HTML clipboard

 


LAGU CINTA PARA PENDOSA

( S e k u m p u l a 
n   P u i s i )

 


Zaim 
Rofiqi
 
 
 

ENDORSEMENT
Bila anda 
ingin mengalami alam pikiran modernis, puisi-puisi dalam buku ini salah satu 
representasinya yang terbaik. Kecerdasan, konsentrasi, kedalaman, penggalian 
makna, dan kesatuan imaji terasa sangat kuat di dalamnya. Sudah sulit menemukan 
puisi yang demikian dalam kehiruk-pikukan dunia pasca-modernis yang menjemukan 
seperti sekarang ini.
—Faruk 
HT, Ilmuwan Sastra 
 

Puitika Zaim Rofiqi dibangun di 
atas khasanah citraan ruang, yang terus mengikhtiarkan keluasan dan  
keleluasaan, 
sembari pada saat sama menetapkan batas-batasnya sendiri. Ada tegangan antara 
kehendak mengikuti dekorum dan gairah bersajak dengan bebas, tapi sajak-sajak 
terbaiknya adalah yang berhasil mengawinkan dua kecenderungan yang semestinya 
tak saling berjodoh ini. Jika Rofiqi setia kepada kerja yang menantang ini, 
niscaya kita tidak perlu terlalu cemas terhadap masa depan puisi Indonesia.


—Manneke Budiman, Dosen Fakultas 
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
 
Racikan kata-kata yang tersaji dalam buku puisi Zaim Rofiqi ini membuat saya 
cemburu sekaligus kagum padanya. Dalam puisi-puisinya, Zaim begitu cerdas 
memilih kata, membangun suasana, serta menafsirkan pengalaman keseharian dan 
bacaannya yang kaya. Puisi-puisinya adalah usaha pemberian makna pada banyak 
hal di dunia ini yang sepertinya sia-sia. 
—Nong Darol 
Mahmada, Aktivis Perempuan 
 
Dengan senjata 
puitik yang wajar dan bersahaja, Zaim Rofiqi melawan vonis waktu yang merenggut 
segalanya. Puisi-puisinya adalah memoar perjalanan kehilangan yang berkeras 
menyelamatkan jejak, gema, dan bayang-bayang.

—Arif Bagus Prasetyo, Penyair
 

____________________________ 
 
CATATAN PEMBACA

 
 

TENTANG TANPA BATAS: SAJAK-SAJAK 
ZAIM ROFIQI

Oleh Goenawan Mohamad

 

 

 

Puisi selalu bergerak di pinggir 
tata simbolik.  Ia berdiam dalam bahasa, ia mengikuti bahasa, tetapi ia tak 
sepenuhnya di sana dan tak betah di sana. Mungkin itu sebabnya puisi adalah 
antitesis bagi kediaman.

 

Kata “kediaman” bisa menyarankan 
arti yang sama dengan tak adanya gerak, tapi juga arti yang sepadan dengan 
“rumah”.  
Sajak-sajak Zaim menyatakan bagaimana ia selalu cenderung melepaskan diri dari 
kediaman itu, meskipun ketertiban yang dikehendaki oleh bahasa diikutinya:  
puisi-puisi ini tak meletup dengan keganjilan surrealis; mereka tak menyerah 
kepada apa yang bisa disebut “prakarsa permainan beda”, yang tak kunjung 
selesai 
dalam kata-kata. Tapi isi sajak-sajak ini adalah ketidak-betahan.

 

Dalam Batas, ia menyebut 
sebuah masa lalu yang dibangun oleh “ibu, bapak, masa kanak, rumah, pelukan, 
sawah, belaian tangan halaman, tanah lapang, pekarangan, pohon ketapang, 
kelereng, layang-layang, gambreng, ular-ularan, sekolah, guru, sejarah, ilmu 
nahwu, tatap mata, kisah cinta, remaja, tamasya…”.  Tapi semua itu tak bisa 
bertahan. Makin lama, ketika “detik demi detik” berjalan, terbentuklah batas, 
dan aku terpatok. Sang penyair tahu, “ada yang harus lepas”, hingga “menjauh 
meluruh mengabur melebur membuyar memudar menghilang”.  Makin lama, terbentuk 
keterasingan, bahkan represi: 
 
 

Selengkapnya 

klik di sini



==========================================
Pustaka Alvabet
Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21  7494032, 
Fax. +62 21 74704875
www.alvabet.co.id




      

Kirim email ke