Perbudakan Anak tetap Terjadi di Jalanan 

 <http://www.cybertokoh.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=613>
PDF

 
<http://www.cybertokoh.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=613&po
p=1&page=0&Itemid=61> Cetak

 


Senin, 22 Maret 2010 


ImagePAGI itu Wayan Budi tidak menggepeng (meggelandang dan mengemis). Ia
datang bersama dua saudara perempuannya. Dia tiba saat diskusi di Kantor
BP3A sudah berlangsung. Tak mudah mengajak Wayan Budi datang ke forum
diskusi. Dia mengaku kehilangan pekerjaan jika tidak bekerja (mengemis). Dia
meminta Rp 20.000 sebagai ganti waktunya yang hilang.
 
Wayan Budi berasal dari Pedahan Kaja Karangasem. Ia memiliki empat saudara
lagi.  Ibunya tukang suun (menjinjing barang) di pasar dan bapaknya bekerja
di proyek. Mereka tidur bertujuh dalam satu kamar. Wayan sering tidur di
luar karena kamarnya sempit. Dalam forum diskusi itu pandangan Wayan Budi
tampak kosong.  Dua saudara perempuanya asyik mengobrol dengan dialek mereka
yang khas. Mereka tidak mempedulikan diskusi yang sedang membahas nasib
mereka. 

Hari itu Wayan Budi diminta menuturkan pengalamannya sebagai gepeng. Namun,
walaupun uang Rp 20.000 sudah diterima, ia menjawab pertanyaan moderator,
Luh Anggreni, S.H. hanya sekenanya. Akhirnya, Wayan dibolehkan pergi setelah
duduk bengong satu jam. 

Berpenyakit Menular
Perbudakan terhadap anak-anak yang berasal dari Karangasem  sudah terjadi
sejak lama. Aturan hukum perlindungan anak sudah ada, namun  tidak
diterapkan dalam kasus ini. Sanksi tidak ada kepada bos atau  germonya.
Dikatakan mereka diekploitasi orangtuanya, namun ironisnya setelah ditangkap
aparat mereka  diekploitasi lagi. Mereka digunduli dan  disuruh membersihkan
WC.
Dalam Diskusi Terbatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)
Bali bekerja sama dengan BP3A Bali, Kamis (11/3) di Denpasar, Asana Viebeke
L dari I am an Angel lebih jauh mengungkapkan, perbudakan anak tetap terjadi
di jalanan, di pantai Kuta dan Legian.  Anak-anak itu usia hingga 12 tahun
berasal dari Karangasem Timur dan Kintamani bagian timur dekat Buleleng. 

"Sejak bayi, mereka digendong orangtuanya mengemis.  Setelah bisa berjalan
mereka disuruh meminta-minta  di pinggir jalan. Setelah lebih besar lagi
disuruh menjual gelang. Usia 10-12 tahun dijadikan pekerja seks komersial
(PSK)," tutur Asana.  Ia mengatakan, bos mereka keluarga sendiri yang lebih
dewasa. Sekolah tidak menjadi prioritas.  Mereka diharuskan menjual gelang,
mengemis, menjadi PSK. Jika pendapatan tidak memadai, mereka tidak
dibolehkan tidur dan diharuskan terus bekerja di jalanan. 

 "Kalau mereka ditangkap, orangtuanya membayar  petugas Rp 2.000 s.d. Rp
20.000 tergantung jenis pekerjaan anaknya," katanya. 
Asana menambahkan, bos/famili yang diketahui bertindak kejam mendapat
keleluasaan untuk menentukan keputusan  terhadap anak-anak tersebut.
Eksploitasi terus berlangsung.  "Hansip kantor lurah yang mengangkutnya juga
menyakiti mereka dengan berbagai cara, seperti mencukur rambutnya, memukuli,
menyuruh membersihkan toilet, merampas uangnya saat mereka menanti
orangtua/bos yang akan menjemputnya," ujarnya. 

Tempat mereka tinggal bersama orangtua/bos/sanak familinya di Jalan Mataram
dan Jalan Kubu Anyar, Kuta.  Kawasan tempat mereka menjual gelang, Pantai
Double Six, Jalan Benesari, dan Jalan Poppies. Mereka  selalu  berpindah
tempat. Selain itu, ada lokasi tempat orang-orang yang lebih tua  bisa
dilihat mendekati mereka. "Kaum pedofil ini sudah seperti orang asli Kuta.
Lokasinya di belakang hotel Jayakarta, bahkan ada kantornya.  Pukul
09.00-11.00 mereka mengajak anak-anak menyantap sarapan.  Alasan mereka,
memberi anak-anak pekerjaan seperti menjaga anjing atau pergi ke tukang
penatu. Anak-anak diiming-imingi uang dan mereka dengan senang hati
menerimanya," papar Asana. 

