From: d_q...@yahoo.com
Date: Mon, 14 Jan 2013 06:35:29 +0000
  



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

Masih sesuai topik,(Keuangan suami istri dlm RMH TANGGA) ana minta penjelasan 
yg syar'i mengenai penghasilan istri,apakah wajib diket.suami?dan dlm 
menggunakannya apakah hrs diket.suami?
Jazakalloh,
Wassalam
>>>>>>>>>>
 
Sekedar untuk mengetahui penghasilan istri tentunya diperbolehkan. Namun yang 
perlu diperhatikan adalah penghasilan isteri (harta istri) adalah milik 
pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, 
tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya

HASIL KERJA ISTERI, 100 % MILIKNYA
Melalui keterangan tentang mahar yang menjadi hak milik penuh isteri, yang 
harus ia terima dari suaminya, jawaban tentang pertanyaan di awal tulisan ini 
sebenarnya sudah tersibak. Kalau dalam mahar, dalam kondisi apapun, isteri akan 
memperolehnya, apalagi uang yang merupakan hasil dari jerih-payahnya. 

Oleh karena itu, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya 
dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. 
Sang suami, ia tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut. Kelemahan 
fisik atau statusnya sebagai isteri, tidak berarti boleh "merampas" hak 
miliknya, atau memanfaatkan menurut kemauannya.

Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami 
yang mengambil uang (harta) milik isterinya[8], untuk digabungkan dengan 
uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, 
tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia 
miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain 
sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling 
berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan 
pihak lainnya.[9]

BOLEH DIMANFAATKAN, DENGAN SYARAT
Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama 
seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan 
keridhaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya 
pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal 
bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ 
مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai 
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu 
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) 
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 
4]. 

Ayat di atas, adalah ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali 
wanita. Inilah pendapat yang shahih.[10]

Syaikh 'Abdur Rahman as Sa'di di dalam tafsirnya menuliskan, ketika banyak 
orang (suami, Pen.) berbuat aniaya kepada kaum wanita dan merampas hak-hak 
mereka -terutama mas kawin- yang berjumlah banyak dan diserahkan sekaligus, 
dirasakan berat untuk diberikan kepada isteri, maka Allah memerintahkan para 
suami untuk tetap memberikan mahar kepada isteri. 

Apabila para isteri mengizinkan bagi kalian (para suami) dengan ridha dan 
kerelaan, yaitu menggugurkan sebagian darinya, atau menunda, atau diganti 
dengan yang lain, maka tidak masalah bagi kalian (para suami). 

Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa wanita mempunyai wewenang dalam 
pengelolaan terhadap hartanya -meskipun dengan menyedekahkannya- apabila ia 
sudah berpikir dewasa. Jika belum demikian (belum bisa bepikir secara dewasa, 
Pen.) maka pemberiannya tidak ada dampak hukumnya, dan bagi walinya, tidak ada 
hak sedikit pun atas mahar yang dimilikinya.[11]

Penegasan tentang terpeliharanya harta (dan darah serta kehormatan), juga telah 
disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam momen yang sangat 
istimewa, yaitu pada haji Wada'. Menjadikan kedudukan harta laksana kehormatan 
hari raya Idul Adh-ha, bulan Dzul Hijjah dan kota Mekkah. 

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, pada asalnya, darah, harta dan 
kehormatan kaum Muslimin diharamkan untuk direbut oleh sebagian yang lain. 
Tidak halal, kecuali dengan izin Allah dan RasulNya. Nabi Shallallahu 'alaihi 
wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ 
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا 

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, haram atas 
kalian seperti kehormatan hari ini, tempat ini dan di bulan ini". [HR al 
Bukhari, 1741, dan Muslim, 1679, dari Abu Bakrah].

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ 

"Setiap muslim terhadap muslim (lainnya) haram darahnya, hartanya dan 
kehormatannya". [HR Muslim dari Abu Hurairah].[12] 

Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : "Saya 
telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan 
ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?" 

Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar 
ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala 
sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila 
engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah 
Subhanahu wa Ta'ala :

طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu 
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) 
yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].[13] 

Dia tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka 
hatinya. Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak 
sah.
Selengkapnya baca di 
http://almanhaj.or.id/content/2625/slash/0/bolehkah-suami-memakan-gaji-isteri/
 
Wallahu Ta'ala A'lam


                                          

Kirim email ke