Tempointeraktif.com | Senin, 29 Maret 2010 | Astrofisikawan dunia asal
Palestina ini adalah anak tertua dari 14 anak dari bapak seorang tukang
penjual daging. Baraka berhasil bangkit dari kondisi lingkungannya yang
sederhana di Gaza, yang didera kekerasan -untuk menjadi seorang
astrofisikawan, ahli cuaca ruang angkasa dan peneliti untuk NASA, Badan
Antariksa Amerika Serikat.

Usia Baraka kini mencapai 45 tahun. Dia kembali ke rumah dengan misi
baru -mengajar anak-anak untuk melihat keindaahan takterbatas alam
semesta ciptaan Allah. Meski mereka sampai kini terkurung karena
wilayahnya diblokade.

Baraka mendapat teleskop yang pertama ada di Gaza, sumbangan dari
Persatuan Astronomi Internasional. Rencananya, alat ini untuk
memperkenalkan astronomi di tiga universitas di Gaza. Dia juga bermimpi
untuk membangun sebuah observatorium dan stasiun penelitian geomagnetic.

Dia sangat ambisius untuk sebuah wilayah yang telah dikunci oleh Israel
dan Mesir selama hampir empat tahun. Tapi bukan Baraka yang keras
kepala kalau tidak mempunyai optimisme. Dalam wilayah yang telah
tercabik-cabik oleh kemelut politik dan konflik agama, ia melihat orang
mempunyai kesamaan, bukan apa yang membedakan mereka. "Ada alam semesta
yang indah untuk semua orang -tidak ada batas, tidak ada pagar, tidak
ada dinding," katanya dalam sebuah wawancara.

Kondisi ini tak menggeser iman Baraka sedikitpun. Bahkan setelah ia
kehilangan putranya Ibrahim, 11 tahun, saat perang Hamas melawan Israel
meletus setahun yang lalu. Saat itu, Baraka tengah menimba ilmu di
Virginia Tech, penelitianya selama dua bulan menjadi setahun penuh
dengan dana hibah penelitian dari NASA dan National Science Foundation,
sementara istri dan empat anaknya tetap tinggal di kota kelahirannya
Khan Younis di selatan Gaza.

Pada 29 Desember 2008, sebuah pesawat perang Israel membom rumah
keluarga Baraka. Ibrahim terkena. Dia dirawat di rumah sakit di Mesir,
kepalanya luka berat. Baraka langsung terbang dari Amerika ke Mesir,
untuk berdoa. Dia menangis di samping tempat tidur anaknya. Ibrahim
tidak pernah sadarkan diri dan meninggal seminggu setelah pemboman -
salah satu dari sekitar 1.400 orang Palestina yang tewas dalam tiga
minggu serangan yang bertujuan untuk mengakhiri tahun tembakan roket
dari Gaza di kota-kota Israel.

Baraka dilarang memasuki Gaza sementara perang sedang terjadi. Dia
merindukan untuk ikut pemakaman buah hatinya. Namun Baraka harus berada
di tempat lain, di Amerika Serikat untuk menyelesaikan risetnya.

Pada bulan Oktober ia kembali ke Gaza dengan misi baru - untuk
memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya mengenalkan ruang angkasa
dan untuk memberi penghormatan kepada Ibrahim, belahan jiawanya yang
telah tewas.

Pada tanggal 12 Maret malam, dia menggelar "pesta bintang" pertamanya.
Mengenakan topi NASA, ia mendudukkan teleskop di halaman sekolah
anaknya di Khan Younis dan menarik tiga lusin murid, yang sebagian
besar anak-anak. Beberapa gadis berjilbab, dan beberapa orangtua dan
guru ikut berkerumun.

Sebagian orang dewasa bertanya, apakah ilmu ruang angkasa kompatibel
dengan Islam. Baraka meneguhkan kepercayaan mereka dengan mengutip
salah satu ayat dari Quran. Sementara Anak-anak melangkah mendekati
teleskop. Mereka semua tahu itu bukan mainan.

"Ini adalah sesuatu yang indah," kata Abdullah Majaideh, 14, setelah
menatap ke langit melalui teleskop. "Aku tidak pernah membayangkan bisa
melihat ke dalam teleskop dan melihat ruang angkasa."

Air mata Baraka berlinang. Ironis memang, warga Gaza sudah tak bisa
kemana-mana karena blokade. Dinding sepanjang 360 kilometer persegi
mengurung wilayah yang merupakan salah satu tempat di dunia yang paling
padat penduduknya --sekitar 1,5 juta orang. Wilayah ini dikurung pagar
dinding dan Angkatan Laut Israel.

Kontak dengan dunia luar hanya bisa dilakukan secara sporadis. Namun
tekad Baraka tak surut sedikitpun. Dia mengundang pensiunan astronot
NASA, Jeffrey Hoffman, dan ketua Persatuan Astronomi Internasional, Bob
Williams, ke Gaza, tetapi karena ketidakpastian memasuki wilayah ini
membuat kunjungannya ke Tepi Barat tak berlanjut memenuhi undangan
Baraka.

Sebenarnya, ketertarikan Baraka dengan ruang angkasa sudah terlihat
sejak di sekolah menengah. Ia berkata bahwa ia dibesarkan di sebuah
keluarga yang meghargai belajar, meskipun orangtuanya tak tinggi
pendidikan formalnya. Semua, kecuali dua saudara-saudaranya menuntut
ilmu sampai perguruan tinggi.

Setelah mempelajari fisika, ia masuk ke dunia politik, menghabiskan dua
tahun di sebuah penjara Israel, karena bergabung dengan organisasi
terlarang, Fatah, yang kemudian memegang posisi pemerintahan Palestina.
Tapi setelah upaya perdamaian runtuh pada tahun 2000, ia kembali ke
dunia akademis.

Ia memperoleh gelar master di bidang fisika dari Universitas Islam
Gaza, gelar doktor dari Institut Astrofisika Paris. Setelah kembali ke
Gaza beberapa saat, dia dipekerjakan oleh Virginia Tech dalam program
hibah setahun penuh.

Baraka, istri dan tiga anaknya yang bertahan hidup kini tinggal di
sebuah apartemen dengan perabotan tumpukan buku-buku. Tempat tinggalnya
sekarang berada tepat di seberang jalan dari rumah mereka yang telah
rata dengan tanah. Dia bilang dia tiak habis pikir mengapa rumah itu
dibom. Sanak keluarganya telah meninggalkan gedung untuk keamanan, tapi
Ibrahim dan neneknya berada di dekat rumah itu ketika bom menghantamnya.

Ia kini berusaha mengejar ketinggalan dalam penelitian tetapi
pertukaran informasi dengan teman-temannya terhambat blokade Israel dan
seirngnya lisrik padam.

Baraka mengatakan, kepuasan terbesarnya adalah bisa menginspirasi
orang-orang muda, termasuk mahasiswa di kelas astronominya. Dia
berharap untuk mengajar pada musim gugur mendatang.

"Aku akan menunjukkan kepada mereka jalan," katanya, "seperti jalan
yang telah ditunjukkan kepada saya sebelumnya."

www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano)

--
Posted By NINO to AstroDigi at 4/06/2010 05:31:00 AM

Reply via email to