SUARA-SUARA HAWA


Oleh: Solidaritas Sastrawan dari Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam
 dan Malaysia untuk Bencana Alam Gempa di Sumatera Barat 2009



ISBN : 9786028543460

Rilis : 2010

Halaman : 174p

Penerbit : Bisnis2030

Bahasa : Indonesia

Rp.44.800



Tentu tidak mudah memahami puisi, apalagi buat orang yang terlambat 
memulainya seperti saya namun karena janji kepada seorang teman dan 
semangat berbagi jua saya akan mencoba menuliskan ulasan ini. Semoga 
baiknya bisa diambil manfaat dan kekurangannya kita perbaiki bersama 
menuju kesempurnaan yang diharapkan.



Puisi adalah bangunan yang disusun dari Puzle-puzle pengalaman yang 
membentuk sebuah ruang tersendiri namun bisa dimasuki oleh siapa saja 
yang ingin merenung dan sekedar mereguk anggur-anggur sepi di altar yang
 disajikan sedemikian rupa oleh penyair, entah yang kita dapat setelah 
memasukinya sebuah lembaran hikmah atau sebuah aksi garuk-garuk kepala 
beserta sedikit gelengan halus itu hanya sebagian reaksi disamping 
manggut-manggut setuju.



Dari pengalaman pribadi siaku liris yang berdasarkan fakta empiris tadi 
tentu puisi bisa kita ibaratkan menjadi sebuah pohon lengkap, ada 
batang, daun dan mungkin juga ada buahnya, namun perbedaan puisi dengan 
pohon yang lain (baca:novel dan cerpen) terletak pada keartistikannya 
dan bentuk batangnya yang telah menjadi sebuah bongsai yang tentu saja 
kita tahu sangat indah tanpa mengurangi unsure-unsur pohon yang 
selayaknya ada.



Menelusuri dan menikmati puisi-puisi yang disajikan oleh Okky 
Sastrawiguna dalam sebuah antologi “Suara-Suara Hawa” saya serasa 
memasuki suatu ruangan yang terbangun dari rintihan seorang perempuan 
dan rintihan tersebut terkadang berubah menjadi erangan dan di lain sisi
 juga dia berubah menjadi jeritan. Coba kita renungkan penggalan sajak 
“Buat Sam” berikut ini:



“… padamkan mata kita, padamkanlah

agar pertemuan ini mempunyai

tangan-tangan kerinduan

untuk meraba wajah kehidupan

agar ia mempunyai langkah kaki

yang tak tergesa menapaki kenyataan…”



Lihat bagaimana siaku liris dalam penggalan sajak tersebut sangat 
hati-hati menggambarkan ketakutannya akan sebuah perpisahan setelah 
mengalami pertemuan yang membuatnya ektase. Puisi ini juga membuat kita 
merasakan ketakutan penyair menyusuri kehidupan kalau perlu butakan saja
 matanya begitu kira-kira si penyair berteriak agar pertemuan yang 
terjadi bisa menghasilkan satu kekuatan untuk menjalani kehidupan ke 
depan.



Di puisi selanjutnya bagaimana penyair dengan gamblang menuliskan 
bagaimana takutnya dalam menghadapi rasa cinta yang sangat besar dalam 
dirinya, sehingga dalam kemabukan cinta itu biarlah dia sendiri 
merasakan tanpa perlu mengharapkan sambutan cinta dari objek yang dia 
cintai. Lihat potongan gambaran dari penyair:



“…usahlah berbalik

aku tak ingin hangus

oleh cinta dan siksa”



Jelas tergambar ketakutan yang dialami oleh siaku liris akan cinta yang 
dia punya jika mendapat sambutan dari objek yang dicintainya. Dalam 
bait-bait yang diberi judul “Seseorang” oleh penyair ini saya mencium 
semacam kemabukan akan cinta dan di sini ada seperti kemabukan Rabiah Al
 Adawiyah terhadap sang maha cinta mungkin begitu kiranya kemabukan 
cinta yang dialami oleh siaku liris dalam puisi ini namun entah pada apa
 dan siapa?.



Begitu juga kalau kita menyusuri bait-bait puisi yang lain yang di tulis
 oleh penyair kita akan menemukan sebuah bangunan yang sebentar membuat 
kita tertegun, sebentar lagi membuat kita garuk-garuk kepala dan mungkin
 sebagian membuat kita meringis. Dari semua bangunan yang disajikan 
sedemikian rupa dan di tiap sudut bangunan itu kita akan mendapati 
semacam pengalaman baru yang akan saying jika dilewatkan.



Demikian kiranya catatan sederhana dari saya ini semoga kita dapat 
menikmati Suara-Suara Hawa.



Salam Takzim

Yoyong Amilin





http://www.bookoopedia.com/daftar-buku/pid-30098/suara-suara-hawa.html

--------------

www.bookoopedia.com



Buy Globally, Pay Locally

Beli buku-buku Amazon dari Indonesia

No Credit Card needed, bayar rupiah


      

Kirim email ke