemukan novel-novel Naguib Mahfouz dalam edisi Indonesia. Misalnya Awal dan Akhir (2001), Lorong Midaq (1996), Pengemis (1997), Tragedi di Puncak Bukit (2000), dan lain-lain. Novel berjudul Karnak Cafe (2008) ini merupakan karya Naguib Mahfouz paling anyar dalam edisi terjemahan Indonesia. Edisi Arabnya (Al Karnak) terbit pertama kali di Kairo, 1974. Sementara edisi Inggrisnya terbit pada 2007 untuk mengenang satu tahun kematian Naguib Mahfouz. Dalam sebuah sesi wawancara, sebagaimana dicatat Nadine Gordimer (1995), Naguib Mahfouz pernah ditanya perihal tema apa yang paling dekat di hati Anda? Novelis itu menjawab, ''Kebebasan. Ya, kekebasan dari penjajahan, dari kepemimpinan absolut raja-raja, dan kebebasan dalam konteks masyarakat dan keluarga. Dalam Trilogi saya, misalnya, setelah revolusi membawa kebebasan politik, keluarga Abdul Jawad menuntut kebebasan yang lebih dari dirinya.'' Tapi, berbeda dengan novel-novel Naguib Mahfouz sebelumnya, Karnak Cafe justru menggambarkan pandangan pesimistik terhadap isu kebebasan dan demokrasi yang menyeruak pasca-revolusi 1952. Trauma kekalahan Mesir dari Israel pada perang Juni 1967 menjadi mainstream novel ini. Kafe Karnak sebagai poros dari keseluruhan kisah buku ini bukan kafe biasa, tapi sebuah wadah tempat berkumpulnya ''anak-anak revolusi'' yang kecewa akibat perang enam hari yang membawa Mesir terpuruk pada fase kemunduran, jauh sebelum revolusi 1952 (terbebasnya Mesir dari absolutisme kerajaan) terjadi. Di dunia Arab, malapetaka Juni 1967 itu biasa disebut dengan al naksa (kemerosotan). Periode kekalutan ini bermula dari pengunduran diri Presiden Gamal Abdul Nasser, figur utama yang tak tergoyahkan. Tak lama berselang, pada 1970 ia meninggal dalam sebuah serangan setelah berpidato di hadapan para pemimpin Arab yang tengah berkumpul di Kairo. Penggantinya Anwar Sadat, wakil presiden waktu itu. Banyak darah tertumpah di bawah jembatan Mesir sejak Sadat dikukuhkan menjadi presiden. Para ekstrimis agama, politisi, dan intelektual kiri dibersihkan. Para penyetia Revolusi 1952 seperti Hilmi Hamada, Ismail Syeikh, dan Zaenab Diyab, tokoh-tokoh imajiner dalam Karnak Cafe tidak lagi bisa menghirup udara kebebasan. Hilmi Hamada, pengunjung setia kafe itu berkali-kali dipenjara, dituduh sebagai pengkhianat revolusi hanya karena gagasan politiknya berhaluan sosialisme. Lelaki tambatan hati Qurunfula (mantan artis kondang Mesir, pemilik Kafe Karnak) itu akhirnya mati di penjara, tanpa kejelasan di mana jenazahnya dimakamkan. Zaenab, aktivis muda, mengalami pencabulan di salah satu ruang interogasi. Ia ditangkap karena punya hubungan khusus dengan Ismail Syeikh yang dituduh sebagai antek Ikhwanul Muslimin, gerakan bawah tanah yang hendak diberangus oleh pemerintahan Sadat. Qurunfula, daya pikat Kafe Karnak itu sangat terpukul oleh kematian Hilmi Hamada. Namun kesepiannya sedikit terobati oleh kembalinya Ismail dan Zaenab hingga keriuhan senda gurau masih tetap berdengung di Kafe Karnak. Tapi, Ismail ternyata bukan lagi lelaki yang teguh pendirian seperti dulu, bukan pengikut setia revolusi lagi. Ia bebas setelah menerima tawaran untuk menjadi mata-mata guna membekuk para pembelot yang saban malam berkumpul di Kafe Karnak. Begitu juga Zaenab, ia kembali dengan wajah baru sebagai agen rahasia yang tidak segan-segan menjual kehormatannya demi memperoleh informasi perihal para ekstrimis dan para aktivis kiri yang harus disingkirkan. Tak jelas lagi siapa kawan, siapa lawan. Para pengunjung Kafe Karnak saling curiga, hingga tak ada lagi kenyamanan saat menikmati suguhan kopi seperti dulu. Mereka dalam situasi terancam oleh ''musang-musang berbulu ayam'' yang berkeliaran di Kafe Karnak. Strategi literer pengarang belum bergeser dari realisme usang khas Naguib Mahfouz, dengan satu narator dan sudut pandang tunggal. Selain itu, eksplorasi prosaiknya benar-benar tidak berjarak dari realitas keseharian Naguib Mahfouz. Baik sebelum maupun sesudah memenangkan nobel, Naguib Mahfouz akrab dengan kafe. Mulai Kafe El Feshawi yang bernuansa klasik di kawasan kota tua Kairo, hingga Kafe Riche di seberang Sungai Nil. Di El Feshawi, ia pelanggan terhormat, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, ia memesan kopi hitam, menyapa orang-orang di sekitarnya, membaca koran dan menulis. Berbeda dengan El Feshawi, Kaf� Riche terkenal sebagai tempat berkumpulnya pimpinan majelis revolusi dan tokoh-tokoh pergerakan nasional kelas menengah, seiring dengan pulangnya kaum intelektual Mesir dari Prancis. Sejak 1963, di Kafe Riche kerap diselenggarakan ''salon sastra Mahfouz'' yang dihadiri sastrawan dan budayawan Mesir seperti Gamal el-Gheitani, Amal Danqel, Yahya Tahir Abdullah, Sarwat Abaza, dan lain-lain. ''Jika kamu baca cerita-ceritanya, kamu akan menemukan sejumlah karakter yang diambil dari sejumlah pelanggan kafe ini,'' kata pemilik kafe itu seperti dikutip Qaris Tajuddin (2006). Di kafe ini Naguib Mahfouz memotret pelbagai sisi kegamangan akibat malapetaka Juni 1967, yang tergambar secara benderang dalam novel Karnak Cafe. Tapi, semata-mata merujuk pada peristiwa perang enam hari itu akan mengabaikan kompleksitas persoalan yang tersirat. Sebab, Karnak Cafe bukanlah buku sejarah yang mesti terukur keakuratan konsep historiografinya, tapi teks yang digarap dengan keterampilan artistik dan berhulu pada pencapaian estetika tertentu. Bukankah hubungan ganjil Qurunfula dengan Hilmi Hamada menyuguhkan realitas baru yang terlepas dari ''fakta keras'' perang Mesir-Israel 1967? Begitu juga dengan kegilaan Arif Sulaiman, mantan staf ahli Menteri Keuangan Mesir yang tergila-gila pada Qurunfula. Ia menghamburkan-hamburkan uang demi menaklukkan artis kondang itu, hingga akhirnya dipenjara karena kasus korupsi. Setelah bebas, Arif Sulaiman terlunta-lunta, Qurunfula menampungnya sebagai pelayan di Kafe Karnak. ''Ia bukan korbanku, tapi korban dari ketidakberdayaannya sendiri,'' kilah Qurunfula. Kalimat yang seolah-olah menjadi bentuk pengamsalan terhadap keterpurukan Mesir masa itu. (*) DATA BUKU: Judul : KARNAK CAFE Penulis : Najib Mahfudz Kategori serial : AlvabetSastra Penerjemah : Happy Susanto Editor : A. Fathoni Ukuran : 11 x 18 cm Jumlah Halaman : 166 halaman ISBN : 978-979-3064-55-0 Harga : Rp. 29.000,- ========================================== Pustaka Alvabet Ciputat Mas Plaza Blok B/AD Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat Jakarta Selatan Indonesia 15411 Telp. +62 21 7494032, Fax. +62 21 74704875 www.alvabet.co.id