Cepi Sabre's Notes
Cepi's Notes|Notes about Cepi|Cepi's Profile

hudan hidayat dan saut situmorang

konon, revolusi pada umat manusia dimulai ketika manusia mulai menggunakan api. 
tidak kurang promotheaus sekalipun harus berhadapan dengan murka para dewa 
untuk sebuah perkara remeh : membawa api kepada manusia. api yang dikelilingi 
oleh nenek moyang manusia yang belum berbaju itu telah merangsang timbulnya 
bahasa. dan dengan bahasa, manusia bisa berbicara satu sama lain alih-alih 
saling menggeram.

beberapa waktu lalu, saya menambahkan seseorang bernama hudan hidayat dalam 
daftar teman saya di facebook. saya cukup sering masuk ke halaman facebooknya 
untuk membaca catatan-catatannya. belakangan, terbaca juga oleh saya keributan 
antara hudan hidayat dengan saut situmorang. entah soal apa. sepertinya 
berkaitan dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad. ada apa antara hudan 
hidayat dan saut situmorang dengan teater utan kayu dan goenawan mohamad atau 
ada apa antara hudan hidayat dengan saut situmorang, tentulah di luar kuasa 
saya untuk ikut serta turut campur di dalamnya. pertama, karena saya tidak 
mengerti tentang sstra, apalagi politik sastra. kedua, karena saya tidak kenal 
hudan hidayat dan saut situmorang secara pribadi. jadi sungguh mati, saya tidak 
peduli dengan keributan antara hudan hidayat dengan saut situmorang. keributan 
kemudian melebar pada kegiatan hudan hidayat yang memberi komentar atau catatan 
atas karya-karya penulis di facebook. dan semakin lebar lagi sampai kepada 
penulis-penulis di facebook itu sendiri.

tokoh idola saya dalam sastra indonesia adalah iwan simatupang. merahnya merah, 
lebih hitam dari hitam, tegak lurus dengan langit, ah ... judul-judul karyanya 
saja pun saya sudah suka. dan entah kenapa, saya menjadi begitu terikat dengan 
sastrawan-sastrawan dari tanah batak. ketika hudan hidayat membuat catatan 
tentang iwan simatupang, bersemangat sekali saya membacanya. sayangnya, 
informasi tentan iwan simatupang di tulisan itu tidak terlalu banyak.

saut situmorang sepertinya saya pernah lihat di film beth karya aria kusumadewa 
sebagai salah satu pasien RSJ yang tergila-gila pada puisi <kalau saya tidak 
salah ingat>. gaya bicaranya saat berkata, "bakar ... bakar ... bakarlah!" 
terus ada dalam ingatan saya. lalu cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan 
cerita pendek yang diambil dari tulisan di internet oleh goenawan mohamad 
tentang tutup botol minuman energi yang menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas 
<lagi-lagi kalau saya tidak salah ingat> juga begitu memukau saya. puisi-puisi 
saut situmorang belum lagi saya tahu. dulu pernah saya cari-cari dengan mesin 
pencari google, tapi belum lagi sempat saya membacanya.

hudan hidayat mungkin satu nama besar dalam sastra indonesia. begitupun, saya 
belum pernah mendengar nama hudan hidayat. jangan salahkan saya atau hudan 
hidayat, salahkanlah para penerbit buku, karena jarang sekali ada buku sastra 
di rak-rak toko buku. kalaupun ada, salahkan lagi para penerbit buku itu, 
karena harganya terlalu mahal. seorang teman saya yang juga suka menulis puisi 
menyarankan saya untuk berteman dengan hudan hidayat di facebook. maka jadilah 
saya berteman dengan hudan hidayat dan kita kembali ke awal cerita saat saya 
suka membaca catatan-catatannya dan membaca juga keributan antara hudan hidayat 
dengan saut situmorang.

