>From: indri garnasih <[EMAIL PROTECTED]>
>Date: Sat Feb 4, 2006  10:01 am
>Subject: Tanya : Kewajiban dakwah
>Assalamualaikum Warrahmatullahi wabarokatuh
>afwan...saya mendengar bahwa orang-orang  salafi itu kurang
>aktivitas untuk berdakwahnya, mohon diberi penjelasan...padahal
>dakwah itukan wajib, dan mohon dijelaskan dengan dalil yang shahih..
>jazakumullah khairon katsiiroo

Bismillah. Walhamdulillah.
Dakwah salafy adalah dakwah yang tegak diatas ilmu yang dijelaskan  
ulama. Dakwah salafy tidak digerakkan dengan hanya mengandalkan  
semangat tanpa ilmu. Oleh karena itulah setiap muslim yang 
menisbatkan  kepada manhaj salaf harus melalui tahapan ilmu,
amal, da'wah dan shobar.

Sebelum kita berbicara mengenai dakwah, ada baiknya jika kita 
menuntut ilmu terlebih dahulu kemudian kita amalkan apa yang kita 
ketahui barulah setelah itu kita mendakwahkannya. cobalah lihat 
tahapan ini dalam surat al-ashar. jangan sampai kita mendakwahkan 
sesuatu yang kita tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Disamping itu, kita harus membedakan antara kewajiban 
dakwah/mengajar dengan amar ma'ruf nahi mungkar, kewajiban dakwah 
dibebankan kepada orang yang berilmu, sedangkan mengajak kepada 
perbuatan baik (amal shalih) dan melarang dari perbuatan tercela 
atau maksiat, dapat kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita masing-
masing.

Keterangan tentang Ilmu Terlebih Dahulu Sebelum Bicara dan Beramal, 
penjelasannya saya dapatkan dari kitab Al-Masa'il Jilid 2, oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam pembahasan  Al-Jarh
Wat Ta'dil.

Secara ringkas akan saya salinkan dibawah ini.

AL-JARH WAT TA'DIL [1]

Berbicara tentang Al-Jarh wat Ta'dil berarti kita memasuki samudra 
ilmu yang sangat dalam dan luas sekali yang tidak sembarang ulama 
sanggup menguasai ilmu yang mulia ini kecuali orang-orang khusus 
yang memang ahli Jarh wat Ta'dil yaitu para imam ahli hadits seperti 
amirul mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari dan lain-lain.

Oleh karena itu para ulama yang memang bukan ahlinya di dalam ilmu 
yang mulia ini mereka mundur teratur menyerahkan urusan kepada 
ahlinya mengikuti perintah Rabbul 'Alamin "Tanyalah kepada ahli ilmu 
jika memang kamu tidak mengetahuinya" [An-Nahl:43 dan Al-Anbiya : 7]

Di dalam ayat yang ini Allah telah mewajibkan kepada dua golongan 
manusia.

Pertama : Mereka yang berilmu wajib berbicara dan menjawab dengan 
ilmunya.

Kedua : Mereka yang tidak mengetahui wajib bertanya kepada ahli ilmu.

Ini disebabkan karena Islam mendasari segala sesuatunya dengan ilmu. 
Dan ini dapat kita lihat dari kaidah-kaidah yang ada di dalam Islam 
di antaranya.

[1] Ilmu Terlebih Dahulu Sebelum Berbicara dan Beramal.

Firman Allah : "Ketahuilah ! Sesungguhnya tidak ada satupun tuhan 
(yang berhak disembah dengan benar) kecuali Allah" [Muhammad : 19].

Berkata Al-Imam Bukhari di Shahih-nya (Kitabul Ilmi Bab 10), Bab Al-
Ilmu Qablal Qaul wal Amal (Ilmu Lebih Dahulu Sebelum Perkataan dan 
Perbuatan) berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Maka Allah memulainya dengan ilmu"

Berkata Al-Imam Ibnul Munir di dalam mensyarahkan bab di atas, "Yang 
dimaksud ialah bahwa ilmu menjadi syarat sahnya perkataan (qaul) dan 
perbuatan (fi'il). Maka tidaklah dianggap keduanya (yakni perkataan 
dan perbuatan itu) kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu ilmu di 
dahulukan dari keduanya ...." [Fathul Baari, Kitabul Ilmi bab 10]

[2] Larangan Berbicara Tanpa Ilmu

Firman Allah.

