Diambil dari http://www.thaniago.blogspot.com

Gado-Gado Bunyi Discus
Oleh: Roy Thaniago





 
 
Sudah lama saya dengar nama besar Discus di kancah panggung musik tingkat 
dunia, tapi baru kemarin bisa mencicipi langsung bunyi mereka.

WALAU untuk mencicip bunyi mereka saya harus melanggang jauh dan mengendus 
selukbeluk sisi selatan kota Jakarta , terhimpit dalam keegoisan pengguna jalan 
raya, saya manut saja. Bukan untuk terlena dalam histeria macam groupies pada 
band idolanya. Tapi berada dalam posisi sadar untuk melihat produk seni yang 
Discus tawarkan. Adakah yang didapat sepulangnya?

Discus adalah sekelompok band yang sulit untuk saya definisikan aliran 
musiknya. Ada jazz di sana , ada rock di situ. Ada pop di sana , ada etnik di 
situ. Poin lebihnya, unsur musik avant-garde­ (untuk selanjutnya disebut ‘garda 
depan’) – genre bermusik yang masih jauh dari hirukpikuk dunia musik, digarap 
mereka tanpa malu-malu lagi. (Ya! Saya menyebut ‘genre bermusik’, bukan ‘genre 
musik’, karena garda depan bukanlah sekedar sebuah produk seni, tapi aktivitas 
pemikiran).

Mereka tampil pada 5 November 2008 di panggung Salihara, sebuah kantung budaya 
yang baru berdiri di daerah Pejaten. Salihara adalah anak dari komunitas Teater 
Utan Kayu (TUK) yang berada di Jakarta Timur. Sedang TUK sendiri dibidani Grup 
Tempo. Mereka lebih sering – bahkan kebanyakan – menampilkan acara-acara seni 
yang bernilai kebaruan. Pertunjukkan tarinya kontemporer, diskusinya 
kontemporer, musiknya pun demikian.

Discus ada di Salihara karena menjadi salah satu pengisi acara dalam Festival 
Salihara yang digelar hingga Desember 2008. Festival ini digelar dalam rangka 
pembukaan kantung budaya yang baru lahir ini.

Dalam kata sambutan di buku program, Goenawan Mohamad menulis begini, “Dengan 
festival,  kotaini membuka kesempatan bagi penghuninya untuk menikmati 
karya-karya seni pilihan, tanpa harus pergi jauh. Dengan festival, ruang 
terbuka bagi mereka yang terlibat dalam proses kreatif untuk belajar lebih 
lanjut – terutama dari karya-karya yang datang dari latar berbeda – bagaimana 
menyadari dunia kesenian sebagai dunia yang bekerja keras dalam kebhinekaan dan 
kemerdekaan”.

Jadi cukup jelaslah posisi Discus dalam rangkaian festival di Salihara itu. 
Discus, dengan kemampuannya memediasi berbagai macam gaya musik, menjadi ruang 
terbuka – seperti yang diharapkan Goenawan – yang mampu melayani kebutuhan 
hadirin yang menginginkan beragam karya-karya seniyang dihimpundalam satu 
waktu, satu tempat, satu produk kesenian, sekaligus satu kesatuan 
(kebhinekaan). Hasilnya, Discus memang mampu menghadirkan gado-gado bunyi dari 
berbagai aliran musik. Sehingga tiap pasang telinga tidak perlu mondar-mandir 
Bandung-Banda Aceh, New Orleans-New Delhi, untuk sekedar menghimpun berbagai 
macam bunyi itu. Tiap pasang telinga itu cukup duduk dalam satu waktu satu 
tempat, dan cicipilah hidangan bunyi yang sudah dirangkum Discus dalam posisi 
yangpaling khidmat. Namun, sedapkah sajian mereka?

Menyaksikan Discus, ingatan saya disusupi sikap bermusik yang ditunjukkan 
Krakatau , kelompok musik yang juga menyentuh ranah world music. Krakatau yang 
ditukangi Dwiki Dharmawan dan kawan-kawan, banyak memakai elemen musik etnik 
Indonesia . Alat musiknya pun membentang dari bonang, ceng-ceng, gamelan, 
rebab, dan sebagainya. Lalu, apa yang berbeda dengan Discus?

Kalau Krakatau bermain musik tenik di atas dasar musik jazz, sedang Discus 
bermain musik etnik di atas musik rock progresif. Elemen jazz, pop, dan 
sebagainya dipakai hanya sebagai hiasan, bukan pondasi. Pondasinya tetap rock 
progresif yang menghentak dengan aksen beat yang mengarah ke bawah, bukan aksen 
ke depan seperti musik klasik atau ke atas macam musik reggae (Itulah sebabnya 
mengapa sangat asik mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar musik macam 
ini).

Pilihan ­riff-nya pun kental dengan musik rock progresif. Sesekali terselip 
nuansa-nuansa milik Dream Theater dalam band yang dimotori oleh Iwan Hasan 
(vokal, gitar, gitar-harpa 21 senar) ini. Kemudian ada Anto Praboe (saksofon 
tenor, klarinet bas, flute, suling pui-pui, vokal), Fadhil Indra (vokal, kibor, 
rindik, gong, kempli, perkusi elektronik), Eko Partitur (biola, vokal), Kiki 
Caloh (bas, vokal), Krisna Prameswara (kibor), Hayunaji (drum), dan 
satu-satunya perempuan, Yuyun (vokal).

