http://mediacare.blogspot.com
  ----- Original Message ----- 
  From: Abdul Rohim 
  To: s t ; media_nusant...@yahoogroups.com ; media-jat...@yahoogroups.com ; 
media-kla...@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, February 27, 2009 2:00 PM
  Subject: [media-jateng] Cebolang


        Cebolang

        TEATER itu bernama Slamet Gundono. Dengan tubuh 300 kilogram lebih ia 
tetap bisa bergerak ritmis seperti penari. Suaranya mengalun, bisa gagah bisa 
sayu, terkadang dramatik terkadang kocak, sebagaimana laiknya seorang dalang. 
Tapi ia lebih dari itu. Di pentas itu ia juga seorang aktor penuh. Dialog 
diucapkannya dengan diksi yang menggugah dan pause yang pas. Ia bisa membawakan 
lagu, ia bisa menggubah lagu dengan cepat, seraya memelesetkan melodi, tapi 
pada saatnya, ekspresinya bisa tangis.

        Gundono adalah gunungan dalam pertunjukan wayang kulit yang tanpa 
jejer. Ia pusat. Tapi ia bergerak dari pelbagai posisi, dan dengan asyik 
berpindah dari idiom seni pertunjukan yang satu ke idiom yang lain.

        Tentu saja karena ia, lebih dari seniman teater yang mana pun kini, 
adalah sosok yang dibentuk oleh aneka khazanah. Tubuh dengan lapisan lemak yang 
seperti unggunan bantal itu-sebuah keistimewaan yang terkadang ia tertawakan 
sendiri-adalah sebuah sedimentasi dari sejarah kebudayaan yang panjang. 

        Sejarah kebudayaan itu dapat disebut "Jawa", tapi yang tak dapat 
ditentukan batas-batasnya. Gundono bisa menembangkan pangkur dan melantunkan 
suluk, mengalir luwes dari nada diatonik ke pentatonik, tapi ia juga bisa 
menyerukan azan dan mengutip Quran dengan gaya qiraat Mesir. Ia memetik ukulele 
seakan-akan seorang penyanyi Hawaii, dan yang terdengar adalah kasidah. Di 
sana-sini dalam narasinya bahasa Jawa literer dari tradisi Surakarta berbaur 
seperti tak sadar dengan bahasa Tegal yang sering dianggap "kasar" dan 
"kurang-Jawa".

        Ya, Gundono sebuah teater tanpa definisi. Ia lahir di Kota Slawi di 
pantai utara Jawa Tengah, anak seorang dalang dengan 12 keturunan yang tak 
dipedulikan. Suwati, sang ayah, hampir tak pernah berada di rumah. Ia mendalang 
di mana saja, terkadang tanpa dibayar. 

        Sebab itu anak-anaknya, khususnya yang laki-laki, mencari bapak 
sendiri. Slamet mendapatkan bapak angkatnya seorang kiai desa. Dari sinilah ia 
masuk jadi santri. Ia seorang santri yang keras.

        Tapi mimpinya adalah jadi aktor. Ini yang mendorongnya berangkat untuk 
jadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia tak bertahan lama di sana. Ia 
banyak dimusuhi teman, katanya, sebab ia gemar mengkhotbahi orang. Baru setelah 
ia pindah ke Solo dan kuliah di STSI, sikapnya berubah: di sekolah kesenian 
itu, di mana seni tradisi mau tak mau bersua dengan yang di luar wilayahnya, 
Gundono lebih bisa menerima hal-hal yang dulu ditampiknya. Selain mendalang-dan 
jadi penerus ayahnya-ia ikut dalam pentas karya Sardono W. Kusumo dan akrab 
dengan Rendra. 

        "Saya ini seperti Karna," katanya pada suatu ketika, "Tak punya bapak 
yang jelas. Bapak biologis saya Suwati, bapak spiritual saya pak kiai, dan 
kemudian saya dibesarkan bapak-bapak lain."

        Tapi Gundono, kini 43 tahun, bukan sebuah ensiklopedia; di pentas itu 
ia sebuah kejadian. Di dalam teaternya definisi dan identitas luruh dan puisi 
timbul: puisi sebagai jejak kebenaran yang lewat, sejenak, menyentuh, tak 
terhingga.

        Mungkin itu sebabnya ia menemui tempat yang tepat di lantai Teater 
Salihara, Jakarta, malam itu: ia memainkan satu fragmen dari Serat Centhini, 
teks bahasa Jawa abad ke-19 yang berkisah tentang pengembaraan dua putra 
Kerajaan Giri yang melarikan diri ketika pasukan Sultan Agung (1613-46) dari 
Mataram menyerbu.

        Gundono beruntung. Versi yang dipakainya-dengan judul Cebolang 
Minggat-bukanlah teks yang seperti mumi di museum. Ia bekerja sama dengan 
Elizabeth D. Inandiak, seorang sastrawan Prancis yang menyadur Serat Centhini 
dan mengatakan: "Ini adalah Centhini abad ke-21."

        Inandiak, seperti diakuinya sendiri, bukan seorang pakar bahasa Jawa. 
Ia, tulisnya, "seorang petualang dan pencinta Jawa". Ia menggubah kembali 4.200 
halaman, 722 tembang, 2.000 bait lebih itu jadi narasi yang berjalan dengan 
kiasan dan pencandraan yang puitis dan tak terduga, bertaut tapi tak terikat 
dengan teks asli. Terkadang Inandiak meringkas, terkadang mengubah. Dan 
terkadang ia menggerakkan puisi Jawa itu dengan potongan sajak Victor Hugo dan 
Baudelaire. Di bagian tertentu, juga masuk anasir yang kocak dari Gargantua 
Rabelais. "Centhini, c'est Rabelais!" kata sejarawan Onghokham kepada sang 
penyadur. 

        Dengan kata lain, ia sebenarnya meneruskan proses semula lahirnya 
Centhini-teks yang merupakan pertemuan berbagai alir. Dua ribu bait itu terjadi 
karena dorongan keasyikan, nostalgia, dan kreativitas bermacam-macam orang. 
Centhini-nya, seperti dikatakan dalam pengantar, adalah "pengembaraan edan luar 
batas". 

        Malam itu, di kanan pentas yang mirip panggung pertunjukan dusun itu 
Inandiak duduk di depan laptop. Ia membaca dengan tenang, mula-mula frase 
pembukaan dalam bahasa Prancis, lalu segera kalimat berbahasa Indonesia: 
"Cebolang bertubuh luwes dan licin layaknya penari Ramayana.".

        Teks yang diterjemahkan dari bahasa Prancis itu di sana-sini agak 
kikuk, dan Inandiak melafalkannya dengan aksen asing yang menghidupkan konsonan 
akhir-tapi itu justru yang menyebabkan bunyinya menarik. Apalagi segera setelah 
itu Gundono meningkahi suasana dengan janturan seperti dalam wayang, nyanyian 
seperti dalam orkes kampung, kasidah seperti dalam upacara santri, dan gamelan, 
dan joget, dan suara bariton yang berkisah..

        Kisah itu, sebagaimana terkenal dari Centhini, terkadang sangat erotis: 
deskripsi persetubuhan dalam puisi. Tapi tak berhenti di sana. Cebolang yang 
melarikan diri dari rumah, setelah menempuh dosa tubuh dan pengalaman mistis, 
akhirnya pulang. Ayahnya menyambutnya. Sang anak disuruhnya menjalankan "ilmu 
yang paling dasar yang akan mengantarmu ke semua lainnya".

        "Ayahanda, ilmu apa itu?"

        "Cinta."

        Goenawan Mohamad

        
http://tempointeraktif.com/hg/caping//2009/02/23/mbm.20090223.CTP129603.id.html




        http://media-klaten.blogspot.com/



        salam
        Abdul Rohim 



  

Reply via email to