"Artinya : Dan jangan engkau mengucapkan (sesuatu) yang engkau tidak 
memiliki ilmu tentangnya" [Al-Israa : 36]

Al-Imam Ibnul Qayyim di  kitabnya I'laamul Muwaqi'in (Juz 1 hal 7) 
menurunkan perkataan Al-Imam Ibnu Abdil Bar Abu Umar, "Telah sepakat 
manusia (yakni ulama) bahwa muqallid itu tidak dihitung dari ahli 
ilmu. Karena sesungguhnya ilmu itu ialah : Pengetahuan tentang Al-
Haq (kebenaran) dengan dalilnya".

Al-Imam Ibnul Qayyim menyetujuinya kemudian beliau 
menjelaskan, "Sesungguhnya manusia (yakni ulama) tidak pernah 
berselisih.

"Bahwa ilmu itu ialah : Pengetahuan yang dihasilkan dari dalil. 
Adapun tanpa dalil maka tidak lain melainkan taklid"

Akhirnya Ibnul Qayyim menerapkan ijma' (kesepakatan) para ulama 
dalam mengeluarkan orang yang 'ta'ashhub' dengan hawanya yakni 
kaum 'madzhabiyyah' yang menjadikan madzhab sebagai agama mereka 
yang mereka beragama dengannya meskipun menyalahi Al-Qur'an dan 
Sunnah dan kaum muqallid dari rombongan para ulama.

Di kitab yang sama (hal 38 juz 1) Ibnu Qayyim menegaskan bahwa 
sebesar-besar perbuatan yang haram ialah berbicara dengan tanpa ilmu 
di dalam berfatwa dan memutuskan hukum. Kemudian beliau membawakan 
syahid-nya yaitu firman Allah di dalam surat Al-A'raaf ayat 33. 
Akhirnya beliau menyimpulkan bahwa perbuatan ini adalah sekeras-
keras yang diharamkan yaitu berbicara atas nama Allah dengan tanpa 
ilmu. Dan ini sifatnya umum berbicara atas nama Allah dengan tanpa 
ilmu di dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya dan perbuatan-
perbuatan-Nya dan pada Agama-Nya dan Syari'at-Nya.

Oleh karena itu kaum salaf sangat tidak menyukai tergesa-gesa di 
dalam berfatwa dan keadaan mereka wara' sekali dalam masalah ini. 
Sehingga kalau mereka berkumpul dan salah seorang di antara mereka 
ditanya tentang sesuatu masalah, yang ditanya itu ingin kalau 
saudaranya yang menjawab atau membawakan haditsna. Bahkan mereka 
berkata bahwa orang yang berfatwa atau menjawab setiap pertanyaan 
yang orang tanyakan kepadanya orang itu gila ! Dan alangkah ringan 
dan mudahnya mereka mengucapkan 'Laa Adri (saya tidak tahu !). Semua 
ini diturunkan oleh Imam Ibnul Qayyim di kitab yang sama (juz I hal 
33 dan 34).

Dari Abdurrahman bin Laila dia berkata, "Aku pernah menjumpai 
seratus dua puluh orang shahabat Rasulullah -saya kira di masjid- 
maka tidak ada seorangpun di antara mereka yang membacakan hadits 
melainkan dia ingin saudaranya mencukupinya yang membacakan hadits. 
Dan tidak seorangpun di antara mereka yang berfatwa melainkan dia 
ingin kalau saudaranya yang mencukupi berfatwa".

Dalam riwayat yang lain berkata Abdurrahman bin Abi Laila.

"Aku jumpai seratus dua puluh orang dari (kaum) Anshar shahabat-
shahabat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tidak seorangpun 
diantara mereka yang ditanya tentang sesuatu melainkan ingin kalau 
saudaranya yang mencukupi (menjawab)nya. Dan tidak seorangpun di 
antara mereka yang membacakan satu hadits melainkan ingin kalau 
saudaranya yang mencukupi (membacakan)nya".

Berkata Ibnu Abbas (dan ini lafadznya) dan juga Ibnu Mas'ud.

"Sesunguhnya setiap orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap 
permasalahan yang mereka tanyakan kepadanya, sungguh orang itu 
adalah gila" [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 34]

"Berkata Sahnun bin Said, "Manusia yang paling berani di dalam 
berfatwa ialah yang paling sedikit ilmunya di antara mereka. 
Adakalanya seorang itu menguasai satu bab ilmu yang dia menyangka 
bahwa kebenaran itu semuanya ada di dalam bab itu (!?)". [I'laamul 
Muwaqqi'in juz I hal 34)

Berkata Imam Abu Dawud di Masaail-nya, "Aku tidak pernah menghitung 
(lantaran seringya) aku mendengar Ahmad ditanya tentang  kebanyakan 
yang di ikhtilafkan tentang ilmu (yakni perselisihan ilmiyyah 
diantara ulama) lalu beliau menjawab, "Aku tidak tahu/Laa adri!".

Berkata Abu Daud, "Dan aku pernah mendengar beliau berkata. 'Aku 
tidak pernah mendengar seseorang yang paling bagus di dalam berfatwa 
dari Ibnu Uyaynah. Beliau adalah orang yang sangat ringan 
mengucapkan : Saya tidak tahu/Laa adri!".

Berkata Abdullah bin Ahmad di Masasil-nya, "Aku pernah mendengar 
bapakku berkata, 'Telah berkata Abdurrahman bin Mahdi : Seorang dari 
penduduk Maghrib pernah bertanya kepada Malik bin Anas tentang 
sesuatu masalah, lalu beliau menjawab, 'Aku tidak tahu!".

Lalu orang itu berkata :

"Ya Aba Abdillah engkau mengatakan, "Saya tidak tahu ?".

Jawab Imam Malik.

"Ya' maka sampaikanlah kepada orang yang dibelakangmu sesungguhnya 
aku (Malik bin Anas) tidak tahu".

Berkata Abdullah bin Ahmad, "Seringkali aku mendengar bapakku 
ditanya tentang beberapa masalah dan beliau menjawab, 'Saya tidak 
tahu'".[I'laamul Muwaqqi'in juz I hal, 33 dan juz II hal 165 s/d 168]

Oleh karena itu para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi 
siapa saja yang akan berfatwa atau bersoal jawab sebagaimana 
keterangan dibawah ini dari para imam kita :

"Berkata Al-Imam Ahmad -dalam salah satu riwayat dari anak beliau 
Shalih-, 'Patutlah bagi seseorang yang membawa dirinya untuk 
berfatwa bahwa dia harus 'alim (berilmu) terhadap jalan-jalan Al-
Qur'an (yakni ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an), alim 
dengan sanad-sanad (hadits) yang shahih, alim dengan Sunnah, 
hanyasanya datangnya perbedaan dari orang yang menyelisihi lantaran 
sedikitnya pengetahuan mereka terhadap apa-apa yang datang dari Nabi 
shallallahu 'alaihi wa sallam dan sedikitnya pengetahuan mereka 
tentang (hadits) yang shahihnya dan dla'ifnya"

Dan beliau juga berkata - di dalam salah satu riwayat anaknya 
Abdullah. 'Apabila seseorang mempunyai kitab-kitab yang tersusun 
yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah dan tabi'in, maka tidak 
boleh dia mengamalkan semaunya dan memilihnya lalu dia memutuskan 
dan mengamalkannya sampai dia bertanya kepada ahli ilmu apa yag 
harus dia ambil kemudian dia mengamalkannya atas dasar yang shahih".

Dan beliau juga berkata dalam riwayat Abil Harits, "Tidak boleh 
berfatwa kecuali seorang yang 'alim terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah"

Dan dalam salah satu riwayat dari Hambal beliau berkata, "Patutlah 
bagi orang yang akan berfatwa 'alim terhadap perkataan (pendapat) 
orang-orang yang terdahulu, jika tidak maka tidak boleh dia 
berfatwa" [I'laamul Muwaqqi'in juz I hal 44-45]

.. dst

Lengkapnya silakan baca buku tersebut diatas.

Foote Note
[1] Al-Jarh ialah menerangkan cacat dan cela seorang rawi oleh ulama 
yang ahlinya. Sedangkan Ta'dil menerangkan pujian dan terpercayanya 
seorang rawi hadits. Tulisan ini merupakan jawaban atas pertanyaan 
sebagian ikhwan tentang Jarh wat ta'dil dan Tahdzir (memperingati 
umat dari kejahatan orang yang di Tahdzir). Sehubungan munculnya 
sekelompok orang (firqah) yang mengatas namakan Ahlus Sunnah wal 
Jama'ah dan mengaku-ngaku bermanhaj salaf, yang telah mentahdzir 
para da'i salafiyyin di Indonesia dengan berbagai macam tuduhan 
palsu dan kebohongan besar. Kelompok ini telah membentuk hizbiy, 
berpolitik praktis dan lain-lain yang menunjukkan bahwa mereka tidak 
bermanhaj salaf.

[Al-Masa'il 2, hal 237-246 Darul Qalam, Cetakan Petama 1423H/2002M]




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

------------------------------------------------------------------
HADIRILAH.. SILATURAHMI ULAMA DAN UMMAT KE II BERSAMA MURID-MURID SENIOR
ULAMA AHLI HADITS ABAD INI SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI, MASJID
ISTIQLAL, AHAD 20 MUHARRAM 1427H/19 FEBRUARI 2006M JAM 08.00 – 12.00
Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke