RumahDunia.Net - Bengkel Sastra (http://www.rumahdunia.net)
CERPEN KORAN INDONESIA - 19 Desember 2005 - 17:01 (Diposting oleh: Firman Venayaksa) Oleh Saut Situmorang* Anggaplah “cerpen koran Indonesia” itu ada. Yaitu cerpen-cerpen berbahasa Indonesia yang biasanya muncul di koran-koran edisi Minggu di seluruh Indonesia, yang panjangnya berkisar antara 6-8 halaman kuarto (spasi-ganda), dan yang bercerita tentang “peristiwa aktual”, atau tentang “realitas koran”, dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Bukankah, biasanya, tiga hal inilah yang dijadikan alasan bagi relevannya pemakaian istilah “cerpen koran” dalam perbincangan tentang cerpen kontemporer Indonesia? *** SUB-GENRE Anggaplah ketiga karakteristik teks di atas memang merupakan representasi sosok sub-genre sastra yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia”. Lantas, semua cerpen yang juga berbahasa Indonesia, yang juga muncul di koran-koran edisi Minggu di Indonesia, yang panjangnya juga antara 6-8 halaman kuarto (spasi ganda), tapi tidak mengangkat cerita “peristiwa aktual” atau “realitas koran” kehidupan sehari-hari di Indonesia, apakah cerpen-cerpen seperti ini juga termasuk “sastra (cerpen) koran”? Kalau tidak, karena tidak semua kriteria karakteristik teks seperti saya sebutkan di awal esei ini terdapat padanya, maka ke dalam kategori sub-genre cerpen apa cerpen-cerpen jenis terakhir ini mesti dimasukkan? Lalu apa “cerpen koran Indonesia” itu sebenarnya? Apakah “cerpen koran Indonesia” itu, dalam arti sebuah sub-genre spesifik dari bentuk fiksi bernama cerpen, memang benar-benar ada, seperti yang luas diyakini dalam dunia sastra kontemporer Indonesia? Seperti kebiasaan klisé dalam budaya pop, dunia sastra modern Indonesia juga tidak luput dari euforia keterpesonaan pembuatan/pemakaian istilah-istilah baru, tapi terkesan jauh lebih asal-asalan, tidak bertanggung jawab, dibanding yang biasa terjadi di dunia budaya pop. Dalam budaya pop sebuah istilah baru memiliki rujukan objek yang jelas, yang membedakannya dari objek-objek istilah lain. Ambil contoh “sinetron”. Penonton awam, yang tidak mengerti bahwa sinetron itu adalah akronim dari “sinema elektronik”, bisa membedakan sebuah sinetron dari sebuah “film lepas”. Pembagian naratif plot sinetron dalam episode merupakan ciri khas utama yang membedakannya dari “film bioskop”, misalnya. Dan ceritanya biasanya pasti tentang “kehidupan tragis orang-orang kaya raya yang tidak bahagia”. Tapi bagaimana dengan istilah “cerpen koran Indonesia”? Apa memang terdapat karakteristik teks yang unik dan khas pada karya-karya yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” yang segera akan membedakannya dari “cerpen bukan-koran Indonesia”? Apa ketiga faktor yang saya sebutkan di awal esei ini memang benar-benar sudah bisa menjelaskan apa yang dimaksud sebagai “cerpen koran Indonesia”, kalau makhluk ini memang ada? Sayang, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari para “pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia yang rata-rata begitu saja merayakan keberadaan apa yang mereka sebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu dalam tulisan-tulisan mereka di koran-koran Indonesia, dengan tanpa sedikitpun peduli untuk, paling tidak, membicarakan batasan-batasan definisi terminologi sehingga tulisan-tulisan mereka itu tidak sekedar daur-ulang tidak kritis dari klaim-klaim asersif yang dibuat satu-dua orang yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. “Problemalitas” pengertian istilah seperti “cerpen koran Indonesia”, misalnya, kayaknya tidak dianggap terlalu penting untuk dibicarakan oleh para “pengamat/pemerhati/kritikus” sastra Indonesia. Ada terkesan semacam kemalasan untuk benar-benar berusaha menerang-jelaskan maksud dari istilah-istilah yang kerap kali dipakai, padahal bukankah kejelasan definisi merupakan sebuah syarat awal bagi terjadinya pembicaraan yang kritis dan bertanggung jawab. Malah saya melihat ada kecenderungan kuat akhir-akhir ini di kalangan penulis artikel tentang sastra di koran-koran Indonesia untuk saling berlomba menciptakan istilah-istilah “aneh” yang cuma menunjukkan betapa penulisnya ingin sekali dianggap “berisi” walau isi tulisan dan judulnya, misalnya, biasanya tidak punya relasi tekstual seperti yang diharapkan, mirip