2010/6/9 indra bustomi <indra_bustomi_1...@yahoo.com>
> Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh,
> Tolong penjelasan perobahan arah qiblat yang saat ini banyak di bahas, di
tempat kita setelah adanya perobahan tersebut qiblatnya bergeser 11 drajat
arah ke utara dilakukan oleh pemuka agama di tempat saya, saya sediri tidak
tau dasarnya, tolong penjelasanya kebenaran tersebut,jika ada landasan-nya
di sertakan sekalian itu lebih baik.
> Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
> Indra Bustomi

Assalaamu alaykum warahmatullah wabarakatuh.

Sebetulnya, karena tak tahu, maka banyak orang memakan begitu saja berita
yang tidak jelas.
Sebetulnya Kabah tetap saja tidak pindah posisinya.
Dan berkat kemajuan teknologi, banyak tools yang bisa mempermudah kita untuk
menentukan kebenaran arah qiblat
Salah satunya website:  http://www.qiblalocator.com/
Di situ bisa diketahui, arah  ke Mekkah dari Jakarta adalah 295.15° atau
295° 9' dari utara (searah jarum jam), atau (360°- 295.15° = 64.85° =  64°
51' berlawanan arah jarum jam). sejarak 7926 km dari mekkah.

Di website itu, jika tipe peta kita ubah menjadi "satellite" dan kita
geser-geser posisi map dengan dragging/menggeser dengan mouse (menekan mouse
klik kiri), lalu memainkan zoom, maka kita bisa melihat apakah arah mesjid
betul atau perlu koreksi.

Misalnya
Masjid Al Azar Kebayorn Baru (-6.2351,106.7994) bagus
[image: azharkby.jpg]

Masjid Dian al Mahri (-6° 23' 3.48", +106° 46' 21.00") agak ke kiri beberapa
derajat, coba lihat
[image: mruyung.jpg]

Masjid Istiqlal (-6.1700,106.8309) lumayan tepat
[image: ist.jpg]
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Terlampir artikel dari situs almanhaj berhubungan dengan masalah kiblat

ORANG YANG SHALAT BERPALING SEDIKIT DARI QIBLAT, APAKAH HARUS MENGULANGI 
SHALATNYA?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
http://www.almanhaj.or.id/content/1521/slash/0

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apabila orang yang shalat 
telah mengetahui ia berpaling sedikit dari qiblat, apakah dia mengulangi 
shalatnya.?

Jawab
Berpaling sedikit dari qiblat tidaklah membahayakan ini berlaku bagi orang yang 
jauh dari Masjidil Haram. Karena Masjidil Haram merupakan qiblat bagi orang 
yang shalat karena didalamnya ada Ka’bah. Oleh karena itu para ulama 
berpendapat : Barangsiapa yang dapat menyaksikan Ka’bah maka wajib baginya 
untuk menghadap langsung ke Ka’bah, maka orang yang shalat di Masjidil Haram 
menghadap kearah Ka’bah, kemudian tidak menghadap langsung ke Ka’bah, dia harus 
mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak sah, Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman.

“Palingkan mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, 
palingkanlah mukamu ke arahnya” [Al-Baqarah : 144]

Kalau orang tersebut jauh dari Ka’bah tidak bisa menyaksikannya walaupun masih 
berada di wilayah Makkah wajib baginya untuk menghadap ke arah qiblat, tidak 
mengapa berpaling sedikit, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda kepada penduduk Madinah.

“Apa yang diantara Timur dan Barat adalah Qiblat” [1]

Karena penduduk Madinah menghadap ke Selatan maka setiap apa yang diantara 
Timur dan Barat menjadi Qiblat bagi mereka. Demikian pula misalnya kita katakan 
kepada orang yang shalat menghadap ke Barat bahwa diantara Selatan dan Utara 
adalah Qiblat.

HUKUM SHALAT BERJAMA'AH TIDAK MENGHADAP KIBLAT

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya shalat 
berjama’ah menghadap selain Qiblat/tidak menghadap Qiblat?

Jawaban
Masalah ini tidak lepas dari dua hal.
[1]. Mereka berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan untuk mengetahui 
arah qiblat, seperti dalam safar, langit mendung sehingga tidak ada petunjuk ke 
arah qiblat, apabila mereka shalat menghadap kearah mana saja kemudian apabila 
mereka mengetahui bahwa mereka shalat tidak menghadap qiblat tidak apa-apa bagi 
mereka (shalatnya syah), karena mereka sudah bertakwa kepada Allah menurut 
kemampuan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Bertakwalah kepada Allah semampu kamu” [Ath-Thaghabun : 16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu 
kalian” [2]

[2]. Mereka berada pada suatu tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk 
bertanya tentang qiblat, tetapi mereka lalai dan tidak mau bertanya, dalam hal 
ini mereka mengulangi (mengqadha) shalat yang mereka kerjakan dengan tidak 
menghadap qiblat. Sama saja apakah mereka mengetahui kesalahan mereka sebelum 
waktu shalat habis atau setelahnya, karena mereka dalam masalah ini bersalah 
dan disalahkan, disalahkan dalam msalah qiblat, karena mereka tidak sengaja 
berpaling dari qiblat tetapi mereka bersalah dalam kelalaian mereka untuk 
menanyakan tentang qiblat. Seyogyanya kita mengetahui bahwa berpaling sedikit 
dari arah qiblat tidaklah membahayakan. Seperti berpaling kekanan atau kekiri 
sedikit berdasarkan sabda Rasulullah kepada penduduk Madinah.

“Diantara Timur dan Barat adalah Qiblat”

Orang-orang yang berdomisili di sebelah utara dari Ka’bah kita katakan kepada 
mereka, di antara Utara dan Selatan adalah qiblat, berpaling sedikit dari 
qiblat tidak apa-apa

Dan di sini ada masalah yang ingin saya tekankan yaitu : Barangsiapa yang 
berada di Masjidil Haram melihat Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap 
langsung Ka’bah tidak menghadap ke arahnya, karena apabila berpaling dari 
Ka’bah maka ia belum menghadap qiblat. Saya melihat kebanyakan orang-orang di 
Masjidil Haram tidak menghadap langsung ke Ka’bah, mereka membuat shaf bundar 
memanjang, maka sesungguhnya kebanyakan dari mereka tidak menghadap langsung ke 
Ka’bah. Ini merupakan kesalahan besar, wajib bagi orang Islam memperhatikannya, 
karena kalau mereka shalat dalam keadaan yang demikian itu berarti mereka 
shalat tidak menghadap qiblat.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa 
Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, 
Penerjemah Furqan Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. HR Tirmidzi, Kitabu Ash-Shalat, bab Ma’ Ja’a Anna Ma Baina Al-Masyriq wal 
Maghrib Qiblat, dan Ibnu Majah (1011) dan Hakim, dishahihkan dan disepakati 
oleh Azh-Zhahabi (Al-Mustadzrak 1/225]
[2]. HR Bukhari, Kitabu Al-Iqtisama bi Al-Kitabi wa As-Sunnati, bab Al-Iqtida’ 
Bi Sunnati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Muslim, Kitab Al-Haj, 
bab Fardhu al-Hajj.

Kirim email ke