Assalamu 'alaykum

Masalah tahrik (menggerakkan jari) ini ada khilaf diantaranya ada orang yang menganggap hadits tahrik yg diriwayatkan oleh dari Zaaidah bin Qudamah dari Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Waail bin Hujr adalah syadz (ganjil) yaitu hadits shahih yang riwayatnya menyelisihi banyak riwayat perawi yang lebih tsiqah  

Berikut saya nukilkan dan ringkas agar tidak terlalu panjang tanpa mengurangi apa yang dikehendaki penulis, dari kitab kecil yang berjudul “Petunjuk bagi mereka yang menolak untuk menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud” terbitan Pustaka Abdullah , karya Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa. Kitab ini diberi kata pengantar oleh ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Rujuklah ke kitab tersebut jika mau ...semoga bisa melegakan dahaga kita akan ilmu.

Ustadz Abdul Hakim berkata:

1.        Riwayat Zaaidah bin Qudamah ini membuktikan kepada kita kebenaran firman Allah , bahwa Allah yang menjaga dan memelihara kitab-Nya yang mulia, tentunya termasuk didalamnya hadits atau sunnah yang kedudukannya sebagai penafsir Al-Qur’an, khususnya dalam masalah sholat yang sangat agung dan besar. Zaaidah bin Qudamah telah berjasa besar dalam menghidupkan salah satu sifat sholat  Nabi yaitu menggerak-gerakan jari telunjuk ketika tasyahud awal dan akhir. Allah menghendaki sunnah Nabi dan Rasul-Nya tetap terjaga, meskipun hanya diriwayatkan oleh satu orang seperti Zaaidah bin Qudamah.

2.        Sekaligus menunjukkan keutamaan Zaaidah bin Qudamah dari saudara-saudaranya sesama rawi dari hadits Waail bin Hujr sehingga beliau melebihi mereka dengan tambahannya tersebut

3.        Juga menunjukkan kepada kita bahwa hadits mempunyai beberapa jalan (thuruq)

4.        Juga menunjukkan kepada kita bahwa para rawi hadits berlebih kurang di dalam meriwayatkan hadits



Agung (L1977)

===================================================================

Penulis (Ibnu Saini) menjelaskan : Hadits menggerakkan jari telunjuk telah diriwayatkan dari jalan sahabat Waa-il bin Hujr oleh Ahmad, Bukhari dalam Qurratul ‘Ainain bi Raf’il Yadain fish sholah, dll yang berbunyi :

“Aku (Waail bin Hujr) berkata: “Sungguh aku akan melihat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bagaimana beliau sholat ….. dan beliau mengangkat jari (telunjuknya), maka akupun melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdoa dengannya,….”

Penulis berkata : “Kemudian hadits Waa-il bin Hujr di atas telah disahkan oleh banyak ulama, sebagian mereka terang-terangan men-sah-kannya dan sebagiannya lagi hanya dengan isyarat. Adapun mereka yang tidak terang-terangan sangat banyak sekali, bahkan penulis  tidak menemukan seorangpun dari kalangan ulama salaf yang men-dhaifkannya, Wallahu A’lam.

Diantara mereka yang terang-terangan mensahkannya adalah:

1.        Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana disebutkan dalam kitab sifat sholat Nabi, karya Imam Al-Albany
2.        Imam Ibnu Hibban, sebagaimana disebutkan dalam kitab sifat sholat Nabi, karya Imam Al-Albany
3.        Imam Nawawy dalam kitab Majmu’ Syarh Muhazzab
4.        Imam Ibnu Abdil Bar
5.        Sebagaimana juga Imam Al-Qurthubi telah menukil penshahihan Ibnu Abdil Bar di atas dalam kitab tafsirnya
6.        Ibnul Mulaqqin
7.        Al-Baihaqi
8.        Ibnul Qayyim
9.        Syaikh Abdurrahman Al-Banna (ayahanda Hasan Al-Banna)
10.        Imam Al-Albani
11.        Syaikh Hamdi bin Abdul Majid As-Salafi
12.        Syaikh Ali Hasan
13.        Syaikh Masyhur Hasan Salman
14.        Syaikh Salim Al-Hilaly
15.        Syaikh Syuaib dan Abdul Qadir Al-Arnauth
16.        Syaikh Hamzah Ahmad Az-Zain
17.        Syaikh Muhammad Jamil Zainu
18.        Syaikh Ahmad Syarif


Dari hadits di atas, kita dapat mengetahui bahwa menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud telah tsabit (tetap) sunnahnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan hendaklah mereka yang mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan yang sia-sia yang tidak cocok untuk diamalkan dalam sholat, dan mereka yang suka mengolok-olok orang-orang  yang mengamalkan itu berhenti dari perkataan dan olok-olokan mereka itu dan selanjutnya bertaubat kepada Allah. Karena pada hakikatnya mereka mengolok-olok Nabi yang mulia shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah kita mengetahui perkataan mereka (ulama, peny-) yang men-sahkan hadits di atas, maka apakah ada orang yang mendhaifkannya?

Imam Al-Albany dalam salah satu ceramahnya menyatakan:

“….Terakhir, aku katakan: Aku  tidak mengetahui seorangpun dari para pendahulu umat ini yang terdiri dari para imam ahli hadits yang mendhaifkan hadits Zaaidah bin Qudamah atau hadits Waail bin Hujr dengan sangkaan bahwasanya hadits tersebut telah menyelisihi hadits-hadits riwayat yang lain. Mereka seluruhnya sepakat bahwasanya hadits ini shahih, ….seperti para penyusun kitab shahih,  di antaranya Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnul Jarud, .....Begitu juga mereka yang mentakhrij hadits ini , mereka tidak menyatakan sebagai hadits yang syadz”

Kemudian beliau (syaikh Al-Albany) melanjutkan lagi  : “ …Dan kritikan terhadap hadits ini , hanya ada pada masa kita saja”

Penulis katakan: “Diantara mereka yang mengkritik hadits ini adalah:

1. Nadwah majalah Al-Muslimun
2. Hasan As-Saqqaf
3. Mereka para ahli ilmu yang telah keliru dalam masalah ini, diantara nya adalah syaikh yang mulia Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, yang diikuti oleh murid-murid beliau…..Mereka seluruhnya menyatakan bahwasanya tambahan riwayat Zaaidah bin Qudamah dalam hadits di atas (yakni tambahan Yuharrikuha yad’u biha – menggerakkan jari telunjuk  … ) adalah tambahan hadits yang syadz”.

 
Bantahan Bagi Mereka yang Mendhaifkan Hadits Tahrik (Menggerakkan jari telunjuk)

Penulis katakan: “….maka hendaknya kita melihat bagaimana penilaian para imam tentang Zaaidah bin Qudamah (seorang rawi dalam hadits Waail bin Hujr, peny-):

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: (Zaaidah bin Qudamah) tsiqatun tsabtun (perawi tsiqah lagi kuat)

Imam Ibnu Hibban berkata: “Ia (Zaaidah bin Qudamah) termasuk dari para imam yang mutqin , ia tidak menganggap sebagai suatu sama’ (pendengaran), kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak memuji seorangpun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seorang (imam) dari Ahlusunnah.’

Kemudian Imam Al-Albani dalam salah satu ceramahnya mengatakan: “Oleh karena itulah tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaaidah bin Qudamah ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya Ashim bin Kulaib dari bapaknya …”

Kemudian beliau (syaikh) menambahkan : “ …karena apabila kita menganggap (periwayatan dari seorang perawi yang tsiqah seperti Zaaidah bin Qudamah ini) syadz (Cuma karena tambahan yang ia riwayatkan tersebut), maka niscaya banyak sekali riwayat-riwayat yang harus dihukumi seperti itu”

Penulis katakan : “Sekarang , mari kita lihat apakah periwayatan Zaaidah bin Qudamah ini menyelisihi periwayatan para perawi yang lebih tsiqah darinya atau tidak?

Jawabnya adalah tidak, sebab lafazh “tahrik” (menggerakkan) itu tidak lah bertentangan dengan lafazh “isyarat’, baik ditinjau dari segi bahasa, maupun dari segi dalil:

Pertama: Apabila ditinjau dari segi bahasa, dapat difahami oleh setiap orang bahwa isyarat terkadang disertai gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak, seperti seseorang berisyarat kepada yang lainnya dari kejauhan  agar orang itu mendekat kepadanya atau seperti seseorang yang berisyarat kepada orang yang berdiri agar duduk. Tidak seorangpun akan memahami bahwa orang yang berisyarat itu tidak menggerakkan tangannya ketika ia berisyarat, maka perhatikanlah !

Kedua; Apabila ditinjau dari segi dalil, maka telah diriwayatkan dari Aisyah tentang kisah sholatnya para sahabat di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sholat sambil duduk, maka beliaupun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semuanya……dan setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari (lafazh) hadits tsb bahwasanya isyarat beliau itu tidak hanya dengan mengangkat tangan beliau saja, sebagaimana tindakan beliau ketika berisyarat untuk menjawab salam para sahabat Anshar ketika beliau dalam sholat ! Akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan, maka tidak dibenarkan  untuk mengatakan bahwasanya riwayat-riwayat yang menyebutkan isyarat  tersebut bertentangan dengan riwayat tahrik. Bahkan dapat juga dikatakan bahwasanya riwayat-riwayat tersebut bersesuaian dengan riwayat tahrik, dan alas an inilah yang diperhatikan oleh mereka yang menshahihkan hadits ini serta mengamalkannya dan juga mereka menerima keshahihannya, namun mereka menta’wilnya, akan tetapi mereka yang menta’wil hadits ini tidak sekali-kali mengatakan hadits ini syadz.

Penulis berkata: “ ………..Ringkasnya adalah: Bahwasanya isyarat tidaklah menafikan (meniadakan) tahrik, bahkan terkadang keduanya sama-sama dilakukan, sebagaimana keterangan yang telah berlalu, maka pernyataan bahwasanya tahrik (menggerakkan) itu bertentangan dengan isyarat tidaklah benar, baik ditinjau dari segi ilmu bahasa maupun dari segi dalil. Dari keterangan ini dapatlah diketahui kekeliruan pendapat mereka yang mengatakan bahwasanya hadits ini syadz, walhamdulillah.

Beberapa Alasan Lainnya dan jawabannya

Dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menyebutkan bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya dan tidak menggerak-gerakkannya. (hadits ini di dhaifkan oleh syaikh Albani dalam Dhaif Abu Dawud dan Dhaif Sunan Nasa’i)

Dalam hadits lainnya dari riwayat Ibnu Umar yang berbunyi: “Dan beliau tidak menggerakkannya, sesungguhnya hal itu sebagai penghalau setan, lalu ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbuat seperti itu” (HR Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat, didalam sanadnya terdapat Katsir bin Zaid, AlHafizh Adz-Dzahabi berkata dalam kitab Al-Kasyif : “Shaduq fihi liin (jujur, akan tetapi padanya ada kelemahan)

Penulis  berkata: “……..Dan telah jelas bagi kita tentang dhaifnya hadits Abdullah bin Zubair dan juga hadits Abdullah bin Umar yang didalamnya terdapat lafazh Laa Yuharrikuha dan shahihnya hadits Waail bin Hujr yang didalamnya terdapat lafazh ….Yuharrikuha…, maka kita harus meninggalkan riwayat yang dhaif (lemah) dan mengambil riwayat yang shahih, Allahu a’lam.

Kalaupun kedua riwayat yang menyebutkan “tidak menggerakkan” tersebut di atas shahih, maka wajib untuk ditolak, karena dua sebab:

Pertama, Kedua hadits tsb tidak jelas menyebutkan bahwa itu di dalam sholat

Kedua, Kalaupun dikatakan bahwa kedua riwayat tsb di dalam sholat, maka riwayat tersebut berisi penolakan (An-Nafyu), sedangkan hadits tahrik berisi penetapan (Al-Itsbat) dan dalam kaidah ushul disebutkan: “Al-Mutsbitu Muqoddamun ‘Ala An-Naafy” (Penetapan itu lebih didahulukan daripada penolakan)

Para ulama yang menetapkan kaidah ini beralasan bahwa riwayat yang berisi penetapan itu mengandung ilmu (tambahan), sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli ushul.

Kesimpulan

Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini adalah: Berisyarat sepanjang tasyahud (sepanjang berdoa dalam tasyahud) dengan menggerakan jari telunjuk sampai selesai berdoa atau salam, dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Malik dan sebagian besar ulama mazhab Malikiyah, dan juga pendapat yang dipegang oleh sekian banyak ulama di kalangan mazhab Syafi’i …sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ …Dan juga para ulama  dikalangan mazhab Hambali…Dan juga para ulama yang lainnya , sebagaimana telah penulis terangkan sebelum ini, Wallahu a’lam……………………….



==============================



>Assalamu'alaykum

>saya alhamdulillah adalah termasuk salah seorang yg mengamalkan
>sunnah tentang menggerak2an jari ketika tasyahud,
>namun ketika membaca artikel dibawah ini terdapat kesimpulan di
>hal.5 :





------------------------------------------------------------------------
Website Islam pilihan anda.
http://www.assunnah.or.id
http://www.almanhaj.or.id
Website kajian Islam -----> http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------------




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke