Sales obat tentu terikat gaji dg perusahaannya. Dan perusahaanlah yg
membayar bonus tsb,bkn dr uang pribadi. Itu memang bagian dana promosi
obat. Kalau di consumer good dana itu biasa dialokasikan ke iklan atau
hadiah utk toko dg jumlah pembelian tertentu.

Masalahnya bkn pd hubungan sales dan perusahaannya,tp tentang boleh
tidaknya pihak ketiga memberi bonus ke dokter. Dalam banyak kasus,
perusahaan obat bs mendikte dokter dg bonusnya.

Perusahaan2 yg bergerak di bidang supplier biasanya jg mengalokasikan
dana utk komisi bg bag pengadaan perusahaan kliennya.

dalam kode etik kedokteran sebenarnya sdh diatur mengenai bonus tsb.
Diantaranya, pembatasan nilainya, bonus hrs berupa sponsor acara
ilmiah kedokteran,bkn uang atau barang yg tdk berhubungan dg dunia
dokter. Kemudian bonus jg tdk boleh dikaitkan langsung dg pemakaian
obat. Artinya tdk boleh memberi bonus 1jt dokternya harus meresepkan
100 ampul antibiotik sebulan. Itu namanya dokter bekerja utk pabrik
obat. Aturan tsb dibuat untuk menjaga independensi dokter dlm
mengambil keputusan medis. Sejatinya faktor medis dan kemanusiaan lah
yg harus dikedepankan.

Prakteknya, aturan tsb banyak dilanggar. Kompetisi antar perusahaan
farmasi, tingginya target penjualan bertemu dg attitude dokter yg
makin kapitalis dan materialis, jadilah praktek semacam itu, sama2
untung.

Perusahaan farmasi asing dr eropa atau amerika biasanya memang ketat
aturannya karena memang di negara asalnya tdk praktek spt itu. Dalam
sponsor acara ilmiah misalnya, harus melampirkan bukti registrasi
asli, bangkai tiket dan bill hotel asli.

Tapi di Indonesia,kl perusahaan farmasi yg ketat spt itu biasanya
penjualannya seret. Dokter akan memilih meresepkan obat yg bonusnya
besar dan mudah cair. Dan ada saja cara perusahaan farmasi mengakali
aturan,mulai dg memalsu invoice tiket atau memanipulasi istilah shg
tdk terkesan sebagai bonus/komisi.

Yang paling dirugikan adalah pasien, karena merekalah yg hrs membayar
resep2 itu. Ditambah lg pd umumnya posisi pasien sgt awam thd obat2an
shg percaya sj sm dokter. Kadang dokter meresepkan lbh banyak agar sgr
dpt bonusnya atau krn sdh "dikontrak" salah satu merk. Padahal dokter
sdh mengutip fee pemeriksaan dr pasien. Seharusnya pasien berhak
mendpt advise medis yg jujur dr dokter,tp karena bonus,pasien jd pasar
empuk utk kepentingan pribadi. Belum lg,kadang dokter mendapat bonus
dr apotek karena banyak pasien dokter tsb yg nebus obat di apotek itu.
Dokter dianggap berjasa meningkatkan omzet apotek.

Dengan gambaran di atas kiranya akan lbh mudah dlm menarik kesimpulan
hukumnya. Mudah2an para ustadz sekalian dimudahkan oleh Allah Ta'ala.

probo

On 12/15/10, wpugu...@yahoo.co.id <wpugu...@yahoo.co.id> wrote:
> Afwan, mohon di pilah-pilah...ada juga perusahaan mengharamkan pemberian
> bonus dlm bentuk "uang", bahkan ada salah satu perusahaan farmasi yg
> mengharamkan kegiatan tersebut karena termasuk penyuapan..sebagai gantinya
> perusahaan tersebut mengirim dokter ke symposium dgn tujuan update sains,
> dan pemberian gimmick..
>
> Salam
> Puguh
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
>
> -----Original Message-----
> From: muhammad nur ichwan muslim <bangich...@gmail.com>
> Sender: assunnah@yahoogroups.com
> Date: Wed, 15 Dec 2010 14:36:45
> To: <assunnah@yahoogroups.com>
> Reply-To: assunnah@yahoogroups.com
> Subject: Re: [assunnah] Bonus untuk dokter
>
> Bagaimana dengan hukum dokter itu sendiri ustadz? Bolehkah dia menerima uang
> tersebut?
> Pembenaran itu bentuknya bagaimana, apakah dengan sekedar persetujuan dr
> perusahaan yg bersangkutan atau bagaimana?
> Saya juga berasal dr kantor pelayanan publik dan tiap tahun ada "pembagian
> dr klien" dan "uang jasa" dr kantor konsultan yg menjadi konsumen pelayanan
> kami. praktek pemberian "uang jasa" sdh menjadi kebijakan kantor konsultan
> tsb (krn sy tanyakan ke bawahan langsung), artinya itu sudah lumrah.
> pertanyaanya, apakah hal seperti ini diperbolehkan krn kantor konsultan itu
> membenarkan praktek tsb dan memang telah menyediakan anggaran untuk itu atau
> bagaimana? mungkin ustadz dapat memberikan dalil2 yg membolehkan praktek
> seperti ini, krn setahu ana 'illah dlm masalah risywah (suap) adalah jika
> "uang jasa" itu terkait dgn pekerjaan yg memang telah menjadi kewajiban,
> maka ini termasuk risywah. jazakumullahu khairan.
>
>
> Kalau seles obat sdh terikat gaji dengan perusahaaan obat untuk memasarkan
>> obatnya maka tdk boleh. Tapi kalau perusahaan memang membenarkan yang
>> demikian tdk masalah insya allah. Ali saman
>> Powered by Telkomsel BlackBerry®

>
>


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke