Merangkul Kesederhanaan 

Lirik sebuah lagu, termasuk dalam seni musik tradisional, 
menggambarkan pola pikir atau mindset dari budaya yang bersangkutan. 
Saya gemar memperhatikan lirik dalam gendhing-gendhing ataupun lagu-
lagu Jawa terutama karena kesederhanaannya atau justru karena ketidak-
bermaknaannya: yang justru menembus makna yang paling dalam.

Perhatikan penggalan lirik-lirik berikut ini:

"Eman-eman...."
"E... bapak-ne thole...."
"Dua lolo....."
"Nginang karo ngilo...."
"Alah bapak nganggo kathok..."
"Ijo...."
"Aduh lae...."
"Bukak sithik, joss!!"

Dalam Tao diajarkan tentang: merangkul balok kayu yang tak dipahat. 
Balok kayu yang tak dipahat adalah lambang keluguan, sifat asli apa 
adanya, tanpa dibuat-buat atau direkayasa, sesuatu yang sederhana dan 
alami. Seseorang harus kembali pada sifatnya yang asli, begitu kira-
kira yang ingin disampaikan Lao Tse. Menarik sekali bahwa lirik-lirik 
dalam gending-gending Jawa menyuarakan hal yang sama: kata-kata yang 
begitu sederhana, bahkan nyaris tak bermakna... menampilkan 
kesederhanaan yang begitu Harmonis dan Agung. Kesederhanaan tanpa 
banyak aksesoris! Simplicity... begitu kata orang bule.

Bukankah simplicity itu yang sudah sering dilupakan orang dalam 
budaya pop sekarang ini? Sekarang ini orang lebih banyak mengejar 
akseoris daripada hal-hal yang basic atau mendasar. Orang tidak lagi 
berpikir: mau makan apa? Tapi: mau makan di mana? Atau bahkan: mau 
makan siapa? Ha..ha...ha...

"Carilah yang basic, dan tinggalkan aksesoris. Orang bijak mencari 
makan, dan bukan kepuasan rasa," begitu yang dikatakan Lao Tse. Dan 
setiap kali mendengarkan gendhing-gendhing Jawa saya selalu 
diingatkan akan hal itu:

"Ora butuh kae-kae, butuhku mung nyambut gawe...."

Salam,
www.catatanrenungan.blogspot.cm



Reply via email to