Wa'alaykumus salaam warahmatullaHi wabarakatuH

JazakallaHu Khairan atas penjelasan antum. Ana juga baru tahu bahwa mualif al 
Muntaqa adalah Syaikh Abdussallam (kakek dari Syaikhul Islam), karena selama 
ini ana mengira al Muntaqa ditulis oleh Syaikhul Islam.

BarakallaHu fiikum
Abu Hasan


as-Shoqiil al-Muhannad <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Assalamu'alaikum warahmatullah
wa iyyakum ....
Iya, bisa dikatakan seperti itu. Kitab al-Sail al-Jarrar itu syarh dari Hadaaiq 
al-Azhaar. Afwan ana lupa nama muallif "Hadaaiq", tapi yang jelas kitab 
"Hadaaiq" tersebut salah satu matan kitab fiqih yang dianggap mu'tamad 
dikalangan syi'ah zaidiyah hadawiyah. Nah, al-Imaam Muhammad ibn 'Ali 
al-Syaukaany mensyarah kitab tersebut, yang tentu saja beliau tidak terikat 
dengan mazhab mu'allif kitab tersebut, akan tetapi mengikuti dalil.

Sebagai tanbih, yang terkenal dengan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah adalah Ahmad 
ibn 'Abdil Haliim ibn 'Abdussalam, nah Ahmad inilah yang berlaqab Taqiyuddin 
yang berkunyah Abul 'Abbas. Sedangkan mu'allif "Muntaqa al-Akhbaar Min 
Ahaadiits Sayyidil Akhyaar" (kitab kumpulan hadits-hadits ahkam yang disyarh 
al-Imam al-Syaukany dengan nama Nailul Authar) adalah KAKEK dari Syaikhul Islam 
tadi, yaitu Syaikh 'Abdussalam yang berlaqab Majduddiin. Memang ketiga orang 
tersebut (Ahmad, 'Abdul Haliim, 'Abdussalam) semuanya untuk menyingkat nisbah 
biasanya dinisbahkan ke taimiyah langsung dengan menambahkan "ibn Taimiyah" di 
belakang nama mereka rahimahumullah. Bahkan ada kitab ushul fiqh yang dikarang 
bersambung oleh 3 orang tersebut dimulai dari sang kakek, kemudian sang bapak 
dan terkahir disempurnakan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Nama kitab ini 
adalah al-Musawwadah.

Semoga bermanfaat, wallahu a'lam ...

wassalamu'alaikum warahmatullah


Budi Ari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
JazakallaHu Khairan akhil kariim atas jawaban antum, semoga Allah Ta'ala 
memudahkan urusan antum dan meluaskan ilmu diinul Islam ini untuk antum. 
BarakallaHu fiikum.

Satu lagi akhil kariim (biar ana tidak salah tangkap), berkaitan dengan 
kitabnya Imam asy Syaukani "as Sail al Jarraar", artinya kitab itu merupakan 
syarah atas Kitab "Hadaa'iq al Azhaar", sebagaimana beliau mensyarah kitabnya 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kemudian beliau beri judul "Nailul Authar", 
benarkah demikian ?

BarakallaHu fiikum
Abu Hasan


as-Shoqiil al-Muhannad <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Budi Ari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Assalamu'alaykum,
Ikhwah fillah, ana ingin bertanya :
1. Apakah pembahasan hadits mu'anan terbatas hanya pada pembahasan hadits 
mudallas saja? Lalu bagaimana kedudukan hadits mu'annan (hadits yang memiliki 
lafazh inna atau 'anna) apakah disamakan dengan hadits mu'anan (hadits yang 
memiliki lafazh 'an)?
2. Di dalam pembahasan fiqh, suka dikutip pendapat madzhab al Hadawiyah, 
dinishbahkan kepada siapakah madzhab al Hadawiyah tersebut?
3. Yang mana penulisan yang lebih tepat: Ibnu Qayyim atau Ibnul Qayim?
JazakallaHu khairan atas jawabannya
Abu Hasan
========

wa'alaikumussalam warahmatullah

bismillahirrahmanirrahiim

Pembahasan tentang hadits mu'an'an (bil 'ain) tidak selamanya hanya berkaitan 
dengan tadlis atau hadits mudallas. Malahan ketika al-Imam Abul Husain Muslim 
ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairy al-Naisabury ketika memaparkan 
permasalahan hadits mu'an'an di muqaddimah kitab beliau (al-Musnad al-Shahih 
al-Mukhtashar Min al-Sunan Bi Naql al-'Adl 'An al-'Adl 'An Rasuulillah 
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam/ yang terkenal dengan sebutan Shahih Muslim) sama 
sekali bukan yg berhubungan dengan tadlis, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 
rawi dengan shighah ada' 'an (bil 'ain), rawi tersebut tsiqah dan bukan 
mudallis, kemudian berdasarkan tarikh, rawi itu mu'asharah (semasa) dengan 
al-marwy 'anhu (orang yg rawi tersebut mengambil riwayat darinya). Dalam 
muqaddimah tersebut, al-Imam Muslim membantah qaul yg mengatakan bahwa hadits 
mu'an'an seorang tsiqah ghairu mudallis tidak diterima meskipun dia mu'asharah 
dengan al-marwy 'anhu, sampai diketahui bahwa rawi tersebut diketahui
bahwasannya ia mendengar dari al-marwy 'anhu. Khulashah dari masalah ini di 
muqaddimah beliau adalah:
1- Beliau (al-Imam Muslim) membantah qaul tersebut di atas, bahkan juga 
membid'ahkannya.
2- Beliau mensyaratkan dalam menerima hadits mu'an'an (bil 'ain) 3 syarat 
selain syarat yg lazim pada rawi ('adalah dan dhabth):
a- Rawi tersebut BUKAN MUDALLIS.
b- Rawi tersebut mu'asharah dengan al-marwy 'anhu.
c- Tidak adanya qarinah bayyinah yg menunjukkan bahwa rawy tersebut tidak 
mendengar dari al-marwy 'anhu, seperti misalnya terlalu jauhnya negeri.
3- Beliau menukil ijma' untuk qaul yg dipegangnya tersebut.
4- Beliau tidah mensharihkan siapa nama shahibul qaul al-marduud 'alaih.

Nah, para ulama sesudah beliau tidak pernah menyinggung lagi permasalahan ini 
sampai datanglah al-Qadhy 'Iyaadh al-Yakhshuby al-Maghriby al-Maaliky (w 544 H) 
mensyarah shahih Muslim, kemudian dsitu beliau (al-Qadhy 'Iyaadh) menisbahkan 
qaul yg dibantah oleh al-Imam Muslim tersebut adalah qaul guru al-Imam Muslim, 
yaitu al-Imam Abu 'Abdillah Muhammad ibn Isma'il ibn Ibrahim al-Ju'fy 
al-Bukhary yg tiada lain adalah penyusun kitab "al-Jaami' al-Musnad al-Shahih 
al-Mukhtashar Min Umuur Rasulillahi Shallallahu 'Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa 
Ayyaamihi" yg terkenal dengan sebutan Shahih al-Bukhaary.

Nah, ingat kapan al-Qadhy 'Iyadh hidup (w 544 H) dan kapan dua imam besar 
tersebut hidup (akhir abad kedua-awal abad ketiga hijriyah)!!!!
Namun, para ulama -rahimahumullah- sesudah al-Qadhy 'Iyadh yang menyusun 
kitab-kitab musthalah, hampir tidak pernah meninggalkan qadhiyah ini, khususnya 
ketika berbicara tentang tafdhil antara shahihain (shahih al-Bukhary dan shahih 
Muslim), mulai dari al-Imam Abu 'Amr Ibn Shalah al-Syahrazuury (w 643 H) dalam 
kitabnya "Ma'rifatu Anwaa' 'Ilm al-Hadiits" yg terkenal dengan sebutan 
"Muqaddimah Ibn Shalah", sampai al-Hafidh Abul Fadhl Ahmad ibn 'Ali Ibn Hajar 
al-'Asqalaany dalam "Nuzhatun Nadhar Fi Taudhiih Nukhbatil Fikar Fi Mushtalahi 
Ahlil Atsar". Al-Imam Abul Faraj Ibn Rajab al-Hanbaly pun lumayan panjang 
pemaparannya untuk masalah ini di Syarh 'Ilal al-Tirmidzy. Bahkan seorang ulama 
ada yg menyusun kitab khusus untuk membahas permasalahan ini, yaitu al-Imam Ibn 
Rusyaid al-Fihry (Abu 'Abdillah Muhammad ibn 'Umar ibn Muhammad al-Fihry w 721 
H) dalam kitabnya "al-Sanan al-Abyan Wa al-Maurid al-Am'an Fi al-Muhaakamah 
Baina al-Imaamain Fi al-Sanad al-Mu'an'an".

Intinya, setelah al-Qadhy 'Iyaadh, para ulama mengikuti beliau mengatakan bahwa 
al-Imam al-Bukhary dalam menerima hadits mu'an'an seorang tsiqah ghairu 
mudallis mensyaratkan bahwasannya rawi tersebut harus diketahui sama'-nya dari 
al-marwy 'anhu, tidak cukup dengan mu'asharah saja. Nah, dari sinilah para 
ulama ketika memaparkan tafdhil baina al-shahihain salah satu sebab mengapa 
Shahih al-Bukhary lebih unggul daripada Shahih Muslim yaitu karena itu tadi, 
sebagaimana yg dikatakan al-Qadhy 'Iyaadh bahwasannya syarat al-Imam al-Bukhary 
lebih ketat daripada al-Imam Muslim, karena al-Bukhary mensyaratkan harus 
diketahui sama' atau liqa' nya, sedangkan Muslim hanya cukup dengan mu'asharah.

Sekali lagi masalah ini fi ghair al-mudallis, yaitu apa hukum hadits mu'an'an 
yang diriwayatkan oleh tsiqah ghairu mudallis, jika rawi tersebut diketahui 
semasa (mu'asharah) dengan al-marwy 'anhu dan ada kemungkinan mendengar atau 
bertemu dengannya, tapi tidak ada riwayat sama sekali bahwa rawi tersebut 
benar2 mendengar atau bertemu dengan al-marwy 'anhu.

Memang sejak al-Qadhy 'Iyaadh, nadhariyyan laa tathbiiqiyyan (secara teori, 
bukan praktek) para ulama tentulah merajihkan al-Madzhab al-Mansuub ilal 
Bukhaary dibanding mazhab yg dibela dan disokong habis-habisan oleh al-Imam 
Muslim dalam qadhiyah ini. Tapi yg menjadi pertanyaan besar adalah... SEJAUH 
MANA KEBENARAN NISBAH MAZHAB TERSEBUT (PENSYARATAN HARUS DIKETAHUI SAMA' ATAU 
LIQA'NYA) TERHADAP AL-IMAAM AL-BUKHAARY?

Atau sharihnya, benarkah qaul yang dibantah dan dicaci bahkan dibid'ahkan oleh 
al-Imam Muslim di muqaddimah shahihnya bahkan beliau menukil ijma' bahwa qaul 
yg beliau sokong itu yg benar, benarkah qaul yg dibantah tersebut adalah qaul 
gurunya yg tak lain adalah al-Imam al-Bukhaary ??

Lebih jauh tentang masalah ini silakan baca di buku yg ditulis al-Syaikh 
al-Syarif Hatim ibn 'Arif al-'Auni al-'Abdaly, dosen hadits Umm al-Qura 
University yg judulnya "Ijmaa' al-Muhadditsiin 'Ala 'Adam Isythiraath al-'Ilm 
Bi al-Samaa' Fi al-Hadiits al-Mu'an'an Baina al-Raawiyain al-Muta'aashirain". 
Dari judulnya jelas sekali isi buku tersebut adalah membela madzhab al-Imam 
Muslim dan membantah nisbah syarath yang dinisbahkan oleh al-Qaadhy 'Iyaadh 
kepada al-Imam al-Bukhaary. Dengan kata lain, al-Imam al-Bukhaary (menurut 
Syaikh Haatim dalam buku tersebut) tidak pernah mensyaratkan dalam menerima 
hadits mu'an'an harus diketahui sama' atau liqa'nya dengan al-marwy 'anhu. Atau 
dengan kata lain, al-Imaam al-Bukhaary sepakat dengan al-Imaam Muslim. Antum 
bisa download buku ini di saaid[dot]net. Beberapa point penting yang saya ingat 
dari buku tersebut adalah:
1. al-Imaam al-Bukhary tidak pernah mengatakan sharih dalam satupun bukunya 
tentang syarat yg dinisbahkan kepada beliau oleh al-Qaadhy 'Iyaadh.
2. Para ulama yg datang setelah al-Qaadhy 'Iyaadh tidak pernah membahas 
kebenaran nisbah qaul atau syarat tersebut kepada al-Imam al-Bukhaary, mereka 
-rahimahumullah- hanya membahas tarjih antara dua qaul, yaitu qaul yang 
disokong oleh al-Imam Muslim dan qaul yang dibantahnya yang oleh al-Qadhy 
'Iyaadh dinisbahkan kepada al-Imam al-Bukhary.
3. al-Qadhy 'Iyaadh tidak pernah mendatangkan dalil atas penisbahan qaul 
tersebut kepada al-Imam al-Bukhaary.
4. al-Imam Muslim meski beliau tidak mensyaratkan sama' atau liqa' dalam 
menerima hadits mu'an'an, tapi beliau juga mempertimbangkan qarinah yg 
menunjukkan bahwa rawi jelas-jelas tidak bertemu dengan al-marwy 'anhu, jika 
ada qarinah seperti itu maka tentulah beliau menolak hadits mu'an'an tersebut, 
namun jika qarinah kesitu tidak ada, maka beliau kembali ke al-Ashl, yaitu 
menerima hadits mu'an'an tersebut dengan syarat yang saya sebutkan tadi di awal 
tulisan ini (khulashah muqaddimah).
5. Syaikh Haatim mengemukakan 15 dalil untuk menolak penisbatan syarat sama' 
atau liqa' tadi kepada al-Imam al-Bukhaary, diantara yang ana ingat dalil 
tersebut adalah:
a. Ijma' yg dinukil oleh al-Imam Muslim dan juga dinukil oleh beberapa ulama 
sesudah beliau, yaitu: Abu 'Umar Ibn 'Abdil Barr al-Andalusy dalam kitabnya 
"al-Tamhiid Limaa Fi al-Muwaththa' Min al-Ma'aany Wa al-Asaaniid", Abu 
'Abdillah al-Haakim al-Naisabury dalam kitabnya "Ma'rifat 'Uluum al-Hadiits Wa 
Kammiyat Ajnaasihi", al-Khathib al-Baghdaady dalam "al-Kifaayah Fi Ma'rifat 
Ushul 'Ilm al-Riwaayah", dan Ibn Hazm (Abu Muhammad 'Ali ibn Ahmad ibn Sa'id) 
al-Andalusy al-Dhaahiry dalam "al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaaam".
b. Kasarnya lafadh yang digunakan al-Imam Muslim ketika menyebut qaul yg 
dibantahnya, bahkan dibid'ahkannya, apakah ma'quul (logis) seorang al-Imam 
Muslim membid'ahkan qaul gurunya yaitu al-Imam al-Bukhaary, apalagi dengan 
bahasa yg kasar.
c. Praktek al-Imam al-Bukhary sendiri dalam kitab shahihnya dalam menerima 
hadits mu'an'an dimana beliau tidak mukhalafah dengan al-Imam Muslim.
d. Diamnya para ulama selama paling tidak sekitar 2 abad lebih semenjak al-Imam 
Muslim memaparkan masalah ini sampai al-Qadhi 'Iyaadh (w 544 H) datang.

Ini yang ana ingat, lebih lanjut silakan baca sendiri buku tersebut, sebagai 
perbandingan, baca juga "Mauqif al-Imaamain al-Bukhaary wa Muslim Min 
Isythiraath al-Luqyaa Wa al-Samaa'" oleh Syaikh Khalid al-Duraisy, kalo nggak 
salah ada juga di web yg ana tulis di atas. Baca juga kitab Ibn Rusyaid tadi 
dan pemaparan al-Imam Ibn Rajab al-Hanbaly tentang masalah ini di Syarh 'Ilal 
al-Tirmidzy.

Kemudian soal hadits mu'an'an (bil hamzah) atau mu'annan (juga bil hamzah) 
biasanya pembahasan hukumnya diikutkan hadits mu'an'an (bil 'ain), itu karena 
keduanya sama-sama mengandung ihtimal ittishal dan inqitha'.

Tentang hadawiyah, kalo nggak salah, yang ana ingat adalah nisbah ke salah satu 
madzhab fiqih orang-orang syi'ah zaidiyah (zaidiyah nisbah ke Zaid ibn 'Ali 
Zain al-'Aabidiin ibn Husain ibn 'Ali Ibn Abi Thaalib) yang kebanyakan di 
Yaman. Hadawiyah ini nisbah kepada al-Haady Yahya ibn al-Husain (w 298 H). 
Kitab Hadaa'iqul Azhaar yang disyarh oleh al-Imam al-Syaukaany adalah kitab 
madzhab Hadawiyah, ingat, kitab yg disyarah lo, bukan syarahnya, syarhnya 
judulnya "al-Sail al-Jarraar al-Mutadaffiq 'Ala Hadaaiq al-Azhaar".

Soal penulisan Ibn al-Qayyim, ana mohon ikhwah yang lebih tahu menjawabnya, 
yang ana perhatikan biasanya ketika lengkap "al-Jauziyah" -nya disebutkan, maka 
"QAYYIM" nya tanpa AL, namun jika tanpa "al-Jauziyah" alias disingkat, biasanya 
QAYYIM nya pake AL.

Ini saja yang ana ingat, semoga berfaidah. Wa Billahi al-'Ishmah Wa al-Taufiiq.

wassalamu'alaikum warahmatullah


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com


Website anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/mlbios.php/aturanmilis/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke