Yanti yb,
Harus saya akui pendapatmu itu benar dan juga adil untuk mengharapkan tidak ada 
kata-kata kotor dalam perdebatan ataupun polemeik yang bagaimanpun tegang dan 
gawatnya. Tapi amat disayangkan bahwa dalam polemik atau perdebatan tidak ada 
kesepakatan mutlak untuk menghindari kata-kata kotor atau tidak sopan karena 
emosi manusia sulit direm oleh faktor luar kecuali faktor dalam manusia yang 
bersangkutan atau yang terlibat. Kita masih ingat peristiwa pelemparan sepatu 
yang menyasar muka bekas Presiden Amerika Bush oleh seorang wartawan Irak. 
Tindakan  "kasar" tsb justru mendapatkan simpati dunia, padahal itu sebuah aksi 
fisik  tak terkendali yang  tentu saja bisa positif bisa negatif tergantung  
dari pihak mana kita akan menilainya. Dan terkadang, tidak jarang apa yang kita 
anggap kata-kata kotor atau tidak sopan itu, bisa relatif saja maknamya. 
Umapamanya kata-kata yang dilontarkan oleh Saut Situmorang terhadap JJ.Kusni di 
bawah ini:

"jj kusni pengkhianat sejarah dan Lekra gadungan!!! taik kacing sama kau".

Cara memaki seperti itu mengingatkan kita akan cara makian a la Medan. Bila 
diteliti lebih dalam,  di dalam makian itu terselip sebuah kemesraan, keakraban 
hingga kulitnya yang tampak kotor , sesungguhnya tidaklah sekotor yang tersirat 
dan tersurat. Dan kalau kita agak biasa membaca polemik Saut Situmorang. memang 
begitulah gaya  dia yang juga sudah merupakan identitas dirinya, tidak bisa 
dirobah dan berubah karena gaya seseorang adalah juga DNA-nya seseorang di 
bidang kepribadian. Karenanya kalau kita mengharapkan Saut Situmorang  menjadi 
lain dengan merobah cara berpolemiknya, maka dia akan kehilangan dirinya , 
tidak bisa berkembang dan bahkan justru akan lebih membosankan lagi. Saya tidak 
bermaksud membela Saut, karena antara saya  dengan dia tidak punya kesamaan 
sedikitpun, tapi saya harus menerima dia sebagai mana dia adanya.

Saya sendiri,umpamanya, saya juga tidak suka menggunakan kata-kata kasar atau 
kotor dalam pelemik atau beda pendapat. Tapi bila lawan saya menggunakan lebih 
dahulu kata-kata kotor dan kasar maka saya pasti akan membalas dengan tingkat 
yang dua kali lipat lebih berat. Itu adalah kelemahan saya yang tidak mungkin 
saya atasi karna memang begitulah rupanya saya dilahirkan dengan DNA demikian. 
Saya sudah tidak bisa merubah diri saya  dan juga tidak bermaksud untuk 
merubahnya. Ada pepatah dari kalangan kaum intelektuil yang mengatakan: "Mensen 
zijn ongelijk" atau Manusia itu tidak sama. Seorang professor ahli bedah 
Belanda, yang terkenal,  Prof.Dr. Hans Gaillard yang punya profesi membedah 
manusia yang sakit yang setiap hari dilakukannya selama puluhan tahun dan juga 
ia menulis buku tebal dengan sebuah kesimpulan:"Mensen zijn ongelijk". Manusia 
sangat berbeda satu sama lain. Itu baru fisiknya, apalagi batinnya. Dan memang 
begitulah manusia dilahirkan. Seorang matematik Rusia yang juga amat terkenal 
(saya lupa namanya)   pernah mengatakan: Matematik memang termasuk ilmu yang 
rumit, tapi bila dibandingkan dengan kerumitan otak manusia, matematika 
belumlah apa-apa". Jadi memang kita terpaksa  harus merelatifir banyak hal 
dalam kehidupan kita dengan sikap toleransi yang kita punyai masing-masing 
meskipun mudah diucapkan tapi sukar dilaksanakan.
Salam dengan kata yang terlunak.
asahan.
 




----- Original Message ----- 
From: Yanti Mirdayanti 
To: sastra-pembeba...@yahoogroups.com 
Sent: Thursday, February 19, 2009 6:12 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Re: Surat PRAMOEDYA untuk JJ KUSNI



Saya suka membaca atau mendengar argumentasi-argumentasi para
sastrawan Indonesia atau para pelaku sejarah Indonesia, bagaimana pun
kerasnya bunyi argumentasi yang dilemparkan, karena pasti dari
argumentasi-argumentasi atau pendapat-pendapat mereka akan ada sesuatu
yang bisa saya pelajari. 

Tema Manikebu, rekonsiliasi, dll itu baik sekali diungkapkan,
didiskusikan, dan dilemparkan ke publik dengan sering, supaya para
generasi muda bisa turut belajar, berpikir, dan barangkali mengambil
sikap atau tidak mengambil sikap. 

Tetapi - pendapat saya pribadi - yang paling tidak saya sukai adalah
kalau argumentasi-argumentasi tersebut sambil disertai dengan beberapa
diksi kata-kata yang kotor terhadap pihak lain yang dikritik.

Kami-kami generasi muda mestinya tidak terus diajari cara-cara
berargumentasi dengan penggunaan kata-kata yang 'menghina' seseorang. 

Jaman militer ORBA sudah cukup banyak yang terhina dan dihinakan atau
di PKI-kan (seperti yang pernah dialami Bapak saya sendiri). Tapi
sekarang marilah kita hentikan peggunaan kata-kata menghina ini
diantara rekan-rekan kita sendiri yang nota bene sama-sama pernah kena
dampak penghinaan militer ORBA. 

Sudah cukup kenyang rasanya saya sendiri mendengar 'pertengkaran' para
generasi tua yang tak berkesudahan. Saya akui, semuanya memang keras
kepala, tapi karena mereka punya prinsip kuat masing-masing! (misalnya
Pram, Mochtar Lubis, dan yang lain-lainnya). 

Saya sampai berkesimpulan begini: Semua penulis/sastrawan Indonesia
itu keras kepala dan sangat individualis!. Tapi saya juga kagum
terhadap merek-amereka ini. Semua mencintai negara Republik Indonesia,
apa pun ideologi politik mereka.

Mari kita lihat kembali surat Pak Pram kepada Gunawan Mohammad.
Walaupun disampaikan dengan tegas, keras, dan tak berkompromis, tetapi
kok saya tidak melihat ada kata-kata kotor atau kata-kata menghina
kepada pribadi Gunawan Muhammad atau pihak mana pun. Cara yang
demikian yang saya sukai misalnya!

Demikian pula surat Gunawan Muhammad terhadap Pak Pram (yang juga
sebelumnya diterbitkan Tempo) cukup tegas, tapi santun. Tak ada diksi
kata-kata kotor yang dipakai.

-Y. Mirdayanti -

--------------------

--- In sastra-pembeba...@yahoogroups.com, "sautsitumorang"
<sautsitumor...@...> wrote:
>
> jj kusni kan gak ngalamin semua itu kerna dia "eksil" di Eropa yang
> nyaman itu mangkanya enak aja dia memakek momentum diskusi bukunya
> untuk "rekonsiliasi" cuman demi bisa masuk lingkarang goenawan mohamad!
> 
> kalok mo "rekonsiliasi" mustinya kan di Mabes ABRI ato di Pulau Buru
> biar kontekstual dengan sejarah ! dan libatkan semua unsur yang
> terkait terutama para korban 1965 dan keluarganya!
> 
> kok malah di istananya salah seorang pendukung berkuasanya Jendral
> Suharto yaitu Goenawan Mohamad !!!
> 
> banyak yang jadi korban Peristiwa 1965 termasuk generasiku yang lahir
> pada zaman berkuasanya rejim diktator militer Suharto. kami kehilangan
> Sejarah dan kepala kami diisi Teror!
> 
> jj kusni pengkhianat sejarah dan Lekra gadungan!!! taik kucing sama kau!
> 
> -saut situmorang
> 
> 
> --- In apresiasi-sas...@yahoogroups.com, Pungkas Nugroho
> <pungkasnugroho@> wrote:
> >
> > 
> > Saya Bukan Nelson Mandela 
> > 
> > (Tanggapan buat Goenawan Mohamad) 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > Tempo Kolom NO. 05/XXIX/3 - 9 April 2000 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > Saya Bukan Nelson Mandela 
> > (Tanggapan buat Goenawan Mohamad) 
> > 
> > Pramoedya Ananta Toer *
> > 
> > Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia
bukan 
> > Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang 
> > diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti 
> > Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya,
> bahkan 
> > memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan
dia, 
> > dan tidak ingin menjadi dia. 
> > 
> > Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit
> putih 
> > terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan 
> > Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana
itu: 
> > kulit cokelat menindas kulit cokelat. 
> > 
> > Lebih dari itu, saya menganggap
> > permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma
basa-basi.
> > Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya
> > tidak memerlukan basa-basi. 
> > Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. 
> > Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu
> kelompok, 
> > NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia
bicara 
> > sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu
> saja? 
> > Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa
> meminta 
> > maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan 
> > lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang 
> > harus mengatakan itu. 
> > 
> > Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. 
> > Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya 
> > kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka 
> > tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai
> basa-basi. 
> > Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi 
> > orang Indonesia. 
> > 
> > Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah 
> > lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai 
> > pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir 
> > separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan
> penganiayaan. 
> > 
> > Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak
> saya 
> > pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya
tapol 
> > justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi
> selalu 
> > direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau 
> > membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki 
> > militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. 
> > Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? 
> > Maukah 
> > negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin
> harus 
> > berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki. 
> > 
> > Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya
mesti 
> > lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu
saja 
> > basa-basi minta maaf. 
> > 
> > Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke
Buru. 
> > Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika
> pada 
> > 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang
> berkewajiban 
> > melindungi justru menangkap saya. 
> > 
> > Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa 
> > saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan 
> > apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada
> 1990 
> > juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak 
> > pernah pula ada tindakan. 
> > 
> > Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, 
> > seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut 
> > mendirikan rezim. 
> > Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak
terkecuali 
> > para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima
> fasisme. 
> > Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. 
> > Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru. 
> > 
> > Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang 
> > mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang
sangat 
> > rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya
> sendiri. 
> > 
> > Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan,
masa 
> > muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi.
> Dalam 
> > hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena 
> > penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur 
> > saya. 
> > 
> > (*) Ditulis kembali berdasarkan wawancara dengan Hadriani Pudjiarti
> dari TEMPO 
> >
>



Reply via email to