----- Original Message -----
From: "andhika arie" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "MILIST ASSUNNAH" <assunnah@yahoogroups.com>
Sent: Saturday, April 01, 2006 11:37 AM
Subject: [assunnah] tanya

> assalamu'alaikum warhamatullahi wabarakatuhu
>
> syukron atas jawaban dari antum semua
> ana mau tanya lagi tentang syarat syarat poligami dan manfaatnya

Untuk masalah tersebut silahakan baca buku yg berjudul "Istriku Menikahkanku" 
oleh As Sayyid bin Abdul Aziz As Sa'dani, Penerbit
Darul Falah. Alhamdulillah dibuku tsb dibahas dengan jelas segala hal yang 
berkaitan dgn poligami (ta'addud), termasuk
faedah/manfaat poligami.

> apakah ada pelarangan tentang nikah beda aliran / gerakan?

Pernikahan dengan ahlul bid'ah adalah terlarang, silahkan dibaca artikel 
dibawah ini mengenai pembahasan tentang pernikahan dengan
ahlul bid'ah.

> jazakallah khairan atas jawaban antum semua
>
> wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

HUKUM PERKAWINAN DENGAN AHLUL BID'AH

Oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir Ar-Ruhaili

Pernikahan dengan Ahlul Bid'ah terlarang secara global menurut Ahlus Sunnah wal 
Jama'ah, karena akan memberi dampak negatif yang
besar, dan bertentangan dengan hal-hal yang disepakati dalam syariat, yaitu: 
tidak ber-wala' (loyalitas), tidak mencintai mereka
(Ahlul Bid'ah), wajib mengisolir mereka, dan menjauhi mereka (Penguraian 
masalah ini akan dijelaskan dengan membawakan
riwayat-riwayat yang menunjukan hal itu, yaitu ucapan-ucapan para Salaf dan 
contoh-contoh sebagian kerusakan yang ditimbulkan karena
pernikahan dengan Ahlul Bid'ah.)

Hukumnya haram mengadakan pernikahan dengan mereka dan menikahi wanita-wanita 
mereka. Tentang hukum kepastian rusak dan sahnya
akad-akad pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tergantung dengan jauh dekatnya 
mereka terhadap agama. Oleh karena itu hukum
terhadap mubtadi' (Ahlul Bid'ah, yaitu orang yang mengada-adakan atau menambahi 
dalam perkara agama yang tidak ada contoh dari
Rasulullah, ed.) yang telah sampai ke derajat kufur disebabkan karena 
kebid'ahannya tidaklah sama terhadap orang yang kebid'ahannya
belum sampai ke derajat kufur, sebagaimana juga berbedanya hukum pernikahan 
mereka dengan wanita-wanita Ahlus Sunnah dan pernikahan
Ahlus Sunnah dengan para wanita mereka di sebagian keadaan.

Berikut ini perincian hukum tentang masalah di atas menurut keadaan yang 
disebutkan tadi:

Adapun hukum pernikahan Ahlul Bid'ah yang telah dihukumi dengan kekafiran 
adalah haram secara mutlak. Ini disebabkan kekufuran dan
kemurtadan mereka dari agama. Oleh karena itu Ahlus Sunnah tidak halal menikahi 
wanita-wanita mereka. Demikian juga sebaliknya,
mereka haram menikahi para wanita Ahlus Sunnah. Hal ini dijelaskan dalam banyak 
dalil, dan Ahlus Sunnah telah ijma' (sepakat)
tentang keharaman menikah dengan orang-orang kafir dan kaum musyrikin selain 
Ahlul Kitab dengan dua keadaan tadi (yaitu: menikah
dengan mereka dan dinikahi mereka).

Adapun keharaman seorang laki-laki muslim menikahi wanita kafir lagi musyrik 
adalah berdasarkan firman Allah Ta'ala:

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. 
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." [QS. Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah:
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan 
perempuan-perempuan kafir." [QS. Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat di atas menunjukkan keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah secara 
umum bagi kaum muslimin. Dan, yang dikecualikan Allah
hanya wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya:

"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) 
orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita 
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu." [QS. Al-Maidah: 5]

Sehingga, hal-hal yang Allah beri keringanan padanya, seperti (laki-laki dari 
Ahlus Sunnah) menikahi para wanita Ahlul Kitab, adalah
boleh. Adapun selain mereka seperti wanita-wanita musyrik, maka hukum 
keharamannya tetap berlaku secara umum, seperti wanita-wanita
penyembah patung dan berhala, atau bintang-bintang dan api. Sehingga, 
wanita-wanita Ahlul Bid'ah yang telah dihukumi dengan
kekafiran, hukum (pernikahan)-nya sama dengan wanita-wanita tadi, walau mereka 
(wanita-wanita Ahlul Bid'ah itu) mengaku sebagai
muslimah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar dalam tafsir-nya ayat pertama tadi [2: 
221], "Ini adalah pengharaman dari Allah yang dibebankan
kepada kaum mukminin, agar mereka tidak menikahi para wanita musyrikah dari 
(golongan) penyembah berhala. Walaupun secara umum
tampaknya wanita-wanita musyrikah dari Ahlul Kitab tergolong kepadanya, tetapi 
ada pengecualian berupa kebolehan menikah dengan
wanita-wanita Ahlul Kitab dengan firman-Nya: "(Dan dihalalkan mengawini) 
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka 
dengan maksud menikahinya." [Al-Maidah: 5](Tafsir Ibnu
Katsir 1/257).

Banyak ulama yang menukil ijma' para ulama yang mengharamkan menikahi 
wanita-wanita musyrikah selain wanita-wanita Ahlul Kitab.

Ibnu Qudamah berkata, "Dan semua orang-kafir selain Ahlul Kitab, seperti orang 
yang menyembah apa yang dia anggap baik dari
berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada 
perbedaan pendapat antara para ulama tentang keharaman
menikahi wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan-sembelihan mereka." 
[Al-Mughni 9/548]

Syikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kandungan pembicaraannya tentang 
Qadariyah (kelompok yang menolak takdir, ed.) dan
hukum-hukum tentang mereka, "Dan adapun kaum musyrikin, maka umat ini telah 
sepakat terhadap keharaman menikahi wanita-wanita mereka
dan memakan makanan mereka." [Majmu' Fatawa 8/100]

Dr. Wahbah Az-Zahaili berkata tentang kesimpulan masalah ini dalam 
pembahasannya, "Telah sepakat tidak halal untuk menikahi wanita
yang tidak memiliki kitab, seperti para penyembah berhala dan penyembah api 
(Majusi), karena tidak ada satu kitab pun ditangan para
pengikutnya sekarang dan kita tidak yakin kalau mereka memilikinya sebelumnya, 
maka kita harus berhati-hati." (Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuha, Dr. Wahbah Az-Zahaili 7/152).

Dengan ini, tegaslah keharaman menikahi wanita-wanita musyrikah selain Ahlul 
Kitab, menurut keterangan dua ayat tadi dan ijma' para
ulama terhadap hukum itu.

Sudah pasti termasuk ke dalam keharaman itu, keharaman menikahi para wanita 
Ahlul Bid'ah yang musyrikah seperti wanita-wanita
Jahmiyah, Qadariyah, dan Rafidlah. Sebab, firqah-firqah (kelompok) ini telah 
dihukumi sebagai firqah yang kufur dan murtad. Yang
lebih keras dari keharaman itu adalah keharaman menikahi wanita-wanita dari 
firqah Bathiniyah seperti Daruliz, Nushairiyah, dan
lain-lain yang tergolong kelompok zindiq, seperti Hululiyah dan Tanasukhiyah, 
karena para pengikut kolompok-kelompok ini adalah
orang-orang musyrik lagi telah keluar dari Islam (sudah murtad). Tidak halal 
menikahi wanita-wanita mereka sama sekali, menurut
keterangan yang telah saya sampaikan, (ini ucapan Dr. Ibrahim Ruhaili, ed.) 
berupa ucapan-ucapan para ulama yang khusus berbicara
tentang mereka, dengan menambahkan masuknya keharaman menikahi para wanita 
mereka. Hal itu, di bawah keumuman dalil yang berisikan
kepastian haramnya menikahi wanita-wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita 
Ahlul Kitab, yang telah disebutkan di atas.

Inilah sebagian ucapan-ucapan para ulama tentang hal itu:
Ibnu Baththah meriwayatkan dari Thalhah bin Musharaf (Thalhah bin Musharraf bin 
'Amr bin Ka'b Al-Yami Al-Kufi, dia seorang Tsiqah
(dipercaya), Qari lagi terhormat. Wafat tahun 112 H. Lihat At-Taqrib hal. 283) 
rahimahullah, bahwa dia berkata, "Tidak boleh
menikahi para wanita dari Rafidlah, tidak boleh memakan sembelihan mereka, 
karena mereka adalah orang-orang murtad." [Al-Ibanah
Ash-Shughra, Ibnu Baththah hal. 161]

Dari Sahl bin Abdillah, dia pernah ditanya tentang hukum shalat di belakang 
Mu'tazilah dan menikah dengan mereka, maka dia berkata,
"Tidak. Tidak ada kemuliaan bagi mereka, mereka adalah orang-orang kafir." 
[Tafsir Al-Qurthubi, 7/141]

Al-Baghawi menukil di akhir kitabnya, Al-Farqu Bainal Firaq, beberapa ucapan 
para Imam Islam, dari para tokoh empat madzhab terhadap
sebagian hukum-hukum firqah-firqah tadi.

Maka beliau menyebutkan, "Kelompok ekstrim dari kalangan Rafidlah As-Siba'iyah, 
Bayaniyah, Muniriyah, Mansyuriyah, Janahiyah,
Khithabiyah, Hululiyah, Bathiniyah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij dan 
Maimunah." Kemudian berkata, "Hukum terhadap
kelompok-kelompok yang kita sebutkan tadi, terhadap mereka diperlakukan hukum 
orang-orang yang murtad dari agama. Tidak halal
memakan sembelihan-sembelihan mereka, dan tidak halal menikahi para wanita 
mereka." [Al-Farqu Bainal Firaq hal. 357]

Abul Hamid Al-Ghazali berkata ketika membicarakan hukum-hukum terhadap kelompok 
Bathiniyah setelah menukil madzhab mereka dengan
rinci dalam kitab Fadla'ilul Bathiniyah, "Adapun menikahi para wanita mereka 
haram hukumnya, sebagaimana tidak bolehnya menikahi
wanita yang murtad. Tidak halal menikahi wanita Bathiniyah -secara keyakinan- 
disebabkan kekafiran mereka yang telah kita sebutkan
sebabnya, seperti pendapat-pendapat (mereka yang, ed.) menjijikkan yang telah 
kita rinci. Kalau wanita itu seorang yang baik
agamanya kemudian menelan madzhab mereka, maka gugurlah nikah di waktu itu 
juga." [Fadla'ilul bathiniyah hal. 157]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di awal pembicaraannya tentang kelompok 
Rafidlah ekstrim dan kelompok ekstrim lainnya (yang
ekstrim, ed.) terhadap Ali radliallahu 'anhu, seperti Nushairiyah dan 
Ismailiyah, "Semua mereka ini adalah orang-orang kafir yang
lebih kufur dari Yahudi dan Nashara. Jika tidak tampak hal itu dari salah 
seorang mereka, maka dia termasuk orang-orang munafik yang
mereka berada dikerak neraka. Siapa yang menampakkan hal itu, maka dia lebih 
keras kekafirannya dari orang kafir, maka dia tidak
boleh tinggal di antara kaum muslimin, tidak dengan jizyah (pajak atau denda) 
dan tidak dengan dzimmah (orang kafir yang dilindungi
di negeri muslim, ed.), dan tidak halal menikahi para wanita mereka, tidak 
boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka, karena mereka
adalah orang-orang murtad, bahkan termasuk orang-orang murtad yang sangat 
jahat." [Maj'mu Fatawa 28/474-475]

Beliau berkata tentang kelompok Nushairiyah, "Para ulama Islam telah sepakat 
bahwa tidak boleh menikahi mereka, dan tidak boleh
seorang lelaki menikahkan para maula-nya (baca: budaknya, ed.) (yang wanita) 
dengan mereka, dan jangan seorang wanita menikah dengan
mereka, dan tidak boleh memakan sembelihan-sembelihan mereka." [Majmu' Fatawa 
35/154]

Adapun keharaman menikahnya seorang wanita muslimah dengan pria musyrik yang 
sama saja apakah dia seorang mubtadi' atau selainnya,
maka hujjah dalam hal itu jelas dalam Al-Kitab (Al-Qur'an) dan ijma' umat Islam.

Allah Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman." 
[Al-Baqarah: 221]

Juga firman Allah: "Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) 
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir 
itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka." [Al-Mumtahanah: 10]

Dua ayat ini menjelaskan keharaman menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir 
dan musyrik secara mutlak, sama saja apakah dia
(sang pria) seorang Ahlul Kitab, atau penyembah berhala yang tidak memiliki 
kitab. Di atas itu terjadilah ijma' umat ini,
sebagaimana yang dinukil Al-Qurthubi dalam ucapannya, "Dan umat ini telah ijma' 
bahwa seorang pria musyrik tidak boleh menikahi
seorang wanita mukminah sama sekali, karena itu akan menimbulkan kerendahan 
Islam." [Tafsir Al-Qurthubi 3/72]

Ijma' tersebut juga dinukil oleh Syaikh Muhammad 'Ulaisy (Dia Abu Abdillah 
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, 'Ulaisy Ath-Tharablisi
Ad-Daarul Mishri, dia seorang syaikh dari madzhab Maliki di sana. Dia banyak 
melahirkan ulama-ulama Al-Azhar dari beberapa
tingkatan. Dia banyak memiliki karangan dalam beberapa disiplin ilmu, yang 
mayoritasnya telah dicetak. Wafatnya tahun 1299 H di Mesi
r. Lihat Syajaratun Nur Az-Zakiyah, Muhammad Makhluf 1/385) dari kalangan para 
ulama Malikiyah dalam Taqrirat-nya terhadap Hasyiyah
Ad-Dasuqi (Lihat Taqriqat, Al-'Allamah Muhammad 'Ulaisy terhadap Hasyiyah 
Ad-Dasuki yang dicetak dengan catatan kaki Ad-Dasuki
2/249. ) dan Doktor Az-Zahaili dalam Al-Fiqhul Islami. [Lihat Al-Fiqhul Islami 
'ala Adillatuhu 7/152]

Secara umum, keharaman menikahnya wanita muslimah dengan pria kafir termasuk 
masalah yang masyhur dan jelas di kalangan para ulama.
Hingga, sebagian mereka mewajibkan dijatuhkannya hukuman kepada si pria kafir 
dan si wanita muslimah bila terjadi akad antara
keduanya dengan menikahkan setelah dibatalkan. Mereka juga menghukumi setiap 
orang yang ikut andil dalam akad itu. Hal ini
ditegaskan oleh Ibnul Hamman Al-Hanafi (Dia Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid 
bin Abdul Hamid bin Mas'ud As-Siausi yang terkenal
dengan Ibnul Hamman Al-Hanafi, seorang Imam lagi sangat cerdas. Dia juga 
seorang peneliti yang cemerlang. Wafat tahun 361 H. Lihat
Syudzuratudz Dzahab 7/29) dalam Syarh Fathul Qadir yang mana beliau berkata, 
"Tidak sah menikahnya pria kafir dengan wanita
muslimah. Kalau sampai terjadi, keduanya dihukum, jika si wanita mengetahui 
status pria. Dan juga orang yang ikut andil, pria atau
wanita." [Syarh Fathul Qadir 2/506]

Yang dimaksudkan di sini adalah keharaman menikahnya pria mubtadi' kafir akibat 
bid'ahnya, dengan wanita muslimah dari Ahlus Sunnah,
menurut nash-nash Al-Kitab dan ijma' umat ini berupa keharaman dinikahinya 
wanita muslimah oleh pria kafir dan masuknya mubtadi'
kafir ke dalam sifat kufur yang ada hukum-hukum tentangnya.

Hal ini masih ditambah dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari para salafush 
shalih berupa atsar-atsar yang terang tentang
keharaman menikahkan wanita Ahlus Sunnah kepada orang yang telah divonis kafir 
dari Ahlul Bid'ah, dan rusaknya serta batalnya
pernikahan tersebut.

Di antara atsar-atsar tersebut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dan selainnya dari Imam Malik, bahwa beliau 
pernah ditanya tentang pernikahan pria Qadari, maka
beliau membaca ayat:
"Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musrik 
walaupun dia menarik hatimu." [Al-Baqarah: 221].
[As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim hal. 88, dan Al-Ibanah Ash-Shughra, Ibnu Baththah 
hal. 151, dan Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah,
Al-Lalikai 2/731].

Dari beliau juga, bahwa beliau pernah ditanya tentang Qadariyah, manakah yang 
lebih baik, tidak berbicara dengan mereka atau
memusuhi mereka? Beliau berkata, "Ya, jika dia memang paham terhadap apa yang 
dia yakini ... " Dan beliau berkata, "Dan saya
berpendapat mereka tidak boleh menikahi (para wanita Ahlus Sunnah)." [Ibnu 
Baththah dalam Al-Ibanah Ash-Shughra hal. 150]

Dari Sufyan Ats-Tsauri, dia pernah ditanya oleh seseorang, "Saya memiliki 
famili yang Qadari, apakah saya boleh menikahinya?" Beliau
berkata, "Tidak. Tidak ada kehormatan baginya." [Al-Lalikai dalam Syarh Ushul 
I'tiqad Ahlus Sunnah 2/735]

Dari Abdurrahman bin Malik, ia berkata, "Tidak ada Ahlul Bid'ah yang lebih 
jahat dari teman-teman Jahm, mereka berkeliling-keliling
sambil mengatakan, "Di langit tidak ada apapun." Saya berpendapat, "Demi Allah, 
mereka tidak boleh menikahi dan mendapatkan waris."
[Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Kitabus Sunnah 1/157]

Dari Muhammad bin Yahya (Muhammad bin Yahya bin Abi Umar Al-'Adani, dia tinggal 
di Makkah. Dia seorang yang sangat jujur lagi
mengarang Musnad. Dia terus belajar kepada Ibnu 'Uyainah, tetapi Abu Hatim 
berkata, "Padanya ada kelalaian." Wafat 243 H. ), ia
berkata, "Siapa yang mengatakan Al-Qur'an makhluk, dia kafir. Siapa abstain, 
dia lebih jahat dari yang mengatakan makhluk. Tidak
boleh shalat di belakang mereka dan mereka tidak boleh menikahi (para wanita 
Ahlus Sunnah) ." [Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah
2/325]

Riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Salaf menunjukkan keharaman 
menikahkan Ahlul Bid'ah yang kebid'ahan-kebid'ahannya sampai
ke batas kekafiran, seperti Jahmiyah dan Qadariyah serta Ahlul Bid'ah yang sama 
hukumnya dengan mereka yang telah pasti dihukumi
dengan kekafiran menurut Ahlus Sunnah. Menikahnya mereka dengan wanita-wanita 
Ahlus Sunnah adalah tidak boleh dengan sebab kekafiran
mereka. Jika itu terjadi, wajib membatalkannya dengan langsung, sebagaimana 
ditunjukkan oleh fatwa-fatwa para ulama Ahlus Sunnah
yang menegaskan madzhab Salaf dalam hal itu.
Diriwayatkan dari Syaikh Abul Qasim As-Sialari (Dia Abul Qasim Abdul Haq bin 
Abdul Harits, penutup ulama Afrika. Dia seorang yang
terhormat, peneliti, zuhud, lagi ahli sastra. Sebagian ulama benyak belajar 
kepadanya. Dia berumur panjang. Wafat tahun 460 H. Lihat
Ad-Dibaj Al-Madzhab, Ibnu Farihan 2/22.) rahimahullah, beliau ditanya tentang 
suatu kaum dari Ibadhiyah yang berpegang dengan
madzhab Wahbiyah dari Rafidlah dan tinggal di antara kaum muslimin, serta 
mereka menikahi para wanita Ahlus Sunnah agar bertambah
kekuatan mereka dengan hubungan periparan dengan Ahlus Sunnah, maka apakah 
boleh Ahlus Sunnah membatalkan pernikahan-pernikahan
mereka itu dan memukul mereka hingga mereka bisa kembali meninggalkan madzhab 
mereka?

Maka beliau berkata, ". Pernikahan yang mereka lakukan dengan para wanita kita 
(wanita Ahlus Sunnah), maka segera dibatalkan,
penjara dan pukul mereka jika mereka belum bertaubat, yaitu kepada urusan yang 
benar, dan kembalikan kepada madzhab Ahlus Sunnah.
Dan siapa yang mampu untuk melakukan apa yang telah kita sebutkan, maka dia 
wajib melakukannya." [Tabshuratul Hukkam, Ibnu Farihan
yang dicetak dengan footnote Fathul 'Aliyil Malik 1/425].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang 
hukum menikahkan seorang pria Rafidlah (dengan wanita
Ahlus Sunnah) dan orang yang mengatakan tidak wajib melakukan shalat yang lima, 
"Tidak boleh seorang pun menikahkan
budaknya/maulanya yang wanita dengan pria Rafidlah dan orang yang meninggalkan 
shalat. Jika ketika mereka menikahkannya dia seorang
Sunni dan shalat, kemudian muncul/tampak bahwa dia sebenarnya seorang Rafidli 
yang tidak shalat, atau dia kembali kepada madzhab
Rafidlah dan meninggalkan shalat, maka mereka harus membatalkan nikahnya." 
[Majmu' Fatawa 32/61].

Setelah pemaparan yang rinci tentang nash-nash yang syar'i dan ucapan-ucapan 
para Salaf, menjadi jelaslah hukum syari'at dan sikap
Ahlus Sunnah tentang pernikahan Ahlul Bid'ah yang telah dihukumi dengan 
kekafiran, bahwa pernikahan mereka dengan Ahlus Sunnah tidak
halal sama sekali, sama saja apakah mereka pria atau wanita. Oleh karena itu, 
tidak boleh bagi seorang pria Ahlus Sunnah untuk
menikahkan wanita yang dalam tanggung jawabnya dengan pria Ahlul Bid'ah yang 
kafir, sebagaimana juga tidak boleh baginya untuk
menikahi wanita dari mereka. Hal itu merupakan ijma' Ahlus Sunnah. Wallahu 
A'lam.

Adapun jika si mubtadi' tidak kafir, maka yang menjadi masalah dalam 
pernikahannya dengan wanita Ahlus Sunnah yaitu berkaitan dengan
masalah 'sekufu' dalam pernikahan'. Hal itu teranggap berkaitan dalam sahnya 
pernikahan atau tidak? Tempat pembahasan hal ini dengan
luas ada dalam kitab-kitab fiqih. Saya di sini hanya menyebutkan ucapan-ucapan 
para ulama tentang masalah ini menurut bentuk yang
global, agar semakin terang dalam hukum pernikahan mubtadi' tadi.

Global pendapat dalam masalah ini adalah bahwa para ulama berselisih tentang 
persyaratan "kufu'" dalam pernikahan. Sebagian mereka
berpendapat bahwa persyaratan kufu' bukan syarat kesahan pernikahan dan juga 
bukan keharusan pernikahan. Itu diriwayatkan oleh
Al-Hasan Basyri dan Sufyan Ats-Tsauri, dan demikian juga pendapat Al-Khurkhi 
dari kalangan Hanafiyah.
Dan jumhur para ulama, di antaranya tokoh empat madzhab, berpendapat bahwa 
kufu' adalah syarat keharusan pernikahan dan syarat
kesahan pernikahan. Bila seorang wanita menikah tanpa sekufu', maka akad 
tersebut benar. Para walinya memiliki hak untuk menolak
sang pria dan menuntut fasakh-nya untuk menolak bahaya-bahaya yang memalukan 
dari diri-diri mereka. Jika mereka menggugurkan hak
mereka dalam menolak, maka itu boleh. Demikian juga kalau sang wali menikahkan 
maula wanitanya tanpa sekufu', maka wanita tersebut
memiliki hak untuk menolak dan membatalkan akad, kecuali kalau dia (si wanita) 
tidak mau menggunakan haknya, maka boleh.

Masalah sekufu' dalam pernikahan adalah hak bagi sang wanita dan walinya. 
Hakini tetap berlaku bagi keduanya menurut persetujuan,
yakni kalau salah satunyamenggugurkan haknya, tidak bisa yang lain ikut gugur 
kecuali bila dia juga menggugurkan. Kalau keduanya
sepakat untuk menggugurkan hak ini, akad bisa dilaksanakan.Ini berbeda bila 
kufu' adalah syarat dalam kesahan akad, maka akad
pernikahan tanpa sekufu' tidak sah, hingga kalau para wali dan sang wanita 
menggugurkan hak mereka untuk menolak. Sebab, syarat sah
tidak bisa gugur dengan digugurkan oleh pemiliknya. Inilah perbedaan antara 
syarat yang mesti dan syarat sah. [Lihat Syarh Fathul
Qadir, Ibnul Hamman 2/417, Syarh Al-Kabir, Ahmad Ad-Darrudir dengan Hasyiyah 
Ad-Dasiki 2/249, Mughnil Muhtaj, Muhammad Asy-Syarbini
3/249, Raudlatuth Thalibin, An-Nawawi 7/84, Kasyful Qana', Al-Bahuti 5/72 dan 
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Az-Zuhaili 7/234]

Kemudian -setelah mereka sepakat untuk menganggap kufu' adalah syarat keharusan 
nikah- jumhur berselisih dalam keberbilangan bagian
yang dianggap dalam kekufu'an. Kita bukan merinci perbedaan mereka dalam hal 
itu karena tidak ada keterkaitannya dengan tema kita.
Yang kita maukan di sini adalah menganggap "keagamaan" termasuk bagian kufu' 
dalam pernikahan. Inilah yang menjadi tempat ijma'
mayoritas fuqaha' yang telah disampaikan tadi, kecuali Muhammad bin Al-Hasan 
(Lihat Syarh Fathul Qadir, Ibnul hamman 2/422,
Taqrirat) dari Hanafiyah, karena beliau tidak menganggap kekufu'an dalam 
masalah agama. Beliau berkata, "Karena ini masalah akhirat
sedangkan kufu' termasuk hukum-hukum dunia." [Bada'iush Shana'i, Al-Kasani 
2/320, Syarh Fathul Qadir, Ibnu Hamman 2/423]

Perlu diperingatkan, yang dimaksud dengan "keagamaan" di sini adalah 
sebagaimana yang ditafsirkan para ulama dengan "takwa dan
wara", yaitu sang pria bukan seorang yang fasik dan mubtadi' (Syaikh Ma'a 
'Ulaisy terhadap Asy-Syarhul Kabir yang dicetak dengan
footnote Ad-Dasuqi 2.249.). Bukanlah yang dimaksudkan dengan "keagamaan" adalah 
beragama Islam, karena agama Islam syarat kesahan
akad menurut ijma', dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi, sebagaimana 
telah lalu keterangannya di awal pasal.
Inilah ucapan-ucapan para fuqaha' dalam menganggap permasalahan kufu' dalam 
keagamaan, sebagaimana dinukil oleh para peneliti empat
madzhab:

Dari Madzhab Hanafi:

Penulis kitab Bada'iush Shana'i berkata di bawah judul "Hal yang dianggap 
termasuk kekufu'an": "Di antaranya: Agama. Menurut
pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, hingga kalau seorang wanita yang termasuk 
anak-anak para orang shalih bila menikahkan dirinya
kepada seorang pria fasik, maka para walinya berhak untuk menolak, sebab 
membanggakan diri dengan agama lebih pantas daripada
berbangga dengan keturunan, status orang merdeka dan harta. Penjelekan akibat 
kefasikan lebih jelek dari berbagai
kejelekan-kejelekan yang ada." [Bada'iush Shana'i, Al-Kasani 2/320]

Itu juga dinukil dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf Burhanuddin Al-Marghinani,( Dia 
adalah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil Al-Farghani
Al-Marghinani, pengarang Al-Hidayah. Dia seorang Imam, faqih, hafidz, muhaddits 
(ahli hadits), ahli tafsir lagi pengumpul ilmu.
Wafat tahun 593 H. Lihat Al-Fawa'id Al-Bahiyyah dalam Tarajimul Hanafiyah, 
Al-Kinani hal. 141). pengarang Al-Hidayah, dia berkata,
"Dan itu benar (Al-Hidayah dengan Syarh Fathul Qadir 2/422.) yaitu: Termasuk 
madzhab keduanya menurut yang diterangkan Ibnu Hamman
dalam Syarh Fathul Qadir." [Syarh Fathul Qadir 2/422]

Sebagaimana masing-masing, tiga para peneliti menyetujui pendapat Abu Hanifah 
dan Abu Yusuf dalam konteks ucapan mereka.

[Diambil dari kitab "Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama'ah min Ahlul Ahwa wal Bida' " 
cetakan Maktabah Al-Ghuroba Al-Atsariah jilid I hal
373-388]

[Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah, Penulis Syaikh DR Ibrahim bin Amir 
Ar-Ruhaili, Penerjemah Muhammad Ali Ismah Al-Medany,
Penerbit Pustaka Al-Ghuraba' Press, hal 13-25]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=384&bagian=0




--------------------------------------------
Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
--------------------------------------------
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke