2012/2/8 <ince.bun...@yahoo.co.id>

> **
>
>
> ‎​​بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
>
> apakah ada landasannya mengganti nama mis ahmad menjadi abu samad,dimana
> nantinya yg dikenal org adalah nama aliasnya.bukankah ini bagian dari dusta.
> Mohon informasinya
>
Bismillah,

Akhil kariim, apa yang antum maksudkan diatas, bukanlah mengganti nama.
Tetapi berkunyah sebagaimana yang disunnahkan oleh syariat Islam.

Ada baiknya kita simak tulisan dibawah ini, mudah2an memberikan faidah
untuk kita semua.

Sumber link :
http://www.alquran-sunnah.com/artikel/murajaa/724-sunnahnya-menggunakan-nama-kunyah.html

*MUQODDIMAH*

Ternyata ada sebagian kalangan yang melecehkan Sunnah “kunyah[1] ”. Penulis
tahu hal ini ketika membaca komentar-komentar di situs kami.  Menurut
mereka: sok Arab, sok alim dan lainnya. Demikianlah sikap dan komentar
sebagian kalangan tentang Sunnah ini. Bagaimanakah sebenarnya hakikat
permasalahannya?! *Insya Alloh* pada kesempatan ini, akan kita bahas
tentang jawabannya. Semoga Alloh *subhanahu wa ta’aala* selalu menambahkan
ilmu yang bermanfaat bagi kita.

*DEFINISI KUNYAH*

Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki,
seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah
untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan bintu Malik.

Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau
diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih
masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk
menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat.[2]

Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan.[3] Seorang
peyair berkata:

أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ

*Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya*
* Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya.*[4]

Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu
Lahab dan lain sebagainya.[5]

*DALIL-DALIL DISYARI’ATKANNYA KUNYAH*

*Hadits Pertama*:

*عَنْ أَنَسٍ قَالَ*: *كَانَ النَبِيُّ **- *صلى الله عليه وسلم*-**أَحْسَنَ
النَّاسِ خُلُقًا*, *وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ*, *قَالَ
أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ*, *وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ*: *يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا
فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟*

Dari Anas *radhiyallahu ‘anhu* ia berkata:

“Nabi *shalallahu ‘alayhi wa sallam* adalah manusia yang paling baik
akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila
Rosululloh *shalallahu ‘alayhi wa sallam* datang, beliau mengatakan, ’Wahai
Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh *Nughoir* (Nughoir adalah sejenis
burung)?’”[6]

Imam Bukhori *rahimahulloh* membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab
kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu
Hajar *rahimahulloh* berkata: “Imam Bukhori mengisyaratkan dalam bab ini
untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum
mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.”[7]

Imam Ibnul Qosh asy-Syafi’i *rahimahulloh* berkata: “Dalam hadits ini
terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum
mempunyai anak.”[8]

*Hadits Kedua*:

*عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ *لِلنَّبِيِّ *- *صلى الله عليه وسلم*-
*: *يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ*, *فَقَالَ
لَهَا رَسُوْلُ اللهِ*: *إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ*, *فَكَانَ
يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ*

Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah *radhiyallahu ‘anha* pernah berkata kepada
Nabi *shalallahu ‘alayhi wa sallam:* “Wahai Rosululloh *shalallahu ‘alayhi
wa sallam*, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka
Rosululloh*shalallahu ‘alayhi wa sallam
* bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah
*radhiyallahu
‘anha* selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah[9] hingga meninggal dunia,
padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”[10]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani *rahimahulloh* berkata: “Hadits ini
menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak. Karena
hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuan kami tidak ada dalam
agama-agama lainnya. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini
baik kaum pria maupun wanita.”[11]

*Hadits Ketiga*:

*أ**َنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى
وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ**. **قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ **-**صلى الله
عليه وسلم**- **بِأَبِى يَحْيَى**.*

“Umar *radhiyallahu ‘anhu* pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau
berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia
menjawab: ‘Rosululloh *shalallahu ‘alayhi wa sallam* yang memberiku kunyah
Abu Yahya.’”[12]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat
faedah disyari’atkan kunyah bagi yang belum mempunyai anak, bahkan dalam
shohih Bukhori dan lainnya bahwa beliau *shalallahu ‘alayhi wa
sallam*memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”

Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin yang melupakan Sunnah ini. Amat
jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai
anak banyak. Apalagi lagi yang belum mempunyai anak?![13]

Syaikh Ahmad al-Banna berkata: “Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya
kunyah bagi anak kecil dan dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan
ini bukanlah suatu kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya
berkunyah dengan selain anaknya. Abu Bakr *radhiyallahu ‘anhu* tidak
memiliki anak yang namanya Bakr, Umar *radhiyallahu ‘anhu* tidak memiliki
anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar *radhiyallahu ‘anhu* tidak memiliki anak
yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.

Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain
sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi* shalallahu ‘alayhi wa
sallam* memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak
harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah
dengan nama anaknya.

Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan kunyah kepada anak kecil sebagai
rasa optimisme bahwa dia akan hidup hingga mempunyai anak dan sebagai
penghindaran diri dari gelar-gelar jelek. Oleh karenanya seorang di antara
mereka mengatakan: “Cepatlah berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum
didahului oleh gelar.” *Wallohu a’lam*.”[14]

*KUNYAH PARA SALAF*

Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah
bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka
merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun
belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahulloh berkata: “Adalah beberapa
sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.”[15]

   1. Ath-Thobroni meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqomah dari Ibnu
   Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam
   memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”
   2. Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah *radhiyallahu
   ‘anhu*: “Abdulloh bin Mas’ud *radhiyallahu ‘anhu* memberiku kunyah
   sebelum aku dikaruniai anak.”
   3. Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah
   *radhiyallahu ‘anhu* diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak
   mempunyai anak.”
   4. Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku
   kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”
   5. Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin
   Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”[16]

Oleh karenanya, semua ini dapat membantah pendapat sebagian kalangan yang
melarang kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak. Jika kita ingin
mengutip semuanya, maka banyak sekali ulama salaf dan ahli hadits yang
memiliki kunyah[17], sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang
membahas tentang kunyah mereka.

Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Murod terhadap kitab
al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau menyebutkan lebih dari tiga puluh
judul kitab tentang kunyah para perawi hadits, di antaranya adalah al-Kuna
oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid),
al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin
Madini dan lain sebagainya.[18]

*KUNYAH DENGAN ABUL QOSHIM*

Rosululloh *shalallahu ‘alayhi wa sallam* menjelaskan mengenai penggunaan
kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qosim,
beliau *shalallahu
‘alayhi wa sallam* bersabda:

*عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ*: *قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ**- *صلى الله
عليه وسلم*-*: *سَمُّوْا بِاسْمِيْ*, *وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ*

Dari Abu Huroiroh *radhiyallahu ‘anhu* berkata, Abul Qosim *shalallahu
‘alayhi wa sallam* berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan
kunyahku.” [19]

Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qosim ini, al-Hafizh
Ibnu Qoyyim *rahimahulloh* berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh
bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul
Qosim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula
menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qosim.”[20]

Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga
hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

___________________________________________________________________
[1] Baca kun-yah. Bukan kunyah.
[2] *Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik* 1/115 dan *al-Qowaid
al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah* hlm. 67 oleh Sayyid Ahmad al-Hasyimi.
[3] Para ulama berselisih pendapat tentang memberi kunyah kepada orang
kafir dan ahli bid’ah. Pendapat yang benar pada asalnya adalah tidak boleh
karena termasuk menghormati mereka, tetapi terkadang diperbolehkan apabila
ada tujuan dan sebab syar’i. (*Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil
Bida’ wal Ahwa’* 2/584 oleh Dr. Ibrohim ar-Ruhaili *hafidzahullah*)
[4] *Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud* hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah *rahimahulloh*.
[5] *Bekal Menanti Si Buah Hati* hlm. 36 oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar
as-Sidawi *hafidzahullah*, cet. Media Tarbiyah, Bogor.
[6] HR. Bukhari 6203, Muslim 2150
*Faedah*: Ibnu Qash asy-Syafi’i *rahimahulloh* di awal kitabnya *Juz fi
Fawaid Hadits Ya Aba Umair*, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela
ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada
faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa
hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah
lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Lihat *Fathul Bari* oleh
Ibnu Hajar 10/716, *Mu’jam al-Mushannafat fi Fathil Bari* oleh Masyhur bin
Hasan *hafidzahullah* hlm. 167-168)
[7] *Fathul Bari* 10/714
[8] *Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair* hlm. 27, Tahqiq Shobir Ahmad
al-Bathowi.
[9] Abdulloh di sini adalah keponakan ‘Aisyah *radhiyallahu ‘anha* yaitu
Abdulloh bin Zubair *radhiyallahu ‘anhu*. Adapun riwayat yang menyebutkan
bahwa ’Aisyah *radhyallahu ‘anha* pernah keguguran anaknya, maka riwayat
ini adalah bathil secara sanad dan matan. (Lihat *Tuhfatul Maudud* hlm. 231
oleh Ibnu Qoyyim *rahimahulloh*, al-Adzkar 2/725 oleh an-Nawawi *
rahimahulloh*, *al-Ijabah* hlm. 41 oleh az-Zarkasyi, *Silsilah
Adh-Dho’ifah*no. 4137 oleh al-Albani
*rahimahulloh*)
[10] HR. Ahmad 6/107, 151, Abu Dawud 4970, Abdur Rozzaq dalam
*al-Mushannaf*19858 dengan sanad shohih, sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh al-Albani
dalam *ash-Shohihah* no. 132
[11] *Silsilah Ahadits ash-Shohihah* 1/257
[12] HR. Ibnu Majah: 3738 dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam *al-Ahadits
al-Aliyat* no. 25 dan dishohihkan al-Albani dalam *ash-Shohihah* no. 44
[13] *Silsilah Ahadits ash-Shohihah* 1/110-111. Lihat pula *Nihayatul Hajah
Fi Syarh Sunan Ibni Majah* 2/1361 oleh as-Sindi dan *Silsilah Atsar
ash-Shohihah* 1/14 oleh Abu Abdillah ad-Dani.
[14] *Bulughul Amani fi Asrori Fathur Robbani* 2/2013. Lihat pula *Tuhfatul
Maudud* hlm. 232 oleh Ibnu Qoyyim dan *Aunul Ma’bud* 13/212 oleh Adzim
Abadi.
[15]* al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah* (5/26278).
[16] Lihat atsar-atsar ini dalam* Fathul Bari* 10/714 oleh Ibnu Hajar
dan *Fadhlullohi
ash-Shomad* 2/677 oleh Fadhlulloh al-Jilani. Dan atsar no. 2 dan 3
dishohihkan al-Albani dalam *Shohih Adab Mufrod* hlm. 228.
[17] Al-Hafizh Khothib al-Baghdadi berkata dalam *al-Jami’ li Akhlak Rowi
wa Adabi Sami*’ 2/77: “Dalam ahli hadits banyak sekali para perawi yang
cukup disebut dengan kunyah mereka tanpa nama dan nasab mereka karena
kemasyhuran mereka dengan kunyah dan tidak dikhawatirkan tercampur dengan
lainnya.”
[18] Lihat* al-Baitsul Hatsits* 2/594 oleh Ahmad Syakir, tahqiq Syaikhuna
Ali Hasan al-Halabi *hafidzahullah*.
[19] HR. Bukhori 3539, Muslim 2134
[20] *Zaadul Ma’ad* 2/347. Lihat perbedaan ‘ulama dalam masalah ini secara
luas beserta dalil-dalilnya dalam *Ahkamul Maulud Fi Sunnah
Muthohharoh*hlm. 95-103 oleh Salim asy-Syibli dan Muhammad Kholifah
ar-Robbah.

Kirim email ke