gejala “sajak-sajak gelap” di puisi kontemporer Indonesia. Ambisi besar untuk menulis ala kaum pascastrukturalis di Eropa dan Amerika Serikat ini ternyata hanya sebuah fenomena epigonisme Afrizalian lokal belaka! Yang pasti adalah bahwa istilah “cerpen koran Indonesia” selalu merujuk ke cerpen-cerpen yang memang dipublikasikan di koran-koran, khususnya edisi hari Minggu, di seluruh Indonesia. Medium tempat cerpen dipublikasikan merupakan faktor utama dalam pemberian istilah “cerpen koran” dimaksud. Tapi lantas kenapa cerpen-cerpen yang muncul di koran mesti disebut sebagai “cerpen koran”, yang secara konotatif seolah-olah ingin dibedakan dari cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran? Apa memang ada nilai khusus tertentu yang ingin dibuktikan dengan pemberian kategori pembeda seperti ini, sebuah “estetika koran” misalnya? Anggaplah apa yang disebut sebagai “realitas koran”, walaupun istilah ini sendiri masih juga sangat problematis pengertiannya, merupakan unsur tematis yang khas mewarnai “cerpen koran Indonesia”. Apa cerpen-cerpen yang tidak muncul di koran Indonesia tidak memiliki tema-tema cerita yang juga diangkat dari “realitas koran” atau “peristiwa aktual” kehidupan sosial sehari-hari di Indonesia? Seandainya pun tema “realitas koran” adalah sah juga untuk diceritakan dalam cerpen-cerpen yang tidak muncul dalam koran Indonesia, dalam hal apakah terdapat keunikan yang khas pada “cerpen koran Indonesia” hingga memang bisa dibedakan sebagai sebuah sub-genre yang otonom dan istimewa? Juga, bukankah ukuran panjang-pendek sebuah cerpen yang 6-8 halaman kuarto (spasi-ganda) itu merupakan ciri umum rata-rata cerpen-cerpen yang muncul di majalah, buku dan Internet, jadi bukan hak prerogatif “cerpen koran Indonesia” belaka? Antologi pertanyaan seperti yang saya susun ini, saya pikir, sangat penting dilakukan kalau kita ingin bicara serius dan kritis tentang pemakaian istilah “cerpen koran Indonesia” bagi cerpen-cerpen yang muncul di koran-koran di Indonesia. Kejelasan makna definisi mesti diciptakan terlebih dulu agar pembicaraan tidak berkesan tergantung pada kata hati masing-masing pembicara saja sedangkan isi pembicaraan sudah mengelantur ke sana ke mari. Pembicaraan atas cerpen Indonesia, bahkan cerpen yang muncul di koran sekalipun, adalah pembicaraan yang bersifat kritik sastra dan sebuah kritik sastra mesti dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang ilmiah dan universal. Kejelasan pengertian definisi sebuah istilah yang dipakai, seperti “cerpen koran Indonesia” itu, merupakan syarat awal yang utama agar pembicaraan bisa menukik ke dalam isu topikal yang dibicarakan dan menghasilkan solusi-solusi kritis yang selanjutnya bisa dikembangkan kepada persoalan-persoalan relevan lainnya hingga sebuah kritik sastra Indonesia itu, kalau memang masih dianggap perlu, tidak menjadi sebuah kemustahilan, sebuah mimpi di siang bolong, seperti saat ini. KRITIK SASTRA KORAN Dalam seri dua tulisan bersambung yang memiliki dua judul berbeda, walau konon topik pembicaraannya satu, tentang “cerpen koran Indonesia” (Republika, 6 dan 13 Oktober 2002), Binhad Nurrohmad mengklaim berusaha untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” melalui usaha “menemukan generasi terbaru cerpen koran Indonesia”, tapi tanpa terlebih dahulu menyatakan kepada kita apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan “cerpen koran Indonesia” itu. Padahal kedua tulisannya itu “dimaksudkan untuk membuka (mengawali) diskusi (kecil) tentang fenomena cerpen koran (dalam pertumbuhan cerpen Indonesia)”, seperti yang dinyatakan dua catatan kecil dari Redaksi Sastra Republika pada kedua tulisannya tersebut. Pada tulisan pertamanya, Binhad bercerita panjang tentang “cerpen” tapi, anehnya, tidak tentang apa itu “cerpen koran Indonesia”, yang merupakan isu pokok dari kedua tulisannya itu. Apa telah terjadi sebuah peristiwa amnesia tekstual dalam usaha penulisnya untuk “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia”, saya tidak tahu, tapi sebagai pembaca yang tertarik ingin tahu apa itu “cerpen koran Indonesia” dan cerpenis-cerpenis mana yang sudah “menggapai puncak kanon cerpen koran Indonesia” saya tidak menemukan pemuasan rasa tertarik saya itu setelah selesai membaca tulisannya. Keingintahuan saya atas “apa” yang sudah “dicapai” para cerpenis-yang-absen-dalam-tulisannya itu hingga mereka dikatakannya sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” juga tidak mengalami satori-teks atau tekstasi oleh aktivitas pembacaan yang saya lakukan atas tulisan Binhad Nurrohmad tersebut. Mungkin minggu depan pada “bagian kedua dari dua tulisan”nya itu, harapan saya dalam hati, karena di akhir cerita panjangnya tentang “cerpen koran Indonesia” bagian pertama tersebut dia mulai menyinggung point entry/entry point (?!) dari diskusi tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia”, yaitu penerbitan buku kumpulan cerpen Pembisik (Penerbit Republika, 2002) “yang kini sudah beredar di toko-toko buku seperti Gunung Agung dan Gramedia” itu. Dalam “bagian terakhir (kedua) dari dua tulisan” Binhad Nurrohmad tentang “fenomena cerpen koran dalam pertumbuhan cerpen Indonesia” saya segera mengerti bahwa apa yang dimaksudkannya tentang “cerpen koran Indonesia” itu ternyata dianggapnya sudah juga saya mengerti sehingga dia tidak perlu lagi repot-repot untuk menjelaskannya dalam kedua tulisannya tersebut. Apa ini sebuah peristiwa amnesia tekstual lagi, entahlah tapi yang pasti dia dalam bagian kedua tulisannya itu, katanya, punya sesuatu yang jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu tentang “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia. Dan para cerpenis yang dianggapnya merupakan “generasi terbaru cerpen(is) koran” Indonesia itu adalah “kanon tersendiri” setelah “generasi lama seangkatan Umar Kayam... Budi Darma... Danarto... Seno Gumira Ajidarma”. Generasi terbaru cerpen(is) koran itu disebutnya “kanon tersendiri” karena, menurut Binhad, mereka telah “melakoni praktik literer yang menempuh jalan lain, bahkan gigih ingin menyempal dari tradisi generasi cerpenis sebelumnya”. Sementara untuk pengertian definisi istilah “kanon sastra” itu sendiri Binhad, katanya, “meminjam” pendapat seorang Dekonstruksionis Yale, Harold Bloom, yaitu bahwa “kanon sastra membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan”. Apa yang saya mengerti dari kedua tulisan Binhad di atas adalah bahwa, pertama, dia telah “menemukan generasi terbaru cerpen(is) koran” Indonesia, tapi tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan istilah “cerpen koran” itu sendiri (seolah-olah kita pembacanya sudah otomatis tahu apa definisi istilah yang dipakainya itu), dan, kedua, bahwa “generasi terbaru cerpen koran” itu merupakan “kanon tersendiri”, kanon terbaru dalam sejarah “cerpen koran Indonesia”. Mereka menjadi “kanon tersendiri” karena telah “membuat kita terasing di tengah lingkungannya sendiri, atau sebaliknya, membuat kita kerasan dan intim di tengah keterasingan” yang kita alami waktu bertemu muka dengan “generasi terbaru cerpen koran” Indonesia tersebut. Menurut Binhad lagi ada dua mainstream atau “tradisi cerpen (koran)” Indonesia itu, yaitu “tradisi” Republika dan Kompas yang sosial-realis (dengan Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata dan Agus Noor sebagai “tokoh-tokoh atau tonggak-tonggak”nya) dan “tradisi” Media Indonesia dan Koran Tempo yang “alternatif” dalam “keliaran gagasan naratif” dan “segi penceritaan dan eksplorasi bahasa” cerpen-cerpen korannya (Hudan Hidayat dan Puthut EA adalah “generasi terbaru”nya di sini). Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di kepala saya setelah membaca klaim-klaim Binhad di atas adalah apakah “cerpen koran Indonesia” itu adalah cerpen-cerpen yang hanya muncul di “Republika, Kompas, Media Indonesia dan Koran Tempo” saja, karena keempatnya, menurut Binhad, merupakan “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir dan (yang bahkan telah) melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”? Atas dasar apa Binhad membuat klaim bahwa di luar keempat koran Jakarta tersebut tidak ada apa-apa yang bisa dikatakan sebagai “medium utama dan representasi pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir”? Kalau memang keempat koran Jakarta itu telah “melahirkan sebuah tradisi cerpen tersendiri”, sebuah gaya penulisan yang mungkin bisa disebut sebagai sebuah “gerakan sastra”, di manakah saya bisa membaca karya-karya representatif yang pasti hebat-hebat itu? Dalam kata lain, adakah antologi-antologi yang diterbitkan khusus untuk membuktikan asersi Binhad ini, seperti antologi Pudjangga Baru oleh HB Jassin misalnya? Dan apakah dengan pencantuman nama-nama pengarang tertentu sebagai representasi dari dua “mainstream” dari “tradisi cerpen tersendiri” yang dilahirkan keempat koran terbitan Jakarta itu berarti bahwa “gaya penulisan” seperti yang dilakukan “generasi terbaru” ini yang mendominasi, yang merupakan ciri khas utama “gaya penulisan” para cerpenis lain di keempat koran tersebut, dan juga di media lain? Begitu panjangnya antologi pertanyaan yang bisa dilontarkan kepada Binhad Nurrohmad karena dia lebih banyak membuat klaim-klaim asersif yang konklusif ketimbang menjelaskan persoalan. Kesimpulan-kesimpulan umum yang banyak sekali dibuatnya dalam kedua tulisannya itu, tanpa sedikitpun ada usaha untuk membuktikannya, telah membuat Binhad terjebak dalam labirin permainan istilah yang telah, paling tidak misalnya, membuatnya membicarakan “cerpen” secara umum padahal yang menjadi isu tulisannya adalah “cerpen koran” Indonesia. Dan pemakaian istilah “kanon sastra” dalam kedua tulisannya itu, walau dia berpretensi mengerti apa maksud istilah tersebut dalam karya kritik seorang Harold Bloom, begitu tidak bertanggung jawab karena sama sekali tidak mampu dijelaskannya dengan contoh-contoh dari dunia “cerpen koran Indonesia” yang ingin dibaptisnya ada itu. Mengutip definisi umum yang diberikan kritikus sastra Amerika MH Abrams, istilah canon dalam dunia sastra kontemporer biasanya selalu merujuk kepada pengertian: para pengarang yang karya-karyanya, melalui konsensus kumulatif dari kritikus-kritikus dan pakar-pakar penting, dan juga melalui pengaruh karya-karya tersebut yang luas dan nyata pada para pengarang sesudah mereka, memang diakui secara umum sebagai pengarang-pengarang utama (major authors), pengarang-pengarang besar, serta yang sudah pasti akan selalu dibicarakan para kritikus dan sejarawan sastra dan paling sering ikut dalam antologi-antologi dan mata-kuliah akademik penting seperti “Karya Besar Dunia”, “Sastrawan Utama Inggris” atau yang semacamnya itu. Bisa dilihat bahwa ada dua hal penting yang mendasari kenapa seorang sastrawan itu disebut sebagai “kanon sastra”, yaitu pengakuan dari para “kritikus” dan “pakar” sastra melalui studi-studi yang disebut “kritik sastra” dan pengaruhnya atas karya-karya para sastrawan sesudahnya (“the anxiety of influence” istilah Harold Bloom). Dari nama-nama cerpenis yang disebutkan Binhad sebagai “puncak kanon cerpen koran Indonesia” dan “generasi terbaru cerpen koran” itu, apakah kedua macam “pengakuan” ini memang sudah ada? Karya-karya “kritik sastra” manakah dan pengaruh atas sastrawan-sastrawan manakah yang bisa membuktikan klaim asersif Binhad bahwa nama-nama yang dikatakannya mewakili “mainstream” keempat koran Jakarta itu memang merupakan “kanon sastra”, bahkan dalam apa yang disebut sebagai “cerpen koran Indonesia” itu? Kegenitan untuk menjadi seseorang yang “menemukan generasi terbaru”, sebuah angkatan pengarang terbaru, dalam dunia kang-ouw sastra kontemporer Indonesia, tanpa disertai dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan, kayaknya sudah menjadi kebiasaan dalam “pseudo-kritik-sastra” Indonesia. Saya katakan “pseudo-kritik-sastra” Indonesia karena banyak sekali penulis Indonesia berambisi menjadi “kritikus sastra” tanpa melakukan apa-apa, kecuali membuat antologi-antologi klaim asersif yang konklusif tapi superfisial. Dan impotensi untuk melakukan “kritik sastra” ini diusahakan untuk ditutup-tutupi dengan permainan istilah yang diharapkan bisa menimbulkan, paling tidak, kesan “kecerdasan berbahasa” pada para pembacanya. Kecerdasan superfisial dianggap lebih heboh ketimbang sebuah kesederhanaan pehamaman yang mendalam! Inilah ciri umum tulisan tentang sastra yang muncul di koran-koran Indonesia. Mungkinkah hal ini bisa terjadi disebabkan oleh keyakinan besar di kalangan sastrawan Indonesia bahwa sastra kontemporer Indonesia itu identik dengan “sastra koran Indonesia” maka isinya (karya dan kritiknya) pun tak lebih dari sekedar “realitas koran” yang merupakan ideologi medium tempat sosialisasinya belaka – aktual, tapi sekali dibaca mati? *** *Saut Situmorang, penyair dan esais, tinggal di Jogjakarta [RumahDunia.Net] Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/