From: ainul.tho...@gmail.com
Date: Thu, 11 Oct 2012 11:40:12 +0700 



Asalamualaikum ...
Afwan mungkin pertanyaan ini sudah pernah di tampilkan, Praktek: Si Fulan A 
menggadaikan mobilnya sebesar 50 juta rupiah kepada Si Fulan B, kemudian Si 
Fulan B merentalkan mobil tersebut, Sampai Si Fulan A mengembalikan uangnya 
sebesar 50 juta rupiah.
Bagaimana hukum menurut syariat praktek semacam ini ?
Wasalam
Ainul Thoriq
>>>>>>>>>>>>

Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini 
adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum 
syari’at. 
 
Silakan baca penjelasan dibawah ini.
1. Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan 
adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh 
mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa 
kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan 
mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan 
barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan 
besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di 
dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا 
كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ 

“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum 
apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, 
(untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]

Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai 
dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang 
tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan 
yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25] 

Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang 
gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu meupakan miliknya. Ornang 
lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin 
(pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan 
hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti 
peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya 
berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin 
mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari 
penggadai karena sabda Rasulullah.

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ 
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ 
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan 
susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib 
bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberinafkah” [HR Al Bukhori no. 
2512]

Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, 
Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil 
manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ

“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al 
daraquthni dan Al Hakim]
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2113/slash/0/memanfaatkan-barang-gadai/
 
2. Contoh lainnya adalah Gadai Sawah/Ladang
Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat 
pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini 
mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka 
menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh 
tempo, debitor (penghutang) berkewaji ban mengembalikan utangnya dengan utuh 
tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak 
dilakukan oleh masyarakat.

Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa 
masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, 
karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga 
haram secara hukum syari’at. 

Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat 
al-Baihaqi 5/350]

Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin 
Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh 
al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang 
mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang 
sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya 
sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 
29/334
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/3270/slash/0/menyewakan-tanah-pertanian/
 
Wallahu Ta'ala A'lam


                                          

Kirim email ke