Tempointeraktif.com | Kamis, 01 April 2010 | Salak busuk sangat
mengganggu upaya ekspor dari para petani salak di Kabupaten Sleman,
Yogyakarta. Sesuai ketentuan, limbah tak boleh dibuang ke kebun.

Dua tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Bio-Surya dan Bioetanol,
menawarkan solusi terbaik di ajang Green Tech Competition Institut
Teknologi Bandung pada 29-30 Maret lalu. Sampah salak diperas dengan
teknologi sederhana hingga menjadi bioetanol. Bahan bakar berupa
alkohol berkadar 70 persen itu sanggup mendidihkan air sepanci dalam
dua menit.

Kedua tim berangkat dari proses awal yang sama. Setelah mengumpulkan
salak-salak busuk, mereka hanya mengambil daging salaknya saja. Kulit
dan biji disisihkan. "Dagingnya kemudian dicacah pakai mesin parut,"
kata Ketua Tim Bioetanol, Daniel Agung.

Daniel bersama rekan di Fakultas MIPA UGM angkatan 2006, Setyaningrum,
dan Ajeng Pratiwi, mencacah buah difermentasi dengan ragi tapai dan
urea. Ragi sebanyak tiga persen ditambah urea satu persen dari berat
bubur salak. Urea dipakai agar bakteri mempercepat pembusukan.

Fermentasi merupakan cara yang umum di masyarakat. Hasil fermentasi
selama 7 hari kemudian diperas. Agar murah, saringannya cukup memakai
kain bekas karung tepung terigu. Dari 10 kilogram salak busuk, Tim
Bioetanol mendapat 11 liter bioetanol. Air yang masih keruh dimasukkan
dalam panci tertutup lalu dipanaskan sampai titik maksium api 78
derajat celcius agar kadar alkohol meningkat dari 55 persen menjadi 70
persen.

Tapi proses distilasi standar, kata Daniel, masih dikeluhkan para
petani. "Mereka harus menunggu 2 jam sampai tetes pertama alkohol
keluar dari pipa," dia menuturkan. Setelah tetes pertama uap alkohol
yang didinginkan di panci ketiga dengan air menetes deras seperti pipa
bocor.

Petani semapt menanyakan kemungkinan alkohol diminum. "Saya bilang
belum tahu pak, karena ada kandungan ureanya," kata Daniel. Dari 11
liter bir etanol, alkohol sebagai bahan bakar sebanyak 1,5 liter. Kadar
bahan bakar bisa ditingkatkan dengan destilasi ulang alkohol agar
mencapai 80 persen.

Bioetanol itu dimasukkan dalam botol plastik dengan selang pipa dan
ditutup rapat. Cairannya kemudian dialirkan ke kompor gas dengan cara
disuntik. Klek! Begitu pemantik dinyalakan, kompor menyala.

Dari percobaan tim, untuk memasak air sepanci hingga 250 mili liter,
bioetanol yang terpakai hingga air mendidih dalam 2 menit hanya 30 mili
liter. Juri acara Green Tech Competition menobatkan karya itu sebagai
juara ketiga. Menurut Daniel, ide riset inovasi itu bermula dari saran
dosen yang jengah melihat sampah salak busuk di perkebunan.

Tim Bio-Surya yang diawaki Adi Trimulyo, Adhita Sri Prabakusuma, Dita
Adi Saputra, dan Muhammad Shidiq, puas sebagai juara favorit. Bio-Surya
sebenarnya menawarkan cara cepat dalam proses fermentasi. Dengan
memakai cairan Good Bacteria (GB)-1, fermentasi hanya butuh 3-4 hari,
atau dua kali lebih cepat dari cara tim Bioetanol.

Kelebihan lainnya, mereka sanggup mengolah sisa ampas bubur salak
menjadi pupuk butiran (granula). "Kalau bentuknya bubuk, pupuk itu
mudah terbawa air waktu hujan. Tapi kalau butiran, bisa lebih tahan di
tanah," kata Adi Trimulyo.

Namun cairan GB-1 temuan pensiunan dosen UGM Gembong Danudiningrat itu
belum beredar luas di pasaran. Cairan yang berisi 14 jenis bakteri dari
rumen sapi seperti Actinomycetes, Azotobacter, Agrobacterium sp.,
Penicilium sp., dan Lactobacillus sp., itu baru bisa diperoleh di
kampus UGM seharga Rp 20 ribu per liter. Karena itu mungkin, mereka
belum terpilih sebagai pemenang kali ini.

www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano)

--
Posted By NINO to AstroDigi at 4/05/2010 05:50:00 AM

Reply via email to