Jurnal Toddopuli:
 
 
GEMI NASTITI
 
Cerita untuk   Anak-anakku
 
 
"Gemi Nastiti? "
 
"Apalagi ini, Pah?"
 Mungkin demikian kalian bertanya ketika kita berkumpul seperti biasa untuk 
mendengar cerita menjelang kalian tidur sambil tersenyam-senyum tapi mengandung 
rasa ingin tahu. Kalian rebutan tempat di pangkuan ibu dan ayah supaya santai 
mendengar cerita. 
 
Gemi Nastiti adalah sebuah istilah mengenai cara pengelolaan ekonomi di 
masyarakat petani  Jawa, terutama Jawa Tengah di mana ayah melalukan masa 
remaja hingga merampungkan kuliah. Jawa Tengah merupakan kampung halaman kedua 
ayah.
 
"Kalian tahu nggak mengapa ayah cerita selalu bercerita tentang berbagai etnik 
di negeri kita?"
 
Aku melihat kalian saling pandang sambil berpikir. "Ayah ingin kalian mengenal 
kekayaan  khazanah pemikiran dan budaya tanahaair kita yang sangat beragam. 
Menyerap hal-hal positif dari khazanah itu sebagai sangu kalian dalam menjawab 
tantangan zaman angkatan kalian sebagai angkatan modern. Modern adalah 
kemampuan menjawab tantangan zaman dengan menyerap semua unsur budaya yang ada 
bertolak dari budaya kita sendiri sehingga tanggap zaman. Modern jadinya 
bukanlah nyontek Barat dan apalagi Baratisasi. Untuk menjiadi anak bangsa yang 
modern, kalian niscaya kreatif, memutar otak, mengenal budaya sendiri .Tanpa 
mengenalnya kalian tak bisa melakukan revitalisasi terhadap budaya sendiri. 
Budaya sendiri merupakan bahasa kalian untuk berdialog dengan budaya dunia. Tak 
ada konflik antara menjadi Dayak atau  Bugis atau Jawa dengan menjadi 
Indonesia, dan anak dunia. Penyontekan , ayah kira hanya akan membuat kalian  
jadi epigon. Epigon tidak pernah besar. Akan
 tak obah katak mau jadi lembu. Modern dalam artian demikian, memerlukan 
penelitian, kreativitas, mengenal budaya sendiri. Karena ayah percaya, 
etnik-etnik dan daerah-daerah punya kearifan-kearigan sebagai kesimpulan 
pengalaman berabad-abad. Mengapa kesimpulan-kesimpulan ini tidak diindahkan, 
tidak dihargai dan tidak dimanfaatkan untuk menjadi anak bangsa yang modern? 
 
Gemi Nastiti adalah suatu kearifan petani Jawa dalam mengelola kehidupan 
ekonomi mereka. Konsep ini merupakan "suatu kesadaran dan kemampuan untuk 
membatasi pengeluaran yang tak berguna", tulis Kapten Laut AD Band dalam 
tulisannya berjudul "Postur Perwira-Prajurit Matra Laut Yang Profesional" dalam 
Majalah Cakrawala TNI AL, 27 Agustus 2004. Konsep ini menentang pemborosan, 
melawan sikap "besar pasak daripada tiang", jalaran untuk melakukan investasi 
secara mandiri sehingga bisa mengembangkan ekonomi keluarga setapak demi 
setapak. Kita punya mimpi, punya keinginan. Kita juga mesti siap menghadapi 
keadaan darurat tak terduga.  Mimpi dan keadaan darurat tak terduga ini akan 
bisa kita jawab dan hadapi dengan tenang jika kita punya basis ekonomi yang 
tidak rapuh. 
 
Gemi Nastiti merupakan konsep pengelolaan ekonomi keluarga  mandiri sebagai 
entitas terkecil masyarakat di kalangan petani Jawa secara mandiri. Barangkali 
untuk skala lebih besar, konsep gemi nastiti ini bisa jadi dasar koperasi. Ayah 
bersama teman-teman waktu di Paris, turut mendirikan koperasi yang bertahan 
sampai sekarang, selain berpegang pada azas-azas koperasi secara umum, juga 
mentrapkan konsep gemi nastiti ini. Semua pengeluaran dihitung bermat dan 
terukur. 
 
