Saya ingin menanggapi tulisan mbak Yanti dan tanggapan dari bung Asahan
ini.
Pertama, saya kira apa yang disampaikan oleh mbak Yanti ini
sangatlah bagus sekali. Saya sangat gembira dan menghargai sekali
keluarnya pendapat orang muda seperti mbak Yanti yang menurut saya sangat
rasional dan profesional. Saya sendiri termasuk generasi lama dengan usia
diatas 65 tahun, jadi termasuk generasi yang mengalami sendiri dan ikut
terlibat ketika bangsa ini terobek oleh pertikaian di tahun 1960-an (ini
bisa dibaca di buku saya "Jakarta Tahun 1960-an, kenangan semasa
mahasiswa" terbitan Masup, Komunitas Bambu yang belum lama terbit).

Saya sendiri sudah berjanji untuk tidak ikut terus memperkeruh
akibat dari pertikaian antar komponen bangsa tersebut. Ikut-ikutan
menghujat atau membela secara buta dan tidak bertanggung jawab. Tetapi
berusaha untuk mau terus membantu terjadinya rekonsiliasi dan perbaikan
hubungan diantara sesama anak bangsa demi kemajuan bangsa kita kedepan.
Tidak mudah, membutuhkan jiwa besar untuk mau saling memaafkan dan
membangun suatu kebersamaan demi cita-cita bangsa yang lebih besar. Jadi
saya sangat setuju dengan mbak Yanti yang merasa capek dan bosan melihat
tingkah generasi lama yang masih saja ada yang keras kepala, individualis
dan berargumentasi dengan kata-kata kotor dan menghina serta merasa paling
benar dan mau menang sendiri. Saya sendiri sangat menyayangkan orang-orang
generasi saya yang masih saja terus berpola tingkah laku seperti ini.
Semoga generasi muda mau memaafkan orang-orang yang sudah
"terlanjur" seperti ini dan jangan sekali-kali mau meniru
kelakuan mereka yang buruk itu.
Sekarang kepada bung Asahan. Dari
banyak pengalaman orang itu bisa berubah kalau mau menggunakan akal dan
perasaannya secara baik. Tidak betul kalau orang tidak bisa berubah atau
menjadi matang. Saya sendiri dulu juga sering menggunakan kata kasar,
termasuk tai kucing segala bahkan lebih kasar lagi, model diskusi di pajak
(pasar) di Medan dulu, istilahnya main gertak dan anggar jago. Yang saya
ingat sekali, dulu yang sering menggunakan kata kasar adalah kalangan
militer yang kalau tidak menggunakan kata kasar yang -terus terang malu
kalau saya contohkan kata-kata tersebut disini- kurang merasa eksis dan
"hebat". Ingat misalnya a.l. Suharto di interview resmi
mengatakan mau menggebuk orang-orang yang bertentangan dengannya. Apalagi
kelakuan militer yang senang menggunakan kekerasan walaupun alasannya
untuk kepentingan bangsa. Mereka tentunya kurang bisa diterima kalau
alasannya adalah karena sudah dilahirkan seperti itu. Atau DNAnya sudah
begitu. Jadi apa beda kita dengan mereka itu dulu?
Jadi supaya pendek
kata, apakah kita mau terus menerus menggunakan kata-kata kasar merasa
paling benar sendiri, kalau tidak mau dibilang kurang beradab seperti itu?
Yang akhirnya cuma terus membuat bangsa ini membuang enersi dengan
bertikai dan terpecah belah yang terus membuat rakyat kita menjadi korban?

Saya kira sudah waktunya kita generasi lama membantu generasi muda
mencapai kehidupan yang lebih baik sesuai tuntutan mereka dan perubahan
zaman. Rusia, Cina dan Vietnam saja sudah berubah kok. Jadi jangan lagi
kita meneruskan kepentingan ego kita terpaku pada masa lalu dan terus
merasa yang paling benar dan paling tahu. Kita ini sudah bau tanah
sehingga paling tidak tinggalkanlah kesan yang baik kepada generasi yang
lebih muda. 
Ada tanggapan dari teman-teman yang lain? Terima kasih
sebelumnya. 
Salam,
Firman

 Yanti yb,
>
Harus saya akui pendapatmu itu benar dan juga adil untuk mengharapkan
> tidak ada kata-kata kotor dalam perdebatan ataupun polemeik yang
> bagaimanpun tegang dan gawatnya. Tapi amat disayangkan bahwa dalam
polemik
> atau perdebatan tidak ada kesepakatan mutlak untuk
menghindari kata-kata
> kotor atau tidak sopan karena emosi
manusia sulit direm oleh faktor luar
> kecuali faktor dalam
manusia yang bersangkutan atau yang terlibat. Kita
> masih ingat
peristiwa pelemparan sepatu yang menyasar muka bekas Presiden
>
Amerika Bush oleh seorang wartawan Irak. Tindakan  "kasar" tsb
justru
> mendapatkan simpati dunia, padahal itu sebuah aksi fisik 
tak terkendali
> yang  tentu saja bisa positif bisa negatif
tergantung  dari pihak mana
> kita akan menilainya. Dan terkadang,
tidak jarang apa yang kita anggap
> kata-kata kotor atau tidak
sopan itu, bisa relatif saja maknamya.
> Umapamanya kata-kata yang
dilontarkan oleh Saut Situmorang terhadap
> JJ.Kusni di bawah
ini:
> 
> "jj kusni pengkhianat sejarah dan Lekra
gadungan!!! taik kacing sama kau".
> 
> Cara memaki
seperti itu mengingatkan kita akan cara makian a la Medan.
> Bila
diteliti lebih dalam,  di dalam makian itu terselip sebuah kemesraan,
> keakraban hingga kulitnya yang tampak kotor , sesungguhnya
tidaklah
> sekotor yang tersirat dan tersurat. Dan kalau kita agak
biasa membaca
> polemik Saut Situmorang. memang begitulah gaya 
dia yang juga sudah
> merupakan identitas dirinya, tidak bisa
dirobah dan berubah karena gaya
> seseorang adalah juga DNA-nya
seseorang di bidang kepribadian. Karenanya
> kalau kita
mengharapkan Saut Situmorang  menjadi lain dengan merobah cara
>
berpolemiknya, maka dia akan kehilangan dirinya , tidak bisa berkembang
> dan bahkan justru akan lebih membosankan lagi. Saya tidak
bermaksud
> membela Saut, karena antara saya  dengan dia tidak
punya kesamaan
> sedikitpun, tapi saya harus menerima dia sebagai
mana dia adanya.
> 
> Saya sendiri,umpamanya, saya juga
tidak suka menggunakan kata-kata kasar
> atau kotor dalam pelemik
atau beda pendapat. Tapi bila lawan saya
> menggunakan lebih
dahulu kata-kata kotor dan kasar maka saya pasti akan
> membalas
dengan tingkat yang dua kali lipat lebih berat. Itu adalah
>
kelemahan saya yang tidak mungkin saya atasi karna memang begitulah
> rupanya saya dilahirkan dengan DNA demikian. Saya sudah tidak bisa
merubah
> diri saya  dan juga tidak bermaksud untuk merubahnya.
Ada pepatah dari
> kalangan kaum intelektuil yang mengatakan:
"Mensen zijn ongelijk" atau
> Manusia itu tidak sama.
Seorang professor ahli bedah Belanda, yang
> terkenal,  Prof.Dr.
Hans Gaillard yang punya profesi membedah manusia yang
> sakit
yang setiap hari dilakukannya selama puluhan tahun dan juga ia
>
menulis buku tebal dengan sebuah kesimpulan:"Mensen zijn
ongelijk".
> Manusia sangat berbeda satu sama lain. Itu baru
fisiknya, apalagi
> batinnya. Dan memang begitulah manusia
dilahirkan. Seorang matematik Rusia
> yang juga amat terkenal
(saya lupa namanya)   pernah mengatakan: Matematik
> memang
termasuk ilmu yang rumit, tapi bila dibandingkan dengan kerumitan
> otak manusia, matematika belumlah apa-apa". Jadi memang kita
terpaksa 
> harus merelatifir banyak hal dalam kehidupan kita
dengan sikap toleransi
> yang kita punyai masing-masing meskipun
mudah diucapkan tapi sukar
> dilaksanakan.
> Salam dengan
kata yang terlunak.
> asahan.