teringat saya pada perdebatan antara saya dengan ayah saya. beliau mengeluhkan 
anak-anak muda yang gagal dalam sekolahnya dibandingkan dengan beliau yang 
harus menempuh jarak puluhan kilometer berjalan kaki hanya untuk sekolah, dan 
berhasil. saya mendebatnya dengan menyebut banyaknya kafe atau mall di 
sepanjang jalan menuju sekolah. tantangannya berbeda, kesulitannya sama. kata 
'sama' inilah yang akan saya berikan kepada saut situmorang ketika saut 
situmorang menyebut penulis di facebook sebagai pemula. pada sebuah komentar 
saya di catatan dinding hudan hidayat, saya menulis ,"pada satu periode, 
bukankah seseorang yang bernama hudan hidayat atau saut situmorang sekalipun 
adalah juga seorang pemula ..." pemuda paling gagah sekalipun, pada satu 
periode, adalah juga bayi tanpa daya yang harus menetek di dada ibunya, untuk 
kemudian menjadi tua dan mati. adakah saut situmorang akan menafikan 
tahapan-tahapan itu ? penulis-penulis di facebook yang disebut pemula oleh saut 
situmorang sedang meretas jalan yang dulu pernah dilalui juga oleh saut 
situmorang dan hudan hidayat. medianya berbeda, kesulitannya sama. beberapa 
karya penulis-penulis ini memang terasa mentah, tapi bukankah di situ letak 
godaannya ? begitu mudahnya seseorang untuk mempublikasikan karyanya, sehingga 
fungsi saringan, bahkan oleh dirinya sendiri, terlupa untuk dilakukan. dan di 
titik inilah, penulis-penulis pemula itu membutuhkan orang-orang dengan 
kapasitas seperti saut situmorang untuk memberikan penilaian atau kritik 
terhadap karya mereka, sebuah tugas yang kemudian diambil alih oleh hudan 
hidayat.

pada sebuah catatan dindingnya, hudan hidayat menulis ,"sudah menulis sastra 
tiap hari. tinggal membaca dan menulis." mungkin yang dimaksud oleh hudan 
hidayat adalah ,"sudah menulis sastra tiap hari. tinggal membaca dan memberi 
komentar." saya pikir, hudan hidayat sedang mengembangkan tradisi berbicara. 
tradisi yang sudah dimulai oleh nenek moyang manusia ratusan ribu tahun yang 
lalu. tradisi yang diperluas oleh alexander graham bell untuk kemudian 
dijadikan barang dagangan utamanya PT. TELKOM. tapi tradisi berbicara ini 
memang penting, karena menurut saya tradisi inilah yang menjadi agen perubahan. 
tradisi yang dikembangkan hudan hidayat yang kemudian disebut saut situmorang 
sebagai rumpi atau ngrumpi sastra. tidak soal juga, karena ngrumpi pun hanyalah 
varian dari berbicara, sama dengan menelepon atau berpidato atau siaran atau 
seminar atau menulis dan membaca.

saya adalah seorang arsitek. dikutuk untuk menjadi seorang arsitek. saya juga 
menulis tentang arsitek, tentang karya-karya arsitek, tentang pekerjaan saya. 
satu dua kali saya menulis puisi yang satu dua kali juga saya publikasikan di 
halaman facebook saya. beberapa teman saya yang cukup beriman menanggapinya 
dengan macam-macam pujian, yang lain rupa-rupanya kurang imannya dan tidak 
menyukainya, yang lain lagi hanya mencantumkan sebaris tanda tanya di kotak 
komentar. satu dua kali hudan hidayat memberi jempolnya sebagai tanda suka. 
sungguh sebuah kehormatan. tapi belum ada kehormatan pada saya untuk dibahas 
lebih jauh dalam catatan hudan hidayat atau sekedar dikutip dalam catatan 
dindingnya. tidak mengapa. toh saya bukan sastrawan, pun tidak berkeinginan 
untuk menjadi sastrawan. dalam salah satu catatannya, hudan hidayat menulis 
,"... penulis-penulis ini merasa terhormat karena seseorang sehebat hudan 
hidayat mau mengomentari karya mereka ..." <saya lupa seperti apa persisnya 
tulisan di catatan hudan hidayat, tapi kira-kira seperti inilah yang ditulis 
olehnya> terdengar narsis dan terlalu memuja diri sendiri. tapi benar. 
tanggapan dari teman-teman saya pun bisa melambungkan saya begitu tinggi, 
apalagi acungan jempol dari hudan hidayat. saya sendiri satu dua kali memberi 
komentar pada karya teman-teman saya, dari pandangan saya sebagai pembaca 
tentunya. tidaklah ada kapasitas saya untuk menanggapinya dengan 
istilah-istilah diksi, metafora, atau baju bahasa, karena saya sendiri tidak 
mengerti artinya. kalau saya paksakan, malah bisa membuat teman-teman saya 
tersesat. berbeda dengan hudan hidayat yang mendalami bidang ini. tahapan 
menulis-membaca-berkomentar ini, saya pikir akan menjadi tradisi berbicara yang 
baik sekali untuk perkembangan sastra atau bidang apapun.

jadi bagaimana saya harus menutup catatan saya ini ? dengan 'berdamailah hudan 
hidayat dan saut situmorang' atau 'teruslah berkarya dan majulah sastra 
indonesia' ? aah ... lebih baik saya tutup dengan : saya sudah menulis, 
silahkan membaca dan memberi komentar.
-------------------------------------------------------------------------------
- end of note -
Updated 5 minutes ago · Comment · LikeUnlike · Report Note
You like this.

Kirim email ke