From: purb...@yahoo.co.id Date: Sat, 24 Aug 2013 17:27:58 +0800
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh, Ada permasalahan yang belum saya ketahui, misalkan A memiliki kebun sawit, dan si A ini ingin meminjam uang sebesar Rp 100 ribu kepada si B. Si B ingin si A memborohkan kebunnya, dan hasil kebun tersebut diambil oleh si B selama Si A belum bisa melunasinya. Dan dalam pelunasan nantinya si A akan membayar kembali kepada si B sebesar Rp 100 ribu dan mendapatkan kembali kebunnya. Apakah hukum tersebut dibolehkan dan bagaimana hukum yang sebenarnya. Terimakasih muliaman purba >>>>>>>>>>>>>> Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewajiban mengembalikan utangnya dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at. Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا “Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat al-Baihaqi 5/350] Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 29/334] Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya. Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba: Solusi Pertama: Akad Sewa Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus terjerumus dalam praktik riba. Solusi Kedua : Kerja Sama Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang kepada pemiliknya. Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/3270/slash/0/menyewakan-tanah-pertanian/ Wallahu Ta'ala A'lam