> 
> 
> 
> 
> 
> ----- Original Message -----
>
From: Yanti Mirdayanti
> To:
sastra-pembeba...@yahoogroups.com
> Sent: Thursday, February 19,
2009 6:12 PM
> Subject: #sastra-pembebasan# Re: Surat PRAMOEDYA
untuk JJ KUSNI
> 
> 
> 
> Saya suka
membaca atau mendengar argumentasi-argumentasi para
> sastrawan
Indonesia atau para pelaku sejarah Indonesia, bagaimana pun
>
kerasnya bunyi argumentasi yang dilemparkan, karena pasti dari
>
argumentasi-argumentasi atau pendapat-pendapat mereka akan ada sesuatu
> yang bisa saya pelajari.
> 
> Tema Manikebu,
rekonsiliasi, dll itu baik sekali diungkapkan,
> didiskusikan, dan
dilemparkan ke publik dengan sering, supaya para
> generasi muda
bisa turut belajar, berpikir, dan barangkali mengambil
> sikap
atau tidak mengambil sikap.
> 
> Tetapi - pendapat saya
pribadi - yang paling tidak saya sukai adalah
> kalau
argumentasi-argumentasi tersebut sambil disertai dengan beberapa
>
diksi kata-kata yang kotor terhadap pihak lain yang dikritik.
>

> Kami-kami generasi muda mestinya tidak terus diajari
cara-cara
> berargumentasi dengan penggunaan kata-kata yang
'menghina' seseorang.
> 
> Jaman militer ORBA sudah cukup
banyak yang terhina dan dihinakan atau
> di PKI-kan (seperti yang
pernah dialami Bapak saya sendiri). Tapi
> sekarang marilah kita
hentikan peggunaan kata-kata menghina ini
> diantara rekan-rekan
kita sendiri yang nota bene sama-sama pernah kena
> dampak
penghinaan militer ORBA.
> 
> Sudah cukup kenyang rasanya
saya sendiri mendengar 'pertengkaran' para
> generasi tua yang tak
berkesudahan. Saya akui, semuanya memang keras
> kepala, tapi
karena mereka punya prinsip kuat masing-masing! (misalnya
> Pram,
Mochtar Lubis, dan yang lain-lainnya).
> 
> Saya sampai
berkesimpulan begini: Semua penulis/sastrawan Indonesia
> itu
keras kepala dan sangat individualis!. Tapi saya juga kagum
>
terhadap merek-amereka ini. Semua mencintai negara Republik Indonesia,
> apa pun ideologi politik mereka.
> 
> Mari kita
lihat kembali surat Pak Pram kepada Gunawan Mohammad.
> Walaupun
disampaikan dengan tegas, keras, dan tak berkompromis, tetapi
>
kok saya tidak melihat ada kata-kata kotor atau kata-kata menghina
> kepada pribadi Gunawan Muhammad atau pihak mana pun. Cara yang
> demikian yang saya sukai misalnya!
> 
> Demikian
pula surat Gunawan Muhammad terhadap Pak Pram (yang juga
>
sebelumnya diterbitkan Tempo) cukup tegas, tapi santun. Tak ada diksi
> kata-kata kotor yang dipakai.
> 
> -Y. Mirdayanti
-
> 
> --------------------
> 
> --- In
sastra-pembeba...@yahoogroups.com, "sautsitumorang"
>
<sautsitumor...@...> wrote:
>>
>> jj kusni kan
gak ngalamin semua itu kerna dia "eksil" di Eropa yang
>> nyaman itu mangkanya enak aja dia memakek momentum diskusi
bukunya
>> untuk "rekonsiliasi" cuman demi bisa masuk
lingkarang goenawan mohamad!
>>
>> kalok mo
"rekonsiliasi" mustinya kan di Mabes ABRI ato di Pulau Buru
>> biar kontekstual dengan sejarah ! dan libatkan semua unsur
yang
>> terkait terutama para korban 1965 dan keluarganya!
>>
>> kok malah di istananya salah seorang pendukung
berkuasanya Jendral
>> Suharto yaitu Goenawan Mohamad !!!
>>
>> banyak yang jadi korban Peristiwa 1965 termasuk
generasiku yang lahir
>> pada zaman berkuasanya rejim diktator
militer Suharto. kami kehilangan
>> Sejarah dan kepala kami
diisi Teror!
>>
>> jj kusni pengkhianat sejarah dan
Lekra gadungan!!! taik kucing sama kau!