Asana mengutip penuturan warga masyarakat Pedahan yang menyatakan, mereka
menghadapi masalah tidak adanya air. Padahal, sudah banyak LSM yang
membangun cubang air. Rosela, jambu mete, lontar,  tumbuh bagus di  sana.
Ada juga LSM yang memberi pelatihan membuat topi. Namun,  terganjal masalah
pemasaran.   "Apakah dengan terbukanya pekerjaan, menjamin mereka tidak akan
mengemis lagi?" ujarnya. 

Ia berpandangan, yang harus diwaspadai bongkolnya yakni bapak atau omnya
yang menjadi mafia.  "Hidup enak, anak-anak ini bisa menghasilkan Rp  3 juta
s.d 10 juta per bulan. Walau sudah ada cubang air, sudah ada lahan
pekerjaan, fakta menunjukkan anak-anak mereka tetap masih mengemis," kata
Asana.
Mereka menjadi pengemis bukan karena miskin, namun  sudah ada indikasi
sindikat atau mafia.  Jangan samakan permasalahan gepeng di Jakarta dengan
di Bali. Mengemis sudah  menjadi sumber pendapatan stabil. Di desanya, ada
rumah gedung milik bos dan mereka sudah mampu membeli ternak.  

Tahun 2004, Asana bersama I am an Angel melakukan pemeriksaan pap smear
kepada para ibu di Desa Pedahan Kaja. Kemaluan mereka  berbau dan lumutan.
"Februari 2010 kami melayani 60 ibu untuk pap smear, sebagian besar
mengalami penyakit menular seksual. Sudah ada infeksi dan mengarah kanker
70-90%," tandasnya.
Sebagian besar  mereka mengonsumsi ketela dan jagung. Akibatnya, anak-anak
kekurangan gizi dan yodium. 

Ia berpandangan perlu rancangan program terpadu  yakni menjauhkan  mereka
dari jalanan dan melibatkan mereka dalam pembangunan di desanya, Bangun
balai sebagai tempat mengumpulkan anak-anak dengan berbagai kegiatan.
Arahkan mereka tinggal di panti asuhan sambil mengikuti kegiatan/pelatihan
sesuai  usia dan potensinya.
Kebanyakan jaringan ini bersifat homogen dari satu kelompok desa atau satu
keluarga besar, jadi  lebih mudah diputuskan  jaringannya sebelum menjadi
heterogen. Perlu penyuluhan kepada pemimpin/masyarakat di wilayah aktivitas
mereka dan menggugah nuraninya bahwa anak Bali adalah anak mereka juga.  Ia
berpendapat, perlu pararem dalam upaya mengatasi masalah gepeng ini.  

Uang adalah  Segalanya
Saat ini sekitar 300 anak bekerja sebagai pengemis dan tukang suun  secara
paksa di Pasar Badung. KPAID  Bali bekerja sama dengan Bagian Psikiatri FK
Unud/RS Sanglah berhasil mewawancarai  31 anak yang termasuk dalam
eksplotasi ekonomi/sosial tersebut.    Sekitar 25% usia mereka berkisar 10
tahun.  Anak-anak di bawah 5 tahun tidak bisa dipantau, karena ibunya
melarikan diri ketika didekati.
Dari 31 anak tersebut, laki-laki 6 dan perempuan 25 orang. Sebanyak 58%
berasal dari Desa Pedahan Kaja, 25% dari Desa Pedahan Klod, dan 16,12% dari
Desa Tianyar, Karangasem.  Sebanyak 24 orang mengatakan tidak pernah
mengenyam bangku sekolah, 6 orang pernah sekolah dan bisa membaca, satu
orang bisa membaca karena belajar dari kakaknya. 

Mereka di Denpasar hanya tinggal di tempat kos ukuran 3 x 2 meter. Sebanyak
5 orang mengatakan tinggal sekamar dengan 2-4 orang, 7 orang tinggal sekamar
dengan 5-6 orang, dan 9 orang sekamar dengan 7 orang. 
Lokasi tempat tinggal mereka di sekitar Jalan Kusuma Bangsa, Jalan Gunung
Batukaru, Banjar Monang-maning, dan Jalan Penjahitan Banjar Kerandan
Denpasar.  Alasan mereka datang ke Denpasar, ingin membantu orangtua
membangun rumah di kampungnya. Ada juga yang beralasan bapaknya sakit, atau
mencari bekal untuk membeli keperluan upacara odalan di kampungnya.

Mereka beroperasi 3 shift, dan tidak merebut lahan saat mengemis.
Jadwalnya, pukul 08.00-12.00,  14.00-18.00, dan  18.00-21.00. Sebagian
anak-anak ini pindahan dari Kuta. Mereka mengaku, lebih sulit mengemis di
Kuta karena banyak saingan.   Rata-rata penghasilan mereka Rp  20. 000,
minimal Rp 5.000, dan maksimal Rp 50.000.  Jika tinggal bersama orangtua,
hasil mengemis diserahkan semuanya kepada orangtuanya. Jika mereka tinggal
bersama bibi/kakak, uang mereka dipotong 20% untuk biaya kos.

Dari 31 anak, 11 orang mengatakan tidak ingin sekolah, 14 orang mengatakan
ingin bisa membaca, menulis, berhitung, dan 6 orang ingin melanjutkan
sekolah. 
Ketika ditanya cita-citanya, ada yang ingin menjadi presiden. Alasannya,
presiden hidupnya enak.  Ada yang ingin bercita-cita menjadi guru, dokter,
pengusaha, polisi, buka usaha foto, tukang masak, sopir, buruh.
Sudah tertanam dalam benak anak-anak tersebut uang adalah segalanya. Ketika
diwawancarai, mereka meminta uang untuk mau mengobrol. 

Anak-anak ini rentan tindak kekerasan yang dilakukan teman mereka saat
berebut penghasilan. Orangtua menjambak dan memukuli mereka kalau nakal dan
tidak mau bekerja.  Kekerasan juga bisa dilakukan orang dewasa yang merasa
tersaingi dalam meraih rezeki dari pengunjung pasar.
Sebagian besar mereka tidak berani berobat ke klinik di Pasar Badung,
walaupun gratis. Mereka hanya membeli obat di warung dan menggunakan loloh
dan boreh. Tidak pernah ke puskesmas dengan alasan uangnya nanti habis.

Ketua KPAID Bali Dokter Sri Wahyuni berpandangan, mereka perlu pendampingan
sebagai motivator agar mereka percaya diri  bahwa hidup adalah perjuangan.
Mereka juga membutuhkan bantuan pendidikan, keterampilan, kesehatan,
penyediaan lahan pekerjaan dan bantuan pangan selama  masa transisi.
Ketua LPA Prov. Bali Nyoman Masni, S.H. menyarankan, dalam menangani kasus
gepeng  jangan menindak anak-anak. "Mereka hanya korban. Menggepeng bukan
cita-cita mereka. Yang harus ditindak para bos dan yang memberi tempat
tinggal/menampung mereka," ujarnya.   

Perlu Perda dan Perarem
I Nengah Sukarta dari Satpol PP Badung mengungkapkan, setelah ditangkap,
gepeng  diangkut ke Dinas Sosial Badung, kemudian Dinas Sosial memulangkan
mereka ke daerah asalnya. Besoknya, mereka datang lagi. Begitu seterusnya. 
Satpol PP sudah berkoordinasi dengan  semua instansi terkait di
masing-masing kecamatan. Para gepeng ini setelah ditangkap dikarantina di
Kantor Lurah Kuta dan diberi pembinaan. Namun, kata Sukarta,  upaya tersebut
masih belum maksimal. "Setelah titik strategis diawasi, mereka lari ke
Denpasar," katanya. 

Ia menganggap penting adanya peraturan daerah. Dalam perda diatur sanksi
kepada yang memberikan uang. "Kalau para gepeng tidak mendapatkan uang dari
mengemis,  mereka pasti akan tertarik mengikuti pelatihan yang diberikan
beberapa LSM," ujarnya. 
Ia mengungkapkan, di Jakarta ada fatwa MUI yang mengharamkan gepeng. "Apakah
itu bisa juga  diterapkan di Bali?" ujar Sukarta.  

Ketut Suparsa dari Dinas Trantib Kota Denpasar berpandangan, penyelesaian
gepeng sekarang ini masih sendiri-sendiri sehingga belum tuntas.  Di
Denpasar ada kelompok anak jalanan punk. Usianya muda, penampilannya kumuh,
tidak pernah mandi, dan tidur di emper toko.  Mereka pernah ditangkap
kemudian dikembalikan ke orangtuanya. Tetapi, mereka tetap kembali ke
jalanan. Ia pun berpendapat, diperlukan perda yang ada sentuhan humanisnya.
"Diatur pos penertibannya, ke mana mereka akan dibawa. Harus ada penyaluran
yang tepat  agar mereka berhenti menjadi anak jalanan. Setelah ada perda,
kemudian dibuat pararem," katanya. 

 

<<image001.png>>

<<image002.png>>

<<image003.jpg>>

Kirim email ke