Sejajar dengan konsep gemi nastiti petani Jawa ini, ayah melihat konsep 
"lusuk"  atau lumbung pada masyarakat Dayak dahulu. Untuk mengisi lusuk, 
keluarga-keluarga Dayak menyisihkan panen mereka untuk berjaga-jaga menghadapi 
musim paceklik yang datang bersama musim kemarau. Ketika ayah pulang kampung, 
sampai jauh ke hulu ayah bepergian, lusuk ini tak pernah ayah temui. Bahkan 
jumlah ladang di tanah kereng pun sangat langka hingga keperluan beras jadi 
tergantung pada Pulau Jawa. Budaya membuat gula dari tebu, sabun dari daun 
nenas, hancur dan tidak dikenal oleh angkatan sekarang yang merasa diri modern. 
 
Konsep  seperti lusuk, gemi nastiti merupakan kesimpulan dari pengalaman 
berabad penduduk lokal. Mengenal kearifan lokal, mengenal budaya sendiri dan 
diri sendiri inilah yang ayah mau ayah sampaikan. Bahwa kalian jangan sampai 
mengasingkan diri secara sukarela dari kampunghalaman sendiri. Ayah tahu bahwa 
kearifan lokal ini jika digali, akan kita dapatkan di berbagai bidang . Jika 
direvitalisasi dan direstitusi, kiranya akan jadi tanggap zaman.
 
Perjalanan Kembali, Winter 2008
----------------------------------------------
JJ. Kusni
 
 
LAMPIRAN:
 
 
skip to main | skip to sidebar 





~Gemi Nastiti~ 

Akhmad Solehudin's Rural Economic Development Archieves







19.2.07

Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan 
terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian 


Pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan dan merupakan sektor yang melibatkan 
sebagian besar penduduk Indonesia terus mendapatkan ancaman dan permasalahan 
baik dari dalam maupun luar. Marginalisasi sektor pertanian rakyat, dengan 
mulai mendominasinya pertanian korporasi (corporate farming) dan ancaman 
ketersingkiran petani kecil pedesaan dengan adanya globalisasi pasar bebas Neo 
Liberalisme melalui kesepakatan Agreement on Agriculture (AoA) merupakan 
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pemerintah hingga saat ini belum memihak 
petani kecil dengan memberikan kebijakan proteksi dan subsidi yang cukup dapat 
melindungi mereka dari ancaman pasar bebas, dimana produk-produk pertanian dari 
negara lain dapat bebas masuk dan menggusur. Jika hal ini terus dibiarkan, 
kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan 
merupakan resiko besar yang terpampang di depan mata.


Sementara itu, pertanian rakyat juga masih menghadapi persoalan-persoalan 
klasik dan internal dari dari pra produksi sampai pasca produksi. Permasalahan 
pra produksi meliputi pemenuhan faktor-faktor produksi, dari tanah hingga 
sarana produksi pertanian (benih, pupuk, dll.), dan dukungan infrastruktur 
pertanian semisal irigasi. Pada proses produksi, terjadi permasalahan 
inefisiensi akibat tinginya biaya input dan minimnya aplikasi teknologi yang 
dapat meningkatkan produktifitas. Permasalahan pasca produksi terlihat dari 
rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian yang menyebabkan petani kecil 
tak kunjung sejahtera. Jauh sebelum pemerintah mendengungkan program 
revitalisasi pertanian yang katanya akan menyelesaikan krisis pertanian di 
Indonesia, yang ternyata tak kunjung kongkret dan masih bias dalam konsep dan 
praktek, sebenarnya sudah banyak pihak yang mengkampanyekan pertanian 
berkelanjutan sebagai alternatif. Pertanian Berkelanjutan mengandung
 pengertian bahwa petani harus mempunyai kedaulatan dalam produksi yang dapat 
menjamin keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial budayanya. Pemberdayaan 
ekonomi pertanian dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan 
kemandirian petani melalui peningkatan produktifitas dan efisiensi produksi 
pertanian melalui pertanian organis, tata kelola produksi yang mendukung 
ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan dengan 
usaha ekonomi produktif dan manajemen pasca panen, serta peningkatan posisi 
tawar dan akses dalam pasar produksi pertanian rakyat.

Dalam perspektif ekonomi, pertanian berkelanjutan melalui inovasi teknis 
produksinya bisa jadi menjawab persoalan ekonomi mikro pertanian pada segi 
permodalan dan efisiensi produksi dengan penekanan input, peningkatan 
produktifitas dengan aplikasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, dan 
penambahan pendapatan rumah tangga petani dengan produksi pasca panen misalnya. 
Namun pada persoalan ekonomi makro, dimana petani sebagai individu-individu 
produsen harus menjadi bagian besar struktur ekonomi pada suatu wilayah atau 
negara, dimana terdapat banyak sekali aktor dan kepentingan yang bermain, 
persoalan ekonomi petani kecil ternyata tidak cukup diselesaikan dengan resep 
teknis semata. Sebenarnya, pada level makro, yang bisa menjamin tata 
perkonomian dapat mensejahterakan petani adalah pemerintah, dengan membuat 
kebijakan makro yang memihak kepentingan petani produsen. Namun seperti sudah 
dinyatakan di awal tulisan, kenyataan tersebut jauh dari harapan,
 dan menjadi tanggung jawab eksponen gerakan tani untuk terus mengkampanyekan 
dan mendorong perubahan kebijakan tersebut.

Pertama kita akan membedah persoalan makro ekonomi pertanian, atau 
persoalan-persoalan di luar produksi. Dalam struktur ekonomi, petani produsen 
dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan 
aktor lain, yaitu pemodal, pedagang, distributor, dan penikmat rente lainnya. 
Tata niaga produk pertanian yang berlaku sangat tidak adil bagi petani, karena 
nilai tukar produk pertanian di tingkat petani sangat rendah dan jauh dari 
kelayakan, sementara marjin harga produsen dan harga konsumen akhir yang cukup 
lebar lebih banyak dinikmati oleh pelaku distribusi. Tata niaga tersebut juga 
cenderung aman bagi distributor. Bila terjadi kenaikan biaya distribusi, 
misalnya kenaikan harga BBM, maka distributor akan menaikkan harga konsumen, 
tetap menekan harga produsen, dan marjin keuntungan distributor relatif stabil. 
Kondisi ini terbangun karena tidak efisiennya pola distribusi produk pertanian 
dan tidak adanya aturan dan perangkat yang
 membatasi ekspansi dan eskploitasi modal terhadap petani. Praktek ijon yang 
dilakukan tengkulak adalah salah satu contoh. Sebab lain adalah paradigma tata 
niaga pertanian yang lebih memihak konsumen, dan menempatkan rakyat tani 
sebagai produsen dan rakyat lain sebagai konsumen dalam posisi vis a vis. 
Penyesuaian harga di tingkat produsen, dengan resiko memperbesar harga konsumen 
seakan menjadi tabu dalam kebijakan, padahal petani produsen yang jumlahnya 
sangat banyak harus diperhatikan. Apabila ada kecendengunan kenaikan harga 
produk pertanian, alih-alih justru menjadi alasan untuk membuka keran impor 
yang akan semakin memperpuruk ketahanan produksi pertanian dalam negeri.