>>
>> -saut
situmorang
>>
>>
>> --- In
apresiasi-sas...@yahoogroups.com, Pungkas Nugroho
>>
<pungkasnugroho@> wrote:
>> >
>> >
>> > Saya Bukan Nelson Mandela
>> >
>>
> (Tanggapan buat Goenawan Mohamad)
>> >
>>
>
>> >
>> >
>> > Tempo Kolom
NO. 05/XXIX/3 - 9 April 2000
>> >
>> >
>> >
>> >
>> > Saya Bukan Nelson
Mandela
>> > (Tanggapan buat Goenawan Mohamad)
>>
>
>> > Pramoedya Ananta Toer *
>> >
>> > Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru,
Indonesia
> bukan
>> > Afrika Selatan. Dia berharap
saya menerima permintaan maaf yang
>> > diungkapkan Presiden
Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti
>> >
Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya,
>> bahkan
>> > memenjarakannya. Saya sangat
menghormati Mandela. Tapi saya bukan
> dia,
>> > dan
tidak ingin menjadi dia.
>> >
>> > Di Afrika
Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit
>>
putih
>> > terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam,
seperti Belanda melawan
>> > Indonesia. Mudah. Apa yang
terjadi di Indonesia tidak sesederhana
> itu:
>> >
kulit cokelat menindas kulit cokelat.
>> >
>>
> Lebih dari itu, saya menganggap
>> > permintaan maaf
Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma
> basa-basi.
>> > Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi
itu. Saya
>> > tidak memerlukan basa-basi.
>>
> Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama
siapa.
>> > Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia
mewakili suatu
>> kelompok,
>> > NU misalnya,
kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia
> bicara
>> > sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara
dilewatinya begitu
>> saja?
>> > Sekalipun dalam
kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa
>> meminta
>> > maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan
biarkan
>> > lembaga negara seperti DPR dan MPR
mengatakannya. Bukan Gus Dur yang
>> > harus mengatakan
itu.
>> >
>> > Yang saya inginkan adalah
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
>> > Orang seperti
saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya
>> >
kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka
>> > tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya
sebagai
>> basa-basi.
>> > Saya tidak mudah
memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi
>> >
orang Indonesia.
>> >
>> > Buku-buku saya
menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah
>> > lanjutan di
Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai
>> >
pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir
>> > separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan,
penghinaan, dan
>> penganiayaan.
>> >
>> > Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah
satu anak
>> saya
>> > pernah melerai perkelahian
di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya
> tapol
>> >
justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi
>> selalu
>> > direcoki setelah tahu saya tapol.
Bahkan sampai ketua RT tidak mau
>> > membuatkan KTP. Rumah
saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki
>> > militer,
sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
>>
> Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa?
>> > Maukah
>> > negara mengganti kerugian
orang-orang seperti saya? Negara mungkin
>> harus
>>
> berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.
>> >
>> > Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan
dan tegakkan hukum. Semuanya
> mesti
>> > lewat
hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu
>
saja
>> > basa-basi minta maaf.
>> >
>> > Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum
dijebloskan ke
> Buru.
>> > Semua menganggap saya
sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika
>> pada
>> > 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah
yang
>> berkewajiban
>> > melindungi justru
menangkap saya.
>> >
>> > Ketika dibebaskan 14
tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa
>> > saya
tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan
>> > apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang
terbit pada
>> 1990
>> > juga terdapat daftar 40
tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak
>> > pernah
pula ada tindakan.
>> >
>> > Saya sudah
kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia,
>>
> seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut
>> > mendirikan rezim.
>> > Saya tidak percaya
dengan semua elite politik Indonesia. Tak
> terkecuali
>> > para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan
menerima
>> fasisme.
>> > Mereka semua ikut
bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami.
>> >
Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.
>> >
>> > Goenawan mungkin mengira saya pendendam
dan mengalami sakit hati yang
>> > mendalam. Tidak. Saya
justru sangat kasihan dengan penguasa yang
> sangat
>>
> rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya
>> sendiri.
>> >
>> > Saya sudah
memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan,
> masa
>> > muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa
menulis-baca lagi.
>> Dalam
>> > hitungan hari,
minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena
>> >
penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur
>> > saya.
>> >
>> > (*) Ditulis
kembali berdasarkan wawancara dengan Hadriani Pudjiarti
>> dari
TEMPO
>> >
>>
> 
> 
> 
>

Reply via email to