*Bagaimana Para Ulama Menjaga Hadits*

http://cintasunnah.com/bagaimana-para-ulama-menjaga-hadits/

Allah telah berjanji untuk menjaga Adz Dzikra dalam firman-Nya :

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz Dzikra dan kamilah yang akan
menjaganya”. (QS Al Hijir : 9).

Dan masuk ke dalam makna Adz Dzikra adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam karena Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lain :

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون

“Dan Kami telah menurunkan Adz Dzikra agar engkau menjelaskan kepada mereka
apa yang diturunkan kepada mereka dan agar mereka berfikir”. (QS An Nahl :
44).

Ayat ini menunjukkan bahwa Adz Dzikra yang dimaksud adalah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia berfungsi menjelaskan Al Qur’an yang
diturunkan kepada mereka.         Di antara cara Allah menjaga hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan adanya sanad yaitu rantai perawi
yang menyampaikan kepada matan hadits, oleh karena itu perhatian para ulama
terhadap sanad hadits sangat besar. Abdullah bin Mubarak rahimahullah
berkata:

*الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا
شَاءَ*

“Sanad itu termasuk agama, kalau bukan karena sanad orang akan seenaknya
menisbatkan (kepada Nabi) apa yang ia mau”.[1]

Para ulama telah menyingsingkan lengan mereka bersungguh-sungguh membela
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka memeriksa sanad-sanad
hadits dengan cara yaitu :

*Pertama *: Mengenal sejarah perawi hadits.

Maksudnya adalah nama, kunyah, gelar, nisbat, tahun kelahiran dan kematian,
guru-guru dan muridnya, tempat-tempat yang dikunjunginya, dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan sejarah perawi tersebut, sehingga dari
sini dapat diketahui sanad yang bersambung dengan sanad yang tidak
bersambung seperti mursal[2], mu’dlal[3], mu’allaq[4], munqathi’[5] dan
diketahui pula perawi yang majhul ‘ain[6] atau hal[7] juga kedustaan
seorang perawi.

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: “Ketika para perawi menggunakan
dusta, maka kami gunakan sejarah untuk (menyingkap kedustaan) mereka”.[8]

‘Ufair bin Ma’dan Al kila’I berkata: “Datang kepada kami Umar bin Musa di
kota Himish, lalu kami berkumpul kepadanya di masjid, maka ia berkata:
“Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yang shalih, ketika
ia telah banyak berkata demikian, aku berkata kepadanya: “Siapakah syaikh
kami yang shalih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya”.

Ia berkata: “Khalid bin Ma’dan”.

Aku berkata: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya ?”

Ia menjawab: “Tahun 108H”.

Aku berkata: “Di mana engkau bertemu dengannya ?”

Ia menjawab: “Di perang Armenia”.

Aku berkata kepadanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan
berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104H dan tadi engkau
mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108H, dan aku tambahkan lagi untukmu
bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang
melawan Romawi”.[9]

Abul Walid Ath Thayalisi berkata: “Aku menulis dari Amir bin Abi Amir Al
Khozzaz, suatu hari ia berkata: “Haddatasana ‘Atha bin Abi Rabah”.

Aku berkata kepadanya: “Tahun berapa engkau mendengar dari ‘Atha ?”

Ia menjawab: “Pada tahun 124H”.

Aku berkata: “‘Atha meninggal antara tahun 110-119H”.[10]

*Kedua* : Memeriksa riwayat-riwayat yang dibawa oleh perawi dan
membandingkannya dengan perawi lain yang tsiqah (terpercaya) baik dari sisi
sanad maupun matan.

Dengan cara ini dapat diketahui kedlabitan (penguasaan) seorang perawi
sehingga dapat divonis sebagai perawi yang tsiqah atau bukan, dengan cara
ini pula dapat diketahui jalan-jalan sebuah periwayatan dan matan-matannya
sehingga dapat dibedakan antara riwayat yang shahih, hasan, dla’if, syadz
[11], munkar[12], mudraj[13], juga dapat mengetahui illat (penyakit) yang
dapat mempengaruhi keabsahan riwayatnya dan lain sebagainya. Diantara
contohnya adalah :

Khalid bin Thaliq bertanya kepada Syu’bah: “Wahai Abu Bistham, sampaikan
kepadaku hadits Simak bin Harb mengenai emas dalam hadits ibnu Umar”.

Ia menjawab: “Semoga Allah meluruskanmu, hadits ini tidak ada yang
meriwayatkannya secara marfu’[14] kecuali Simak”.

Khalid berkata: “Apakah engkau takut bila aku meriwayatkannya darimu ?”

Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi Qatadah menyampaikan kepadaku dari Sa’id
bin Musayyib dari ibnu Umar secara mauquf[15], dan Ayyub mengabarkan
kepadaku dari Nafi’ dari ibnu Umar secara mauquf juga, demikian juga Dawud
bin Abi Hindin menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Jubair secara mauquf
juga, ternyata dimarfu’kan oleh Simak, makanya aku khawatir pada
(riwayat)nya”.[16]

Kisah ini menunjukkan bahwa para ulama hadits mengumpulkan semua
jalan-jalan suatu hadits dan membandingkan satu sama lainnya dengan melihat
derajat ketsiqahan para perawi; mana yang lebih unggul dan mana yang tidak
sehingga dapat diketahui penyelisihan seorang perawi dalam periwayatannya,
dan ini sangat bermanfaat sekali untuk menyingkap illat (penyakit) sebuah
hadits dan kesalahan-kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits.

Yahya bin Ma’in pernah datang kepada ‘Affan untuk mendengar kitab-kitab
Hammad bin Salamah, lalu ‘Affan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak
pernah mendengarnya dari seorangpun ?”

Ia menjawab: “Ya, Aku mendengar dari tujuh belas orang dari Hammad bin
Salamah.

‘Affan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menyampaikannya kepadamu”.

Berkata Yahya: “Ia hanya mengharapkan dirham”. Lalu Yahya bin Ma’in pergi
menuju Bashrah dan datang kepada Musa bin Isma’il, Musa berkata kepadanya:
“Apakah engkau tidak pernah mendengar kitab-kitabnya dari seorangpun ?”

Yahya menjawab: “Aku mendengarnya dari tujuh belas orang dan engkau yang
kedelapan belas”.

Ia berkata: “Apa yang engkau lakukan dengan itu ?”

Yahya menjawab: “Sesungguhnya Hammad bin Salamah terkadang salah maka aku
ingin membedakan antara kesalahannya dengan kesalahan orang lain, apabila
aku melihat ashhabnya (para perawi yang sederajat dengannya) bersepakat
pada sesuatu, aku dapat mengetahui bahwa kesalahan berasal dari Hammad, dan
apabila mereka semua bersepakat meriwayatkan sesuatu darinya namun salah
seorang perawi darinya menyalahi periwayatan perawi-perawi lain yang
sama-sama meriwayatkan dari Hammad, aku dapat mengetahui bahwa kesalahan
itu dari perawi tersebut bukan dari Hammad, dengan cara itulah aku dapat
membedakan kesalahan Hammad dengan kesalahan orang lain terhadap Hammad”.
[17]

Subhanallah ! demikianlah Allah menjaga agama ini dengan adanya para ulama
yang amat semangat dalam menelusuri periwayatan hadits dan membedakan
antara periwayatan yang benar dari periwayatan yang salah. Dengan
mengumpulkan jalan-jalan hadits dapat diketahui pula mutaba’ah[18] dan
syawahid[19] serta kesalahan matan[20] hadits yang bawakan oleh seorang
perawi.

Abu Hatim Makki bin Abdan berkata: “Aku mendengar Muslim bin Hajjaj
berkata: “(contoh) kabar yang dinukil namun salah dalam matannya :
Haddatsani Al Hasan Al Hulwani dan Abdullah bin Ubaidullah Ad Darimi,
keduanya berkata: “Haddatsana Ubaidullah bin Abdul Majid haddatsana Katsir
bin Zaid, haddatsani Yazid bin Abi Ziyad dari Kuraib dari ibnu Abbas ia
berkata: “Aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring di atas panjangnya bantal dan aku
berbaring pada lebarnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bangun dan berwudlu sedangkan kami masih tidur, kemudian beliau berdiri
shalat. Akupun berdiri di sebelah kanannya, maka beliau menjadikan aku di
sebelah kirinya…Al Hadits.

Muslim berkata: “Kabar ini salah dan tidak mahfudz (syadz), karena
banyaknya kabar-kabar yang shahih yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat
yang menyebutkan bahwa ibnu Abbas berdiri di sebelah kiri Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lalu dipindahkan ke sebelah kanan beliau dan ini
menyelisihi kabar tadi. Demikian pula sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam seluruh kabar dari ibnu Abbas bahwa seseorang berdiri di
sebelah kanan imam bukan disebelah kirinya”.

Beliau berkata lagi: “Insya Allah kami akan menyebutkan periwayatan ashhab
(para perawi yang meriwayatkan) dari Kuraib dari ibnu Abbas, kemudian
setelah itu kami akan menyebutkan para perawi yang meriwayatkan dari ibnu
Abbas yang sesuai dengan riwayat Kuraib :

Haddatsana ibnu Abi Umar haddatsana Sufyan dari Amru bin Dinar dari Kuraib
dari ibnu Abbas bahwa ia bermalam di rumah Maimunah, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di waktu malam dan berwudlu. Ibnu Abbas
berkata: “Lalu aku bangun dan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian aku datang dan berdiri di
sebelah kirinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan aku di
sebelah kanannya.

Dan Makhramah bin Sulaiman meriwayatkan dari Kuraib demikian.

Dan Salamah bin Kuhail dari Abu Risydin.

Dan Salamah dari Kuraib.

Dan Salim bin Abil ja’ad dari Kuraib.

Dan Husyaim dari Abu Bisyir dari Sa’id bin Jubair dari ibnu Abbas.

Dan Ayyub dari Abdullah dari ayahnya.

Dan Al Hakam dari Sa’id bin Jubair.

Dan ibnu Juraij dari ‘Atha.

Dan Qais bin Sa’ad dari ‘Atha.

Dan Abu Nadlrah dari ibnu Abbas.

Dan Asy Sya’bi dari ibnu Abbas.

Dan Thawus dari Ikrimah dari ibnu Abbas.

Muslim berkata: “Maka dengan apa yang kami sebutkan ini dari kabar-kabar
yang shahih dari Kuraib dan semua perawi dari ibnu Abbas, menjadi jelas
kesalahan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memindahkan ibnu Abbas ke sebelah kirinya”.[21]

*Ketiga* : Merujuk buku asli perawi hadits.

Cara ini digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kebenaran seorang
perawi yang mengaku mendengar dari seorang syaikh, mereka meneliti dengan
seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa juga kertasnya, tintanya
dan tempat penulisannya.

Zakaria bin Yahya Al Hulwani berkata: “Aku melihat Abu Dawud As Sijistani
telah memberikan tanda kepada hadits Ya’qub bin Kasib di punggung kitabnya,
maka kami bertanya mengapa ia melakukan itu?

Ia menjawab: “Kami melihat di musnadnya hadits-hadits yang kami ingkari,
lalu kami meminta buku aslinya namun ia menolak, beberapa waktu kemudian ia
mengeluarkan bukunya, ternyata kami dapati hadits-hadits tersebut tampak
dirubah dengan (bukti) tinta yang masih baru yang tadinya hadits-hadits
tersebut mursal tetapi ia menjadikannya musnad[22] dan diberikan tambahan
padanya”.[23]

*Keempat* : Memeriksa lafadz dalam menyampaikan hadits.

Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai
dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut, bila ia mendengar langsung
dari mulut syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya hadits, biasanya
digunakan lafadz “Haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid kepada Syaikh
biasanya menggunakan “Akhbarona” atau “Anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz
yang menunjukkan bahwa si perawi mendengar langsung dari Syaikh, dan ada
juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar langsung atau
tidak, seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si
fulan), lafadz seperti ini bisa dihukumi bersambung dengan dua syarat :

1. Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya, seperti ia satu
zaman dengan syaikhnya dan lain-lain.

2. Perawi tersebut bukan mudallis[24].

Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap
tidak bersambung atau lemah.

*Kelima* : Memeriksa ketsiqahan perawi-perawi hadits.

Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting[25] yaitu :

   1. Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya, atau yang disebut
   dalam ilmu hadits dengan ‘adaalah (adil).

Perawi yang adil menurut istilah ahli hadits adalah seorang muslim, baligh
dan berakal, selamat dari sebab-sebab kefasiqan dan khowarim al muru’ah
(adab-adab yang buruk). Dan sebab-sebab kefasiqan ada dua yaitu maksiat dan
bid’ah. Dan kefasiqan yang merusak seorang perawi adalah fasiq karena
maksiat (dosa besar) seperti minum arak, berzina, mencuri dan lain-lain.

Adapun bid’ah, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, diantara
mereka ada yang menolak perawi ahlul bid’ah secara mutlak, dan diantara
mereka ada yang menerimanya selama tidak menghalalkan dusta dan diantara
mereka ada yang memberikan perincian-perincian tertentu seperti tidak
menyeru kepada bid’ahnya, tidak meriwayatkan hadits yang mendukung
bid’ahnya, dan lain-lain.

Namun bila kita perhatikan secara cermat bahwa sifat perawi yang diterima
adalah kejujuran perawi (tidak menghalalkan dusta), amanah dan terpecaya
agama dan akhlaknya. Dan bila kita periksa keadaan perawi-perawi yang
melakukan bid’ah, banyak diantara mereka yang mempunyai sifat demikian dan
mereka melakukan bid’ah bukan karena sengaja melakukannya atau
menganggapnya halal, akan tetapi karena adanya ta’wil (syubhat) sehingga
periwayatannya diterima oleh para ulama, berbeda jika si perawi mengingkari
perkara agama yang mutawatir dan bersifat pasti dalam agama (dlaruri) atau
meyakini kebalikannya, maka perawi seperti ini wajib ditolak periwayatannya
[26]. Saya akan sebutkan beberapa perawi yang melakukan bid’ah namun
diterima haditsnya :

Muhammad bin Rasyid, Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Tsiqah dan ia
qadari (pengikut qadariyah[27]).[28]

Aban bin Taghlib, perawi yang tsiqah, dianggap tsiqah oleh imam Ahmad dan
Yahya bin Ma’in, dikatakan oleh ibnu ‘Adi: “Ekstrim dalam syi’ah”. Adz
Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah yang ekstrim namun shaduq (sangat jujur), maka
untuk kita riwayatnya dan untuk dia kebid’ahannya”.[29]

Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani tsiqah hafidz namun mempunyai keyakinan
syi’ah.

Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad, dianggap tsiqah oleh ibnu Ma’in
dan lainnya. Abu Dawud berkata: “Tsiqah menyeru kepada aqidah murji’ah”.[30]

Muhamad bin Imran Abu Abdillah Al Marzabani Al Katib shaduq tetapi ia
mu’tazilah yang keras.[31]



*Bagaimana mengetahui keadilan perawi.*

Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan
salah satu dari dua cara, yaitu :

*Pertama* : Terkenal keadilannya.

Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak
yang memujinya sebagai perawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini
sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada saksi dan bukti, seperti
imam yang empat, Syu’bah, Sufyan bin ‘Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya
bin Ma’in dan lain-lain.

*Kedua* : Pernyataan dari seorang imam.

Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta’dil) kecuali dari seorang
imam yang faham maka diterima ta’dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh
(celaan) yang ditafsirkan.[32]



   1. Periwayatan yang ia riwayatkan apakah ia menguasainya atau tidak,
   atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan istilah dlabth dan itqan.

Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui
kedlabitan perawi, yaitu:

   1. Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain
   yang terkenal ketsiqahan dan kedlabitannya.

Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan
periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit
atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dlabit.

Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang
tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak
boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut
mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari
buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.

   1. Menguji perawi.

Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan
membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya
periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang
tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya.
Diantaranya juga adalah membolak balik matan dan sanad sebagaimana yang
dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama
mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan sebagian lagi
melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar
rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus
menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak
dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi
dengan waktu yang cepat.[33]

------------------------------

[1] Muslim dalam muqadimah shahihnya.

[2] Mursal adalah perkataan Tabi’in: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam
bersabda atau berbuat begini…”

[3] Mu’dlal adalah sanad yang digugurkan dua perawinya secara beruntun di
akhir sanad.

[4] Mu’allaq adalah sanad yang digugurkan seorang perawi atau lebih secara
beruntun di awal sanadnya.

[5] Munqathi’ adalah sanad yang terputus baik di awal, ditengah atau di
akhirnya.

[6] Majhul ‘ain adalah perawi yang meriwayatkan darinya hanya seorang dan
tidak ada ulama yang memujil dan mencelanya.

[7] Majhul hal adalah perawi yang meriwayatkan darinya hanya dua orang dan
tidak ada pujian dan celaan dari para ulama.

[8] Al Kifayah hal 119.

[9] Al Kifayah hal 119.

[10] Mizanul I’tidal 2/360.

[11] Syadz adalah periwayatan perawi yang maqbul (diterima) yang
bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih kuat darinya.

[12] Munkar adalah bersendiriannya seorang perawi yang lemah dalam
meriwayatkan sebuah hadits atau menyalahi periwayatan perawi lain yang
tsiqah.

[13] Mudraj adalah adanya tambahan yang bukan dari hadits, dan mudraj ini
dapat diketahui dengan keberadaan tambahan tersebut secara terpisah dalam
riwayat yang lain, atau pernyataan langsung dari perawi yang
meriwayatkannya, atau pernyataan dari imam yang mengetahuinya, atau
mustahil tambahan tersebut diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

[14] Marfu’ artinya meriwayatkannya sampai kepada Rosulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.

[15] Mauquf artinya meriwayatkannya sampai kepada shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.

[16] Muqadimah Al Jarhu watta’dil hal 158. Beliau khawatir riwayat Simak
adalah periwayatan yang salah karena menyelisihi periwayatan perawi-perawi
lain yang lebih tsiqah sehingga menjadi syadz.

[17] Lihat Manhaj Naqd ‘iendal muhadditsin karya Dr Muhammad Mushtafa Al
A’dzami hal 69.

[18] Mutaba’ah artinya Jalan lain dari sebuah sanad yang shahabatnya sama
dan bertemu dengan sanad pertama dari awal sanad (mutaba’ah sempurna) atau
di tengah sanad (mutaba’ah qashirah).

[19] Syawahid artinya jalan lain dari sebuah hadits dengan shahabat yang
berbeda, dimana matannya sama atau semakna.

[20] Matan adalah ujung sanad berupa perkataan Nabi atau shahabat atau
lainnya.

[21] At Tamyiz hal 183-185 tahqiq Dr Muhamad Mushtafa Al A’dzami.

[22] Musnad artinya bersambung sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.

[23] Mizanul I’tidal 1/451.

[24] Mudallis adalah perawi yang suka menggugurkan perawi yang lemah dari
sanad antara ia dengan syaikhnya yang tsiqah dan banyak mengambil hadits
dari syaikh tersebut, atau menggugurkan perawi yang lemah diantara dua
syaikh yang tsiqah yang bertemu satu dengan lainnya agar terlihat sanadnya
bersih dan tidak cacat.

[25] Manhaj Naqd ‘iendal muhadditsin hal 20.

[26] Lihat An Nukat ‘ala Nuzhatinadzar hal 137.

[27] Qadariyah adalah firqah sesat yang mengatakan bahwa taqdir tidak ada
dan bahwa segala sesuatu tidak ditaqdirkan oleh Allah.

[28] Al Mughni 1/6.

[29] Mizanul I’tidal 1/5.

[30] Al Mughni 2/403.

[31] Al Mughni 2/620.

[32] Dlawabith Jarh watta’dil hal 21-22.

[33] Lihat Dlawabith Al Jarh watta’dil hal 35-37.

Kirim email ke