Perjalanan Panjang Menemukan Akhirnya
 
Kartini dianggap sebagai pelopor perjuangan emansipasi di Indonesia. dan
akhir-akhir ini namanya dihubung-hubungkan dengan kata feminisme.
 
Apa yang terlanjur lekat dengan sosok Kartini sebenarnya hanyalah sebagian
proses hidupnya yang gelisah. Akhir proses Ibu Kartini tak banyak
terungkap. Pemikiran pada awal prosesnya-lah yang terlanjur lantang
disuarakan sehingga lekat pada namanya. Padahal, menjelang akhir
hayatnya, Pemikiran kartini telah banyak berubah.
 
KARTINI DULU
 
Ngga bisa disalahkan kalo ada orang yang beranggapan Kartini memperjuangkan
emansipasi, mendobrak adat, dan berkiblat ke Barat, serta mengkritisi
Islam. Pada awalnya, Kartini memang demikian. Inilah contoh
surat-suratnya:
 
“… Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik, orang baik-baik itu 
meniru perbuatan orang yang lebih tinggi pula, dialah orang Eropa” [surat 
kepada Stella, 25 Mei 1899]
 
“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan
aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih.” [surat kepada Ny 
Ovinksoer, 1900]
 
Tidak heran kalo Kartini punya pemikiran demikian. Gimana lagi? Temen 
surat-menyurat Kartini kebanyakan adalah
orang barat yang hendak membaratkan kaum ningrat di Indonesia, dimana
tujuan akhirnya adalah agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap
pemerintah Hindia Belanda pada jaman tersebut. Mari kita simak
teman-teman korespodensi Kartini. siapa sajakah mereka..?.
 
1. J.H. Abendanon
 
Abendon ditugaskan oleh Belanda sebagai Direktur Deptemen Pendidikan, Agama,
dan Kerajinan. Abendon banyak meminta nasihat dari Snouck Hurgronye
(seorang orientalis yang pura-pura masuk Islam untuk mencari cara
mematikan semangat jihad umat islam di Indonesia).
 
Menurut Hurgronye, golongan yang paling keras menentang penjajah Belanda adalah 
golongan Islam. Memasukkan peradaban Barat dalam masyarakat pribumi
adalah cara yang paling jitu untuk mengatasi pengaruh Islam. Tidak
mungkin membaratkan rakyat, kecuali jika ningratnya telah dibaratkan.
Untuk tujuan itu, langkah pertama yang harus diambil adalah mendekati
kalangan ningrat terutama yang menganut agama Islam untuk kemudian
dibaratkan. Dan Hurgronye menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini.
 
2. Stella (Estelle Zeehandelaar)
 
Seorang wanita Yahudi, anggota militan pergerakan feminis di negeri Belanda 
saat itu.
 
3. Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
 
Ia adalah seorang penulis yang mempunyai pendirian humanis dan progresif.
Dialah orang yg paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Pada 
awalnya, ia bermaksud untuk memurtadkan Kartini dengan kedatangannya
seolah-olah sebagai penolong yang mengangkat Kartini dari
ketidakpeduliannya terhadap agama.
 
BERTEMU KYAI SHOLEH DARAT
 
Selain faktor teman buruk, kaum muslim di sekeliling Kartini juga punya
pemahaman yang salah terhadap Islam. Mereka mengajarkan Islam tanpa
memahamkan apa yang diajarkan. coba kita simak surat kartini kepada
stella berikut ini.
 
“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh 
memahaminya. Al Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa 
apapun. Disini tidak
ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang disini belajar membaca Al
Qur’an tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang
gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yg dibacanya.”
[surat kepada Stella, 6 Nov 1899]
 
Perlu diketahui pada
waktu pemerintahan Hindia Belanda umat muslim memang dibolehkan
mengajarkan Al-Qur’an dengan syarat nggak diterjemahin alias cuma
belajar baca huruf arab (pengaruh ini masih dapat kita jumpai saat ini,
dimana belajar Al-Quran dianggap selesai ketika telah mampu membaca
Al-Quran dengan lancar sampai akhir walaupun tidak paham makna-nya
–khataman-). Dan ini memang taktik belanda agar orang-orang Indonesia
tidak paham terhadap Al-quran dan akhirnya mereka tidak akan angkat
senjata kepada penjajah kafir belanda.
 
Suatu ketika
Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu
sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga.
Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama wanita lain dari balik
tabir. Kartini tertarik kepada materi yg sedang diberikan, tafsir Al
Fatihah, oleh Kyai Saleh Darat. Setelah selesai pengajian, Kartini
mendesak pamannya agar bersedia untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh
Darat.
 
Kartini menceritakan bahwa selama hidupnya baru
kali itulah dia sempat mengerti makna dan arti surat Al-Fatihah, yang
isinya begitu indah menggetarkan hati. Kemudian atas permintaan Kartini, Kyai 
Sholeh diminta menerjemahkan Al Qur’an dalam bahasa Jawa di dalam
sebuah buku berjudul Faidhur Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama
yang terdiri dari 13 juz, mulai surat Al Fatihah hingga surat Ibrahim.
Buku itu dihadiahkan kepada Kartini saat dia (Kartini) menikah dengan R. M. 
Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Kyai Sholeh meninggal saat baru menerjemahkan jilid pertama tersebut. Namun,  
hal ini sudah cukup
membuka pikiran Kartini dalam mengenal Islam.
 
Tahu nggak?
Sebenarnya ungkapan Habis Gelap Terbitlah Terang itu sebenarnya Kartini
temukan dalam surat Al Baqarah ayat 257, yaitu firman
Allah“…minazh-zhulumaati ilan-nuur” yang artinya “dari
kegelapan-kegelapan (kekufuran) menuju cahaya (Islam)”. Oleh Kartini
diungkapkan dalam bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht". dan
kemudian oleh Armien pane yang menerjemahkan kumpulan surat-surat
Kartini diungkapkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang"
 
KARTINI KEMUDIAN
 
Kartini yang mulai mengenal Islam pun berubah. Pandangannya terhadap Islam 
menjadi positif.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang
agama Islam patut disukai” [surat kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
 
Kartini kemudian merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan
untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh pejuang
feminisme dan emansipasi saat ini (sebenarnya lebih cocok disebut
sebagai westernisasi), namun agar para wanita lebih cakap menjalankan
kewajibannya sebagai Ibu. Kartini menulis dalam suratnya:
 
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami
yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih
cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke
dalam tangannya: menjadi Ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
[kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Okt 1902]
 
Dan tidak hanya itu, pandangannya terhadap Barat pun berubah. Kartini menulis;
“Dan saya menjawab, Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa
kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin
mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami 
sudah memuja orang dan bukan Allah” [kpd Ny. Abendanon, 12 Okt
1902]
 
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada
taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal yang
indah dalam masyarakat Ibu, terdapat banyak hal-hal yang sama sekali
tidak patut disebut sebagai peradaban?” [surat kepada Ny. Abendanon, 27
Okt 1902]
 
Kartini meninggal dalam usia muda 25 thn, empat hari setelah melahirkan 
putranya. Ia tak sempat belajar Islam lebih dalam. Namun yang patut 
disayangkan, kebanyakan orang mengetahui Ibu Kartini
hanyalah sekedar sebagai pejuang emansipasi wanita. Banyak orang yang
nggak tahu perjalanan Kartini menemukan Islam dan perubahan pola
pikirnya.
 
Semoga tulisan ini dapat menggugah kita untuk
tahu lebih dalam tentang "IBU KITA KARTINI" (dalam upayanya mempelajari
Islam), daripada sekedar peringatan tahunan tanpa makna.
 
Abu Muhammad Herman
(Dari Majalah Elfata)
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=342475750174

Kirim email ke