Apa yang bisa dilakukan petani produsen dalam kondisi mekanisme pasar yang 
tidak terkontrol seperti ini selain terus menuntut pemerintah untuk membuat 
kebijakan pro petani? Upaya yang harus dilakukan adalah menaikkan daya tawar 
petani produsen, karena persoalan mendasarnya adalah posisi lemah petani dalam 
permainan pasar, dan posisi lemah pada relasi dengan pelaku ekonomi lainnya. 
Kelemahan dalam pemasaran terjadi karena dominasi tengkulak dalam menentukan 
harga jual produk pertanian di tingkat petani. Ketergantungan pemenuhan modal 
kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal menyebabkan 
praktek ijon dan penentuan harga jual yang tidak bisa dielak oleh petani. Harga 
pasar tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan mekanisme harga dalam pasar 
persaingan sempurna yaitu hubungan tingkat penawaran dan permintaan. Kondisi 
yang terjadi, jaringan tengkulak dan pemodal membentuk kartel distribusi yang 
menyebabkan tipe pasar produk pertanian
 adalah oligopoli, sehingga mereka dapat dengan mudah mempermainkan harga pasar 
dengan tetap menekan harga produsen. Sementara ini baru komoditas padi (gabah) 
yang mendapatkan intervensi pemerintah dalam perlindungan harga, dengan 
penentuan harga dasar pembelian, namun itupun belum dapat menyelesaikan 
persoalan tata niaga gabah dan persoalan petani padi lainnya.

Upaya menaikkan daya tawar petani produsen harus dilakukan dengan konsolidasi 
petani produsen dalam satu wadah yang menyatukan gerak ekonomi dalam setiap 
rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut 
dilakukan dengan mengkolektifkan semua proses dalam rantai pertanian, yaitu 
meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi 
pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan 
swadaya, dengan gerakan simpan-pinjam produktif, yaitu anggota kolekte 
menyimpan tabungan untuk dipinjam sebagai modal produksi, bukan kebutuhan 
konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam 
dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit dan jeratan hutang 
tengkulak. Apabila kolektifikasi modal dapat berkembang baik, maka tidak 
menutup kemungkinan modal kolektif tersebut tidak hanya digunakan dalam 
pemenuhan modal kerja produksi, tetapi juga dalam pemasaran.
 Kedua, kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif 
untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. 
Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala 
produksi yang besar dari banyak produsen, dalam satu koordinasi dan kerjasama. 
Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi 
maka akan dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, 
dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan 
penyakit, satu momok persoalan produksi yang paling sulit dilakukan secara 
parsial. Langkah ini juga dapa menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara 
produsen sendiri yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal 
tanam. Ketiga, kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini 
dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang 
besar, dan menaikkan posisi tawar produsen
 dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk 
mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam 
penentuan harga secara individual. Satu hal yang perlu diingat, upaya 
kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang 
distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola 
relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien 
dengan pemangkasan rantai yang tidak menguntungkan.

Tentu saja upaya tersebut bukan hal mudah untuk dilakukan. Organisasi dan 
pengorganisasian tani yang kuat sangat mutlak dibutuhkan. Saat ini gerakan 
pengorganisasian tani cenderung berorientasi politik, pada ranah kebijakan 
umum, nasional dan global. Pemberdayaan pertanian melalui program-program 
developmentalis masih berkutat pada tata kelola, produksi, dan pemasaran pada 
level mikro. Bahkan advokasi pemasaran program developmentalis cenderung 
berkompromi pada tatanan pasar yang sudah berlaku, dengan intervensi pada 
rantai pemasaran, tanpa usaha merubah struktur pasar. Pembangunan kekuatan 
ekonomi pertanian dari bawah, dimulai dari kelompok-kelompok tani dengan 
kolektifikasi seluruh aktifitas ekonomi, dari produksi barang dan jasa serta 
konsumsi harus dimulai agar petani produsen lebih berdaya dalam perang 
kepentingan dengan pelaku pasar lain. Perubahan struktur pasar, tata niaga dan 
pola relasi dalam pemasaran produk pertanian yang memihak dan
 mensejahterakan petani harus ditekan dari dua sisi, kebijakan pertanian yang 
pro petani, dan konsolidasi kekuatan ekonomi petani produsen yang dibangun dari 
bawah. Dimulai dari hal kecil, menyadarkan dan menggerakkan anggota kelompok 
tani untuk bekerjasama, ber ko-operasi, dan menjadikan kelompok sebagai 
organisasi politik dan ekonomi adalah hal yang harus dilakukan. []
 



Diposting oleh AKHMAD SOLEHUDIN


      Start chatting with friends on the all-new Yahoo! Pingbox today! It's 
easy to create your personal chat space on your blogs. 
http://sg.messenger.yahoo.com/pingbox

Kirim email ke