APA DAN KEMANA PENDIDIKAN ISLAM?
Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin
http://almanhaj.or.id/content/2677/slash/0/apa-dan-kemana-pendidikan-islam/

Prakata
Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa 
tujuan pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa 
pengertian dan hakikat tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh 
pemeluknya melalui proses tarbiyah. 

Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta 
pemeliharaan Allah yang diberikan kepada para waliNya hingga mereka menjadi 
makin sempurna dalam keimanan dan terjaga dari penghalang-penghalang keimanan. 
Allah adalah Rabbul-'Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah 
pentarbiyah dan murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]

Kedua, tarbiyah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dengan 
penyampaian-penyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang 
menjadi semakin memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab 
mengamalkannya. 

Begitulah, umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan 
hasil didikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang menjadi muslim 
yang baikpun melalui proses pendidikan.

Tarbiyah, menurut Syaikh Abdurrahman Albaaniy rahimahullah yang dinukil oleh 
Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali bin Abdul Hamid al-Halabiy [2], adalah sebagai 
berikut:

”Kata tarbiyah terpulang pada tiga asal kata, yaitu :

Pertama, 

رَبَا - يَرْبُوْ 

(Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.

Kedua,

رَبِيَ - يَرْبَى

(Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang

Ketiga,

رَبَّ – يَرُبُّ

(Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan memelihara.

Dalam Lisân al-‘Arab, karya Ibn Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang 
asal kata yang pertama):

رَبَا الشَّيْءَ يَرْبُوْ رَبْوًا وَ رِبَاءً

Rabâsy-Syai’u Yarbû Rabwan wa Ribâ’an; artinya: sesuatu itu bertambah dan 
tumbuh.

Arbaituhu, artinya : aku menumbuhkannya.

Dalam al-Qur’an al-Kariim, Allah berfirman :

وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

"Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah". [al-Baqarah/2:276]. 

Dari makna inilah diambil pengertian Riba yang haram. Allah berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو 
عِنْدَ اللَّهِ

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta 
manusia, maka riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah". 
[ar-Rûm/30:39].[3] 

Al-Ashma’iy berkata:

قَدْ رَبَوْتُ فِى بنى فُلاَنٍ أَرْبُوْ 

Artinya : Aku tumbuh (terbentuk) di tengah keluarga Bani Fulan.

Sedangkan kalimat:

رَبَّيْتُ فُلاَنًا أُرَبِّيْهِ تَرْبِيَةً

Rabbaitu Fulânan – Urabbhi – Tarbiyatan, artinya: Aku menumbuh kembangkan 
(mentarbiyah/mendidik) Fulan.[4] 

Adapun tentang asal kata : Rabba – Yarubbu, maka dalam Lisân al’Arab, Ibnu 
Manzhûr mengatakan: Rabba Waladahu wash-Shabiyya – Yarubbuhu – Rabban. Wa 
Rabbabahu – Tarbîban wa Taribbatan; maknanya: memperbaiki, mengurus dan 
memelihara seorang anak.

Dalam hadits disebutkan: 

هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا. رواه مسلم

"Apakah engkau mempunyai suatu kesenangan padanya yang dapat engkau 
pelihara?".[5]

Maksudnya, (apakah engkau mempunyai) suatu kesenangan darinya yang dapat engkau 
jaga, engkau pelihara dan engkau tumbuh kembangkan seperti halnya seseorang 
menjaga dan menumbuhkembangkan anaknya?[6]

Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan 
penjelasan berikut: Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk 
sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata ar-Rabbu 
merupakan mashdar (kata dasar) yang dipinjam untuk digunakan sebagai fa’il 
(pelaku perbuatan).

Sedangkan dalam al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba 
al-Amra, artinya memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara 
seorang anak hingga dewasa. 

Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa 
Rubiyyan, artinya aku terbentuk pada asuhannya.

Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju 
pengertian secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab 
Tafsir-nya yang bernama Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl:
Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada 
kesempurnaannya sedikit demi sedikit. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala 
disifati dengan kata Rabb ini untuk menunjukkan mubalaghah (sangat sempurna 
dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi sempurna, Pen.).

Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa 
ar-Rabb asalnya dari kata tarbiyah, yang maknanya, membentuk sesuatu setahap 
demi setahap hingga mencapai kesempurnaan.

Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Azza wa Jalla, karena 
Dia-lah al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia 
pula yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang dan bekerjanya 
fitrah serta bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan 
syari’at agar fitrah-fitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus dan menjadi 
berbahagia.

2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syari’at 
Ilahi dan selaras dengan hukum-hukum syari’at Ilahi.

3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap 
yang satu berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi 
dasar bagi persiapan tahap berikutnya.

4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan 
Allah, dan harus mengikuti syari’at serta hukum-hukum Allah”. Demikian secara 
ringkas apa yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabiy dari Syaikh 
'Abdur-Rahman al-Albaniy dalam bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i 
al-Islam; hlm. 7-13.

Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan 
dengan menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan 
syari’at Islam untuk maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi 
pemimpin di muka bumi dengan kepemimpinan yang di atur berdasarkan peribadatan 
hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja secara sempurna. Sudah barang tentu 
kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus menerus menjaga 
manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami 
persoalan-persoalan bid’ah (untuk dihindari), kemudian selalu memperhatikan 
tata cara penerapannya. [7]

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan: 
“Asas-asas tarbiyah dalam masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan 
aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang mulia dan adab-adab yang tinggi. Hal 
ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan Rabb-nya, dengan 
pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya dan kemudian 
dengan lingkungan keluarganya”.[8]

Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga 
hal penting:

Pertama : Tarbiyah harus memusatkan perhatiannya untuk membangkitkan aqidah 
tauhid serta membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid’ah dan penyimpangan 
sebagai pendahuluan agar ummat kelak mampu memikul Islam kembali.

Kedua : Parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada 
landasan Al-Qur`ân dan Sunnah, terjalin dengan praktik keseharian para Salaf, 
serta terbangun kembali semangat generasi umat untuk menggali Al-Qur`ân dan 
Sunnah hingga mampu memahami dan mengambil istinbath hukum. Tentu saja dengan 
mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman Salafush-Shalih dan terus 
berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani yang benar-benar menguasai Al-Qur`ân 
dan Sunnah.

Ketiga : Tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi 
pengarahan kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya 
selalu berkaitan erat dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang 
menyangkut keyakinan, norma, tadisi, hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum 
dan lain-lain.”[9] 

Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan 
tarbiyahpun menjadi jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun 
secara bersama-sama menjadi umat yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, 
memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan ketentuan Allah, menjauhi segala macam 
bid’ah, khurafat, kemaksiatan serta penyimpangan-penyimpangan lain, sehingga 
berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih penting di 
akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai 
dengan tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan 
kehidupan akhirat daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat 
dan sukses di akhirat. Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi 
tergantung padanya. 

Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non 
formal, berorientasi pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa 
berpedoman pada petunjuk-petunjuk yang berladaskan Al-Qur`ân dan Sunnah dengan 
pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa berkonsultasi dengan para Ulama 
Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat sesungguhnya sesudah 
nabinya. 

Karena itulah, berkaitan dengan hadits :

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه 
وغيرهم

"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi". [10] 

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan :
Di dalamnya terdapat sesuatu yang harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu 
hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya seorang ayah mendidik anaknya. 
Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap dan meningkat dari ilmu 
yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka membawa umat secara 
bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah terhadap 
anaknya ketika menyuapkan makanan.[11] 
Wallahu A’lam.

Maraji’:
1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti 
al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, 
Cetakan II, 1414 H (sebagai rujukan utama).
2. Lisân al-‘Arab, Tashîh: Amin Muhammad 'Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq 
al-‘Abyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-‘Arabi dan Mu’assasah at-Târîkh al-‘Arabi, 
Beirut, Libanon, Cetakan III, Tahun 1419 H/1999 M.
3. Majalah As-Sunnah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
4. Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, karya 
Ibnu al-Qayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr 
Abu Zaid, Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh & Dâr Ibnu ‘Affân, Kairo, Cetakan I, Tahun 
1425 H/2004 M.
5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 
tanpa tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, 
Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M.
7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan II 
dari cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I 
dari cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma’ârif, Cetakan I 
dari cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân 
bin Nashir as-Sa’di

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân Syaikh Abdur-Rahmân 
bin Nashir as-Sa’diy, Tafsir Surat al-Fâtihah. Lihat pula yang senada dengan 
itu di Majalah As-Sunnah, edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M, rubrik 'Aqidah, hlm. 
37, kolom 2.
[2]. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî isti’naafi al-Hayâti 
al-Islamiyati, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, hlm. 95-99. 
[3]. Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, Tashîh: Amin Muhammad 'Abdul-Wahab dan 
Muhammad ash-Shâdiq al-‘Abyadiy, V/126.
[4]. Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/128.
[5]. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Kitab al-Adab wal 
Birri wash-Shilah, Bab: Fadhlu al-Hubbi Fillâh, no. 6495 - XVI/340. 
[6]. Lisân al-‘Arab, mâddah rabâ, V/96
[7]. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti 
al-Islamiyati, hlm. 100. Dinukil oleh penulis serta ditambah dengan yang ada 
pada foot note dengan bahasa bebas.
[8]. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, 
tanpa tahun – dari Silsilah at-Taujîhiyyât, no. 17. hlm. 9 di bawah sub judul 
Muhimmah al-Murabbi an-Nâjih.
[9]. Disimpulkan dengan bahasa bebas dari at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa 
Atsaruhuma fî Isti’nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, hlm. 101.
[10]. Hadits shahîh. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud (II/407), Kitab al-‘Ilmi, no. 
3641, Shahîh Sunan at-Tirmidzi (III/71), Kitab al-‘Ilmi, no. 2682, dan Shahîh 
Sunan Ibni Majah (I/92), Muqadimah, no. 183.
[11]. Miftâh Dâr as-Sa’âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-‘Ilmi wa al-Irâdah, 
Ibnu al-Qayyim, Taqdîm : Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja’ah: Syaikh Bakr 
Abu Zaid, I/262.                                      

Reply via email to