Menarik jika kita melihat komentar saudara akh Hanif. Ana dapat
gambaran yg cukup jelas dari beliau jazakumullahu khairan.
Terlepas bekerja di sebuah instansi pemerintah atau swasta, praktek
dokter saat ini bisa dikategorikan sebagai usaha pribadi, dengan kata
lain sang dokter menjual jasa kepada orang lain. Jika demikian, maka
bonus atau komisi yang diterima tidaklah tergolong risywah atau
ghulul, karena hal itu merupakan apresiasi dari prestasi kerjanya yg
dianggap memuaskan oleh perusahaan farmasi.
Hal itu tidak tergolong risywah ataupun ghulul karena bonus tersebut
tidak terkait dengan pekerjaan dokter tsb di instansi tempat dia
bernaung.
Adapun realita yg dipaparkan oleh akh probo, hal itu terkait dgn
profesionalitas dokter tsb terkait dgn kode etik dokter. jika dia
berbuat seperti itu, maka dia telah berlaku tidak jujur thdp sang
pasien.
wallahu a'lam bish shawab.

Pada tanggal 15/12/10, Hanif <hanif230...@gmail.com> menulis:
> Pertanyaannya, pasien mana yg mau dibohongi dokter saat ini?
>
> Ada dokter yg laku keras dan ada yg nggak laku. Pasien itu kan konsumen. Dia
> akan pilih dokter yg beruptasi baik dan nggak asal pilih.
>
> Dokter yg cerdas, akan tahu obat mana yg cocok utk penyakit X. Dan nggak
> asal comot. Jika dia asal comot utk ngejar target "komisi" dari perusahaan
> farmasi, salah2 dia menjadi dokter yg nggak laku. Apa nggak malah rugi?
>
> Dan sudah jadi rahasia umum kalo si dokter itu laku keras, tarif berapapun
> maka pasien akan tetap mau bayar. Inilah yg dinamakan reputasi. Reputasi itu
> mahal tak ternilai harganya ketimbang komisi perusahaan farmasi.
>
> Dan apakah dokter masa kini itu di-qiyas-kan sbg pegawai ataukah pengusaha?
> Seorg pengusaha A yg telah membeli barang banyak dari pengusaha B, maka
> wajar saja jika si B ingin memberi komisi kepada si A utk menjaga hubungan
> baik. Apakah pengusaha A disuap pengusaha B? Ingat, ini hubungan antar
> pengusaha yg sama2 owner perusahaan.
>
>
>
> hanif
>
>
>
> 2010/12/15 probo nurwachid <probo.abuhamz...@gmail.com>
>
>>
>>
>> Sales obat tentu terikat gaji dg perusahaannya. Dan perusahaanlah yg
>> membayar bonus tsb,bkn dr uang pribadi. Itu memang bagian dana promosi
>> obat. Kalau di consumer good dana itu biasa dialokasikan ke iklan atau
>> hadiah utk toko dg jumlah pembelian tertentu.
>>
>> Masalahnya bkn pd hubungan sales dan perusahaannya,tp tentang boleh
>> tidaknya pihak ketiga memberi bonus ke dokter. Dalam banyak kasus,
>> perusahaan obat bs mendikte dokter dg bonusnya.
>>
>> Perusahaan2 yg bergerak di bidang supplier biasanya jg mengalokasikan
>> dana utk komisi bg bag pengadaan perusahaan kliennya.
>>
>> dalam kode etik kedokteran sebenarnya sdh diatur mengenai bonus tsb.
>> Diantaranya, pembatasan nilainya, bonus hrs berupa sponsor acara
>> ilmiah kedokteran,bkn uang atau barang yg tdk berhubungan dg dunia
>> dokter. Kemudian bonus jg tdk boleh dikaitkan langsung dg pemakaian
>> obat. Artinya tdk boleh memberi bonus 1jt dokternya harus meresepkan
>> 100 ampul antibiotik sebulan. Itu namanya dokter bekerja utk pabrik
>> obat. Aturan tsb dibuat untuk menjaga independensi dokter dlm
>> mengambil keputusan medis. Sejatinya faktor medis dan kemanusiaan lah
>> yg harus dikedepankan.
>>
>> Prakteknya, aturan tsb banyak dilanggar. Kompetisi antar perusahaan
>> farmasi, tingginya target penjualan bertemu dg attitude dokter yg
>> makin kapitalis dan materialis, jadilah praktek semacam itu, sama2
>> untung.
>>
>> Perusahaan farmasi asing dr eropa atau amerika biasanya memang ketat
>> aturannya karena memang di negara asalnya tdk praktek spt itu. Dalam
>> sponsor acara ilmiah misalnya, harus melampirkan bukti registrasi
>> asli, bangkai tiket dan bill hotel asli.
>>
>> Tapi di Indonesia,kl perusahaan farmasi yg ketat spt itu biasanya
>> penjualannya seret. Dokter akan memilih meresepkan obat yg bonusnya
>> besar dan mudah cair. Dan ada saja cara perusahaan farmasi mengakali
>> aturan,mulai dg memalsu invoice tiket atau memanipulasi istilah shg
>> tdk terkesan sebagai bonus/komisi.
>>
>> Yang paling dirugikan adalah pasien, karena merekalah yg hrs membayar
>> resep2 itu. Ditambah lg pd umumnya posisi pasien sgt awam thd obat2an
>> shg percaya sj sm dokter. Kadang dokter meresepkan lbh banyak agar sgr
>> dpt bonusnya atau krn sdh "dikontrak" salah satu merk. Padahal dokter
>> sdh mengutip fee pemeriksaan dr pasien. Seharusnya pasien berhak
>> mendpt advise medis yg jujur dr dokter,tp karena bonus,pasien jd pasar
>> empuk utk kepentingan pribadi. Belum lg,kadang dokter mendapat bonus
>> dr apotek karena banyak pasien dokter tsb yg nebus obat di apotek itu.
>> Dokter dianggap berjasa meningkatkan omzet apotek.
>>
>> Dengan gambaran di atas kiranya akan lbh mudah dlm menarik kesimpulan
>> hukumnya. Mudah2an para ustadz sekalian dimudahkan oleh Allah Ta'ala.
>>
>> probo
>>
>>
>> On 12/15/10, wpugu...@yahoo.co.id <wpuguh_w%40yahoo.co.id> <
>> wpugu...@yahoo.co.id <wpuguh_w%40yahoo.co.id>> wrote:
>> > Afwan, mohon di pilah-pilah...ada juga perusahaan mengharamkan pemberian
>> > bonus dlm bentuk "uang", bahkan ada salah satu perusahaan farmasi yg
>> > mengharamkan kegiatan tersebut karena termasuk penyuapan..sebagai
>> gantinya
>> > perusahaan tersebut mengirim dokter ke symposium dgn tujuan update
>> > sains,
>> > dan pemberian gimmick..
>> >
>> > Salam
>> > Puguh
>> > Sent from my BlackBerry®
>> > powered by Sinyal Kuat INDOSAT
>> >
>> > -----Original Message-----
>> > From: muhammad nur ichwan muslim
>> > <bangich...@gmail.com<bangichwan%40gmail.com>
>> >
>> > Sender: assunnah@yahoogroups.com <assunnah%40yahoogroups.com>
>> > Date: Wed, 15 Dec 2010 14:36:45
>> > To: <assunnah@yahoogroups.com <assunnah%40yahoogroups.com>>
>> > Reply-To: assunnah@yahoogroups.com <assunnah%40yahoogroups.com>
>> > Subject: Re: [assunnah] Bonus untuk dokter
>> >
>> > Bagaimana dengan hukum dokter itu sendiri ustadz? Bolehkah dia menerima
>> uang
>> > tersebut?
>> > Pembenaran itu bentuknya bagaimana, apakah dengan sekedar persetujuan dr
>> > perusahaan yg bersangkutan atau bagaimana?
>> > Saya juga berasal dr kantor pelayanan publik dan tiap tahun ada
>> "pembagian
>> > dr klien" dan "uang jasa" dr kantor konsultan yg menjadi konsumen
>> pelayanan
>> > kami. praktek pemberian "uang jasa" sdh menjadi kebijakan kantor
>> konsultan
>> > tsb (krn sy tanyakan ke bawahan langsung), artinya itu sudah lumrah.
>> > pertanyaanya, apakah hal seperti ini diperbolehkan krn kantor konsultan
>> itu
>> > membenarkan praktek tsb dan memang telah menyediakan anggaran untuk itu
>> atau
>> > bagaimana? mungkin ustadz dapat memberikan dalil2 yg membolehkan praktek
>> > seperti ini, krn setahu ana 'illah dlm masalah risywah (suap) adalah
>> > jika
>> > "uang jasa" itu terkait dgn pekerjaan yg memang telah menjadi kewajiban,
>> > maka ini termasuk risywah. jazakumullahu khairan.
>> >
>> >
>> > Kalau seles obat sdh terikat gaji dengan perusahaaan obat untuk
>> memasarkan
>> >> obatnya maka tdk boleh. Tapi kalau perusahaan memang membenarkan yang
>> >> demikian tdk masalah insya allah. Ali saman
>> >> Powered by Telkomsel BlackBerry®
>>
>> >
>> >
>>
>>
>>
>


-- 
Muhammad Nur Ichwan Muslim
----------------------------------------------
Directorate General of Intellectual Property Rights
Ministry of Justice and Human Rights Republic of Indonesia

+6285228287047
ikhwanmuslim.com


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke