SHALAT RAGHAIB

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/3090/slash/0/shalat-raghaib/

Membicarakan tentang shalat Raghaib, tidak bisa dipisahkan dengan bulan Rajab. 
Karena, orang-orang yang mengamalkan shalat Raghaib, mereka melakukannya pada 
bulan Rajab. Sebagaimana kita ketahui, dahulu orang-orang Arab Jahiliyah 
memandang bulan Rajab ini memiliki arti penting dan keistimewaan dibandingkan 
dengan bulan-bulan lainnya, sehingga mereka memberi nama bulan tersebut dengan 
kata “rajab”. 

Rajab berasal dari kata :رَجَبَ الرجل رَجَبًا وَ رَجَبَهُ يَرْجُبُ رَجلْبًا 
رُجُوْبًا , maknanya menghormati dan mengagungkan. Sehingga bulan Rajab ini 
bermakna bulan yang agung.

Bulan Rajab memiliki 14 nama, yaitu Rajab, Al Asham, Al Ashab, Rajm, Al Harm, 
Al Muqim, Al Mu’alla, Manshal Al Asinnah, Manshal Al Aal, Al Mubri’ , Al 
Musyqisy, Syahru Al ‘Atirah dan Rajab Mudhar.

Bulan Rajab tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai salah satu dari empat 
yang menyandang sebagai bulan haram. Satupun tidak ada dalil yang sah, yang 
menunjukkan keutamaan dan pengkhususan bulan Rajab ini dengan melakukan amal 
ibadah tertentu. Namun, sangat disesalkan berkembang banyak kebid’ahan pada 
bulan ini, diantaranya bid’ah shalat Raghaib.

WAKTU PELAKSANAANNYA
Shalat Raghaib dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab diantara 
shalat Maghrib dan Isya’ didahului dengan puasa hari Kamis, yaitu pada Kamis 
pertama bulan Rajab.[1]

Ibnu Utsaimin berkata: “Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan 
Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum'at pertama antara Maghrib dan Isya', 
sebanyak 12 raka'at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar 
di dalam kitab Tabyinul 'Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab.” [2]

TATA CARANYA
Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh ulama sebagai hadits 
palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ : وَمَا 
مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ رَجَبٍ ثُمَّ 
يًُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ لَيْلَةَ 
الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ 
الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ 
مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ 
كَلِّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ 
عَلَيَّ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ 
الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ 
قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْفَعُ 
رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ 
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَسْجُدُ 
الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ الأُولَى ثُمَّ 
يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ 
تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ 
إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ 
الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ 
سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ 
قَبْرِهِ جَاءَ ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ 
وَلِسَانٍ ذَلِقٍ فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ 
شِدَّةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ 
وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ 
رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا ثَوَابُ 
الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ كَذَا جِئْتُ 
الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ أَرْفَعَ عَنْكَ 
وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ 
عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا

Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhon bulan umatku. Tidak ada 
seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian 
shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua 
belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali dan surat Al 
Qadr tiga kali, serta surat Al Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah 
setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka 
ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma 
shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi, kemudian sujud, lalu menyatakan 
dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, 
lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma 
ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan 
mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah 
hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasululloh bersabda,”Demi Dzat yang 
jiwaku ada di tanganNya, tidak ada seorang hamba lali-laki atau perempuan yang 
melakukan shalat ini, kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya, walaupun 
seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at 
pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Jika berada pada malam 
pertama, di kuburnya akan datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah 
yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! 
Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat 
ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah 
seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, 
serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia 
berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan 
pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, 
menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup 
sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka 
berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maulamu (Allah) 
selama-lamanya’.” [3]

Dari hadits ini, dapat diketahui secara ringkas tata cara shalat Raghaib, yaitu 
sebagai berikut:

• Jumlah raka’at dua belas dibagi setiap dua rakaat satu salam.
• Bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar.
• Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali, surat Al Qadar tiga kali 
dan surat Al Ikhlash dua belas kali.
• Kemudian ruku’ dan sujud.
• Usai shalat Raghaib mengucapkan shalawat kepada Nabi sebanyak tujuh puluh 
kali dengan lafadz Allahhumma shlli ‘Ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa ‘alihi 
• Kemudian sujud dengan membaca Subuhun qudusun Rabul malaikati wa ar ruh.
• Lalu bangun dan duduk dengan mengucapkan Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma 
ta’lam, innaka antal ‘Azizul a’hzam.
• Lalu sujud lagi dan mengucapkan sebagaimana ucapan yang sama dengan sujud 
yang pertama.
• Kemudian berdo’a kepada Allah sesuai dengan hajat kebutuhannya.

Demikianlah tata cara shalat Raghaib. Namun hadits di atas merupakan hadits 
palsu yang di atas namakan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

PERTAMA DILAKSANAKAN
Shalat Raghaib ini, pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para 
sahabat tidak pernah ada dan tidak pernah dilaksanakan, demikian juga tidak 
pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’it tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai 
dikenal dilakukan di Baitul Maqdis setelah tahun 480 H.[4]

HUKUM SHALAT RAGHAIB
Hukum shalat Raghaib adalah bid’ah, karena tidak didasarkan dengan dalil-dalil 
yang shahih, menyelisihi tata cara shalat sunnah yang sudah dikenal. Pada zaman 
salaf al shalih, shalat Raghaib ini tidak pernah dikenal, dan mereka tidak ada 
yang melakukannya. Oleh karena itu, Al ‘Izz bin Abdussalam menegaskan bid’ahnya 
shalat Raghaib, dengan memberikan argumentasi, yang secara khusus ditujukan 
kepada ulama, dan secara umum bagi kalangan awam. 

Adapun yang khusus ditujukan untuk para ulama terdapat dua catatan, yaitu:

1. Seorang ulama, jika melakukan shalat tersebut, ia dapat mempengaruhi opini 
kepada masyarakat umum, bahwa shalat ini sebagai sunnah, sehingga ia berdusta 
atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan amalannya, yang 
terkadang mewakili lisannya.

2. Ulama yang mengamalkan shalat ini, menjadi penyebab orang lain berdusta atas 
nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menyatakan “Ini adalah 
salah satu sunnah Beliau”, padahal seseorang tidak diperbolehkan menjadi 
penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sedangkan bagi kalangan awam, secara umum sebagai berikut:

1. Orang awam yang melakukan perbuatan bid’ah, dapat memotivasi para pembuat 
bid’ah untuk membuat kebid’ahan dan kebohongan (hadits palsu). Padahal 
memotivasi berbuat batil dan menolongnya, termasuk perbuatan yang dilarang 
dalam syari’at. Sedangkan meninggalkan kebid’ahan dan hadits-hadits palsu, 
dapat mencegah munculnya kebid’ahan ataupun hadits palsu. Mencegah dan 
memperingatkan kemungkaran termasuk ajaran penting dalam syari’at.

2. Shalat ini menyelisihi Sunnah tidak gerak dalam shalat. Dalam shalat ini, 
terdapat pengulangan surat Al Ikhlash dan Al Qadr. Menghitungnya, tidak dapat 
dilakukan secara umum, kecuali dengan menggerakkan sebagian anggota tubuh.

3. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah yang berkaitan dengan khusu’, 
merendahkan diri, menghadirkan hati dalam shalat, konsentrasi kepada Allah, 
merasakan keagungan Allah dan memahami makna bacaan dan dzikir. Maka jika ia 
memperhatikan jumlah surat dengan hatinya, maka ia telah berpaling dari Allah 
dan meningalkanNya dengan satu perkara yang tidak disyari’atkan dalam shalat. 
Memalingkan wajah dalam shalat dicela oleh syari’at, apalagi berpaling dengan 
hati yang merupakan tujuan besar dalam shalat.

4. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan yang sunnah dalam shalat nafilah 
(sunnah). Karena shalat-shalat nafilah disunnahkan dan lebih utama dikerjakan 
di rumah dari pada masjid, kecuali shalat-shalat nafilah yang telah dijelaskan 
syari’at, seperti shalat Istisqa’ dan Kusuf. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam bersabda :

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي الْمَسْجِدِ إِلاَّ 
الْمَكْتُوْبَة 

Shalatnya seseorang di rumahnya, lebih baik dari shalatnya di masjid, kecuali 
shalat fardhu.[5]

5. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan sunnah. Bahwasanya pelaksanaan shalat 
sunnah, tidak dilakukan secara berjama’ah, tetapi disunnahkan secara 
sendiri-sendiri, kecuali yang telah ditetapkan syari’at. Dan kebid’ahan yang 
dibuat-buat atas nama Rasulullah ini tidak termasuk dalam kategori sunnah 
tersebut.

6. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah mengkonsentrasikan hati dari hal-hal 
yang menyibukkannya sebelum masuk dalam shalat; karena shalat Raghaib ini 
dilakukan dalam keadaan lapar dan haus, apalagi pada hari-hari yang sangat 
panas; padahal shalat tidak dilaksanakan dengan adanya hal-hal yang 
menyibukkannya yang dapat dihilangkan.

7. Kedua sujud (setelah selesai shalat tersebut) dilarang, karena dalam 
syari’at tidak terdapat adanya sujud secara tersendiri tanpa sebab sebagai 
amalan mendekatkan diri kepada Allah Subahnahu wa Ta'ala ; padahal mendekatkan 
diri kepada Allah dengan sesusatu ibadah memiliki sebab, syarat, waktu dan 
rukun-rukun tertentu, sehingga tidak dianggap sah tanpanya. Misalnya, seperti 
tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan wukuf di Arafah, Mudzdalifah, 
melempar jumrah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, dengan tanpa melakukan manasik 
(haji atau umrah) pada waktunya dengan sebab dan syarat-syaratnya. Maka, 
demikian juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan 
sujud semata, walaupun sujud merupakan ibadah, kecuali jika memiliki sebab. 
Juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan shalat dan 
puasa setiap waktu dan setiap saat. Terkadang, tanpa disadari, orang bodoh 
mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang menjauhkannya dari Allah 
Subhanahu wa Ta'ala

8. Seandainya kedua sujud tersebut disyari’atkan, tentu menyelisihi perintah 
khusyu’ dan khudhu’, disebabkan sibuknya menghitung jumlah tasbih dengan batin, 
atau lahiriyah, atau dengan batin dan lahir.

9. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا 
تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ 
يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

"Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari yang lain dengan shalat malam. 
Janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari yang lain dengan puasa, kecuali puasa 
yang biasa dikerjakan salah seorang kalian". [6] 

10. Dalam shalat Raghaib ini, terdapat sesuatu yang menyelisihi sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berdzikir ketika sujud, karena 
ketika turun firman Allah سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى Beliau berkata 
”Jadikanlah dalam sujud kalian”. 

Pernyataan ‘سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ’ seandainya benar dari Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam, namun tidak benar disendirikan tanpa pernyataan (سُبْحَان 
رَبِّيَ الأ عْلَى ), dan tidak pula Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam 
memerintahkan umatnya. Padahal sudah dimaklumi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa 
sallam tidak memerintahkannya, kecuali yang terbaik. 

Juga dalam pernyataan سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى , terdapat pujian yang tidak 
ada dalam pernyataan [سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ . [7

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia 
merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak 
juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari 
Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut 
kesepakatan para ulama, adalah palsu.” [8]

Dan Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam agama, shalat 
Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak 
mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau 
mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, 
Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya 
menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, 
(menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.” [9]

Dengan demikian menjadi jelas larangan mengerjakan shalat Raghaib, karena 
merupakan shalat yang bid’ah, sebagaimana pendapat Al ‘Izz bin Abdussalam, An 
Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Al Qayim dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 
serta yang lainnya. Demikianlah penjelasan dari kami, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan 
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton 
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al Bida’ Al Hauliyah, karya Abdullah bin Abdul Azis Ahmad At Tuwaijiri, 
Cetakan Pertama, Tahun 1421 H, Dar Al Fadhilah, Riyadh, KSA, hlm. 240.
[2]. Lihat Rubrik Mabhats BEBERAPA KESALAHAN YANG TERJADI PADA BULAN RAJAB.
[3]. HR Ibnu Al Jauzi dalam kitab Al Maudhu’at, 2/124-125. Beliau 
berkata,”Hadits ini palsu. Para ulama hadits menuduh Ibnu Juhaim pemalsu.” 
Menurut para ulama, hadits ini palsu, diantaranya Imam Ibnu Taimiyah, Asy 
Syaukani, Al Fairuzabadi, Al Maqdisi Al Iraqi dan Abu Syamah. (Lihat keterangan 
lengkapnya dalam Majmu’ Fatawa, hlm. 23/133 dan 134; Al Bida’ Al Hauliyah, hlm. 
241dan Rubrik Mabhas KOREKSI TERHADAP PENYIMPANGAN UMAT DALAM BULAN RAJAB.
[4]. Al Bid’ah Al Hauliyah, hlm 242.
[5]. HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, hadits no. 731 dan Muslim 
dalam Shahih-nya, kitab Shalat Al Musafirin, hadits no. 781 dengan perbedaan 
lafazh.
[6]. HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 1957.
[7]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 1144.
[8]. Semua pernyataan Al ‘Iz bin Abdussalam ini diambil dan diterjemah bebas 
dari kitab Musajilah ‘Ilmiyah Baina Al ‘Izz bin Abdulsalam Wa Ibnu Shalah Haula 
Shalat Ar Raghaib Al Mubtada’ah. dengan tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al 
Albani dan Muhammad Zuhair Asy Syawis, Cetakan kedua, Tahun 1405, Al Maktab Al 
Islami, Bairut, hlm. 5-9.
[9]. Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, disusun Abdurrahman bin Muhammad bin 
Qasim, hlm. 23/132.
[10]. Ibid 23/134.                                        

Kirim email ke