Memang terbayar rasa penasaran saya untuk hadir di konser ini. Mereka 
menawarkan konsep musik yang amat lain, amat berbeda, amat unik, di tengah 
seragamnya musik industri di tanah air. Sikap bermusiknya jelas dan berani 
tampil jungkir balik. 

Jungkir balik. Maksudnya, ada beberapa komposisi (saya lupa judulnya, karena 
tidak ada buku program acara yang memandu konser secara spesifik) yang 
membentangkan berbagai aliran musik yang mengesankan sebuah transisi yang amat 
kontras tiap perubahan alur musik. Di tengah gebukan drum berwajah garang, 
tiba-tiba saja terselip iringan pentatonik Sunda pada kibor. Atau di tengah 
alunan bergaya swing, sepenggal melodi khas musik Sumatera (mungkin Aceh atau 
Padang ) menyembul dari biola.

Mereka juga tidak tanggung-tanggung dalam bereksperimen. Akor-akor aneh yang 
timbul lantas menggiring saya pada nama komponis Amerika, Arnold Schoenberg 
(1874-1951) atau Richard Strauss (1864-1949), seorang komponis Jerman. 
Pasalnya, Schoenberg adalah pionir dalam mencipta harmoni-harmoni aneh yang 
belum pernah ada sebelumnya, dan dia dikenal lewat konsep ’12-nada’. Sedang 
Strauss, semangatnya menciptakan harmoni unik dapat didengar lewat karya 
operanya berjudul Salome. Di karya ini, ada satu titik di mana Strauss 
memasukkan akor yang terdiri dari 10 nada berbeda yang memberi efek yang 
menjijikkan. Dan Discus berani bermain dalam wilayah itu. Sepintas dari tangan 
Krisna sang kibordis, terdengar whole-tone yang memberi efek mengawang.

Di urutan lagu kesekian, Discus menggunakan formasi trio. Iwan Hasan bermain 
gitar-harpa 21 senar, Anto Praboe meniup klarinet-bas, dan Eko Partitur 
menggesek biolanya. Formasi ini cukup pas ditaruh di tengah-tengah konser. 
Seakan memberi kesempatan penonton untuk sedikit mengambil napas setelah 
sebelumnya digeber musik yang berisik dan galak. Dengan gitar-harpa-nya, Iwan 
mampu mencapai nada-nada amat rendah sehingga suasana amat melankolik namun 
syahdu. Belum lagi gelap dan beratnya tiupan Anto lewat klarinet-bas.

Secara teknis, masing-masing pemain punya kemampuan yang cukup. Hanya Eko 
Partitur yang secara teknik terasa amat kurang – temponya tidak presisi, 
frase-frase yangdibangun sering tidak mulus, vokabularinya dalam bernada amat 
terbatas. Tapi tanpa gesekan Eko, saya rasa Discus kehilangan nyawa. Saya kira 
sulit mencari biolin dengan suara yang menyerempet suara rebab atau instrumen 
etnik lainnya yang digesek karena para biolin lebih banyak terdidik dalam warna 
suara khas musik klasik.

Yang sedikit agak mengganjal, selain tata suara yang tidak proporsional (suara 
vokal bertarung sengit dengan suara band, dan terdapatnya perbedaan kualitas 
suara antara duduk di depan dengan di belakang), adalah ketidakajegan porsi 
pukulan sang drummer, Hayunaji, ketika membawakan nomor-nomor jazz. Pujian yang 
perlu dilayangkan selain kepada Anto Praboe dan Iwan Hasan, lewat improvisasi 
mereka, adalah vokal Yuyun yang dengan cepat mampu beradaptasi dari jazz ke pop 
ke etnik India .

Menyaksikan band yang berdiri sejak tahun 1995 ini, yang sudah mengeluarkan 2 
album dalam distribusi internasional, untuk pertama memang amat menggigit. 
Sedap. Tapi setelah mata analisis dipergunakan, saya sadar pola yang mereka 
gunakan. Polanya memang mirip pada nomor-nomor jazz pada umumnya yang dimulai 
dari tema lagu kemudian pengembangannya. Bedanya, pengembangan Discus 
seringkali progresif dan ekstrim. Tapi, mereka seringkali mengulang 
elemen-elemen atau teknik-teknik improvisasi yang sudah dipakai sebelumnya. 
Dengan mengganti-ganti instrumen – Anto bermain beragam alat musik Barat dan 
etnik, Iwan bermain berbagai macam ragam gitar elektrik dan etnik – keusangan 
elemen tersebut rupanya dapat diatasi.

Secara konsep, ada beberapa lagu yang saya tidak mampu ikuti alurnya. Tidak ada 
bingkai yang jelas yang membatasi penjelajahan musik mereka. Sehingga saya 
seringkali terkecoh untuk mengapresiasi karya mereka: 
ketidaknyambungan/kekontrasan yang terjadi dalam satu alur komposisi, disengaja 
untuk menghadirkan efek tertentu, atau memang ketidakfokusan mereka dalam 
membingkai konsep lagu.

Di akhir pertunjukkan, mereka membawakan satu encore untuk memberi 
kenang-kenangan kepada penonton yang datang pada malam itu kebanyakan adalah 
penggemar Discus, penggemar musik baru dan rock progresif, juga pecinta 
kesenian. Musik Discus memang butuh pendengar komunitas untuk membuat mereka 
tetap ada dan diapresiasi. Apapun itu, sikap bermusik Discus pantas terus ada 
di kancah musik non-tunduk-industri. 

--
Posted By  Roy Thaniago  to Saung Kata at  11/09/2008 06:40:00 PM


      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke