Beberapa Contoh Hadits Palsu Dan Lemah Dalam Kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn
CATATAN UNTUK KITAB IHYA' ULUMIDDIN

http://almanhaj.or.id/content/3663/slash/0/beberapa-contoh-hadits-palsu-dan-lemah-dalam-kitab-ihy-ulmiddn/

Ihya’ Ulûmiddîn, sebuah nama kitab yang sangat tenar di tengah kaum
Muslimin, bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Ditilik dari
makna harfiyah Ihya’ Ulûmiddîn, kita dapati sebuah makna yang sangat agung.
Betapa tidak, Ihya’ Ulûmiddîn yang disematkan oleh penyusun kitab ini
sebagai judul karya tulisnya itu bermakna menghidupkan ilmu-ilmu agama.
Keagungan makna ini tidak diingkari oleh siapapun yang memiliki iman dalam
hatinya. Karena, dengan ilmu-ilmu agama yang diaplikasikan dalam kehidupan
nyata, seseorang akan bisa selamat dari siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla
serta bisa masuk ke surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi.

Namun apakah semua kandungan kitab Ihya’ Ulumiddin itu benar ?

Dalam peribahasa kita, ada ungkapan “Tidak ada gading yang tak retak”. Para
Ulama juga telah menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan
keselamatan dari segala bentuk kesalahan kecuali untuk nabi-Nya dan tidak
memberikan jaminan ‘bebas dari kesalahan’ untuk sebuah kitab kecuali untuk
kitab-Nya, al-Qur’ân. Kita juga tidak lupa dengan perkataan Imam Mâlik
rahimahullah : “Semua perkataan orang bisa diterima atau ditolak kecuali
perkataan penghuni kuburan ini (sambil memberi isyarat ke arah makam
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”

Ini menuntut kita untuk memiliki sifat kritis dan lapang dada. Sifat kritis
untuk menyaring semua info yang masuk ke kita dan sifat lapang dada untuk
menerima segala bentuk kritikan ilmiah yang sampai ke kita.

Kitab yang sangat masyhur ini, ternyata tidak luput dari kesalahan, bahkan
kesalahan fatal, karena terdapat kesalahan dalam masalah aqidah. Mungkin
ada pertanyaan, siapakah kalian sehingga berani menyalahkan kitab tersohor
ini beserta penulisnya yang sangat ternama itu ? Tentu, jawaban kami, bukan
kami yang menyalahkan. Namun para Ulama Islam yang telah menjelaskan
sisi-sisi kekeliruan dan kesalahannya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân
dan Sunnah yang mereka kuasai. Itulah pesan yang ingin kami sampaikan agar
umat mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut lalu meninggalkannya, bukan
untuk merendahkan apalagi mencela penulisnya. ‘Iyâdzan billâh.

Di antara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena
ternyata yang menjadi dalilnya adalah hadits maudhû’ (hadits palsu),
seperti hadits :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ
الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti
binatang ternak yang memakan rumput. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/152, cet. Darul
Ma’rifah, Beirut]

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah
dan al-Albâni rahimahullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya
dalam kitab-kitab hadits. [Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal
Maudhû’ah 1/60]

Juga hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. [Ihyâ’ Ulûmiddîn,
1/31]

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits
palsu yang tidak ada asalnya. [Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan
Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46]

Ada sebagian orang mengatakan, “Meskipun maudhû’ (palsu) atau dhaîf,
bukankah itu tetap merupakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.” Ucapan seperti ini menunjukkan orang yang melontarkannya belum memahami
ilmu mustholah hadits dan belum menyadari bahaya dan ancaman besar akibat
membuat atau ikut menyebarkan hadits palsu. Selain itu, kalau para ulama
ahli hadits sudah menghukumi sebuah hadits sebagai hadits yang maudhû’ itu
artinya berdasarkan penelitian mereka “hadits” itu bukan sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga tidak bisa dijadikan sebagai
landasan dalam beramal. Barangsiapa berani menisbatkan hadits maudhû’
kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah berdusta
atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terkena ancaman
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jalan mewujudkan penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla hendaknya
dengan mencukupkan diri dengan hadits yang shahîh dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itulah jalan terbaik, Sebagaimana perkataan
Imam Nawawi rahimahullah dalam mukaddimah Riyâdhus Shâlihîn. Setelah
memaparkan tujuan penciptaan manusia, beliau rahimahullah mengatakan :

وأَصْوَبُ طريقٍ لهُ في ذَلِكَ ، وَأَرشَدُ مَا يَسْلُكُهُ مِنَ المسَالِكِ ،
التَّأَدُّبُ بمَا صَحَّ عَنْ نَبِيِّنَا سَيِّدِ الأَوَّلينَ والآخرينَ ،
وَأَكْرَمِ السَّابقينَ والَّلاحِقينَ

“Jalan yang paling benar dan terbaik bagi seorang mukallaf dalam beribadah,
suluk terbaik yang dia lakukan yaitu beradab atau bertingkah laku dengan
kandungan (riwayat-riwayat) yang shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sayyid orang terdahulu
dan yang terakhir, manusia termulia pada zaman dahulu dan yang akan
datang”.

Akhirnya, kami berdoa, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing
kita untuk menempuh jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin


BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DAN LEMAH DALAM KITAB IHYA ULUMIDDIN

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


1. Hadits :

الْحَدِيْثُ فِي الْمَسْجِدِ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ
الْبَهَائِمُ الْحَشِيْشَ

Percakapan dalam masjid akan memakan/menghapus (pahala) kebaikan seperti
binatang ternak yang memakan rumput [1].

Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah
dan al-Albâni rahimaullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam
kitab-kitab hadits [2].

2. Hadits :

قَلِيْلُ التَّوْفِيْقِ خَيْرٌ مِنَ كَثِيْرِ الْعَقْلِ

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak [3].

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits
palsu yang tidak ada asalnya [4] .

3. Hadits :

بُنِىَ اْلدِّيْنُ عَلَى النَّظَافَةِ

Agama Islam dibangun di atas kebersihan[5] .

Hadits ini adalah hadits yang palsu, karena pada sanadnya ada perawi yang
bernama ‘Umar bin Shubh al-Khurâsâni. Ibnu Hajar rahimahullah berkata
tentangnya[6] : “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya
karena sangat lemah), bahkan (Imam Ishâq) bin Rahuyah mendustakannya”[7].

4. Hadits :

إِنَّ الْعَالِمَ يُعَذَّبُ عَذَابًا يَطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ

Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan
yang akan membuat sempit (susah) penduduk neraka[8].

Hadits ini dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang
tidak ada asalnya [9].

5. Hadits :

شِرَارُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْأُمَرَاءَ وَخِيَارُ
الْأُمَرَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْعُلَمَاءَ

Seburuk-buruk ulama adalah yang selalu mendatangi para penguasa
(pemerintah) dan sebaik-sebaik penguasa adalah yang selalu mendatangi para
ulama[10] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits
yang tidak ada asalnya [11].

6. Hadits :

مَنْ قَالَ أَنَا مُؤْمِنٌ فَهُوَ كَافِرٌ وَمَنْ قَالَ أَنَا عَالِمٌ فَهُوَ
جَاهِلٌ

Barangsiapa berkata: ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang
siapa berkata: ‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang
jahil (bodoh)”[12] .

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullahsebagai hadits yang
tidak ada asalnya [13] dan dinyatakan lemah oleh Imam as-Sakhâwi
rahimahullah [14].

7. Hadits :

لَيْسَ لِلْعَبْدِ مِنْ صَلاَتِهِ إِلاَّ مَا عَقَلَ

Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya kecuali apa
yang dipahaminya dari shalatnya [15].

Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits
yang tidak ada asalnya [16].

8. Hadits :

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ الْعَقْلَ

Sesuatu yang pertama kali Allâh Azza wa Jalla ciptakan adalah akal…”[17] .

Hadits ini dihukumi oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan Syaikh al-Albâni
rahimahullah sebagai hadits yang batil dan palsu[18].

9. Hadits :

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allâh Azza
wa Jalla akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”[19].

Hadits ini dihukumi oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang
palsu[20] .

10. Hadits :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْقُلُوْا عَنْ رَبِّكُمْ وَتَوَاصَوْا بِالْعَقْلِ

“Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling
berwasiatlah dengan akal”[21] .

Hadits ini adalah hadits palsu, diriwayatkan oleh Dâwûd bin al-Muhabbar
dalam kitab al-‘Aql yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Dia adalah perawi yang
matruk (ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab al-‘Aql yang
ditulisnya mayoritas berisi hadits-hadits yang palsu”[22] .

11. Hadits tentang shalat ar-Raghâib di bulan Rajab[23] .
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam al-‘Iraqi [24].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/152, cet. Darul ma’rifah, Beirut).
[2]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60
[3]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/31).
[4]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin
Nabawi hlm. 46
[5]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/49).
[6]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 414
[7]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 3264
[8]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/60).
[9]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287
[10]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/68).
[11]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/288
[12]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/125).
[13]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[14]. Lihat al-Maqâshidul Hasanah hlm. 663
[15]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/159).
[16]. Lihat Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/289
[17]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83) dan (3/4).
[18]. Lihat Lisânul Mîzân 4/314 dan Takhrîju Ahâdîtsil Misykâh no. 5064
[19]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/71), (3/13) dan (3/23)
[20]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah no. 422
[21]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/202)
[22]. Dalam Taqrîbut Tahdzîb hlm. 200
[23]. Ihyâ’ Ulûmiddîn (1/83)
[24]. Lihat takhrij beliau pada catatan kaki kitab tersebut (2/366, cet.
Dar asy-Syi’ab, Kairo)

Kirim email ke