nice picture!

MfG
Thom. Lengkey
  ----- Original Message ----- 
  From: Asana Viebeke Lengkong 
  To: bali@lp3b.or.id ; bali-b...@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, March 23, 2010 2:45 PM
  Subject: [bali] Perbudakan Anak tetap Terjadi di Jalanan (sharing)


        Perbudakan Anak tetap Terjadi di Jalanan 
       
       
       

   

        Senin, 22 Maret 2010 
       
        PAGI itu Wayan Budi tidak menggepeng (meggelandang dan mengemis). Ia 
datang bersama dua saudara perempuannya. Dia tiba saat diskusi di Kantor BP3A 
sudah berlangsung. Tak mudah mengajak Wayan Budi datang ke forum diskusi. Dia 
mengaku kehilangan pekerjaan jika tidak bekerja (mengemis). Dia meminta Rp 
20.000 sebagai ganti waktunya yang hilang.
         
        Wayan Budi berasal dari Pedahan Kaja Karangasem. Ia memiliki empat 
saudara lagi.  Ibunya tukang suun (menjinjing barang) di pasar dan bapaknya 
bekerja di proyek. Mereka tidur bertujuh dalam satu kamar. Wayan sering tidur 
di luar karena kamarnya sempit. Dalam forum diskusi itu pandangan Wayan Budi 
tampak kosong.  Dua saudara perempuanya asyik mengobrol dengan dialek mereka 
yang khas. Mereka tidak mempedulikan diskusi yang sedang membahas nasib mereka. 

        Hari itu Wayan Budi diminta menuturkan pengalamannya sebagai gepeng. 
Namun, walaupun uang Rp 20.000 sudah diterima, ia menjawab pertanyaan 
moderator, Luh Anggreni, S.H. hanya sekenanya. Akhirnya, Wayan dibolehkan pergi 
setelah duduk bengong satu jam. 

        Berpenyakit Menular
        Perbudakan terhadap anak-anak yang berasal dari Karangasem  sudah 
terjadi sejak lama. Aturan hukum perlindungan anak sudah ada, namun  tidak 
diterapkan dalam kasus ini. Sanksi tidak ada kepada bos atau  germonya.  
Dikatakan mereka diekploitasi orangtuanya, namun ironisnya setelah ditangkap 
aparat mereka  diekploitasi lagi. Mereka digunduli dan  disuruh membersihkan WC.
        Dalam Diskusi Terbatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah 
(KPAID) Bali bekerja sama dengan BP3A Bali, Kamis (11/3) di Denpasar, Asana 
Viebeke L dari I am an Angel lebih jauh mengungkapkan, perbudakan anak tetap 
terjadi di jalanan, di pantai Kuta dan Legian.  Anak-anak itu usia hingga 12 
tahun berasal dari Karangasem Timur dan Kintamani bagian timur dekat Buleleng. 

        "Sejak bayi, mereka digendong orangtuanya mengemis.  Setelah bisa 
berjalan mereka disuruh meminta-minta  di pinggir jalan. Setelah lebih besar 
lagi disuruh menjual gelang. Usia 10-12 tahun dijadikan pekerja seks komersial 
(PSK)," tutur Asana.  Ia mengatakan, bos mereka keluarga sendiri yang lebih 
dewasa. Sekolah tidak menjadi prioritas.  Mereka diharuskan menjual gelang, 
mengemis, menjadi PSK. Jika pendapatan tidak memadai, mereka tidak dibolehkan 
tidur dan diharuskan terus bekerja di jalanan. 

         "Kalau mereka ditangkap, orangtuanya membayar  petugas Rp 2.000 s.d. 
Rp 20.000 tergantung jenis pekerjaan anaknya," katanya. 
        Asana menambahkan, bos/famili yang diketahui bertindak kejam mendapat 
keleluasaan untuk menentukan keputusan  terhadap anak-anak tersebut. 
Eksploitasi terus berlangsung.  "Hansip kantor lurah yang mengangkutnya juga 
menyakiti mereka dengan berbagai cara, seperti mencukur rambutnya, memukuli, 
menyuruh membersihkan toilet, merampas uangnya saat mereka menanti orangtua/bos 
yang akan menjemputnya," ujarnya. 

        Tempat mereka tinggal bersama orangtua/bos/sanak familinya di Jalan 
Mataram dan Jalan Kubu Anyar, Kuta.  Kawasan tempat mereka menjual gelang, 
Pantai Double Six, Jalan Benesari, dan Jalan Poppies. Mereka  selalu  berpindah 
tempat. Selain itu, ada lokasi tempat orang-orang yang lebih tua  bisa dilihat 
mendekati mereka. "Kaum pedofil ini sudah seperti orang asli Kuta.  Lokasinya 
di belakang hotel Jayakarta, bahkan ada kantornya.  Pukul  09.00-11.00 mereka 
mengajak anak-anak menyantap sarapan.  Alasan mereka,  memberi anak-anak 
pekerjaan seperti menjaga anjing atau pergi ke tukang penatu. Anak-anak 
diiming-imingi uang dan mereka dengan senang hati menerimanya," papar Asana. 

        Asana mengutip penuturan warga masyarakat Pedahan yang menyatakan, 
mereka  menghadapi masalah tidak adanya air. Padahal, sudah banyak LSM yang 
membangun cubang air. Rosela, jambu mete, lontar,  tumbuh bagus di  sana. Ada 
juga LSM yang memberi pelatihan membuat topi. Namun,  terganjal masalah  
pemasaran.   "Apakah dengan terbukanya pekerjaan, menjamin mereka tidak akan 
mengemis lagi?" ujarnya. 

        Ia berpandangan, yang harus diwaspadai bongkolnya yakni bapak atau 
omnya yang menjadi mafia.  "Hidup enak, anak-anak ini bisa menghasilkan Rp  3 
juta s.d 10 juta per bulan. Walau sudah ada cubang air, sudah ada lahan 
pekerjaan, fakta menunjukkan anak-anak mereka tetap masih mengemis," kata Asana.
        Mereka menjadi pengemis bukan karena miskin, namun  sudah ada indikasi 
sindikat atau mafia.  Jangan samakan permasalahan gepeng di Jakarta dengan di 
Bali. Mengemis sudah  menjadi sumber pendapatan stabil. Di desanya, ada rumah 
gedung milik bos dan mereka sudah mampu membeli ternak.  

        Tahun 2004, Asana bersama I am an Angel melakukan pemeriksaan pap smear 
kepada para ibu di Desa Pedahan Kaja. Kemaluan mereka  berbau dan lumutan. 
"Februari 2010 kami melayani 60 ibu untuk pap smear, sebagian besar mengalami 
penyakit menular seksual. Sudah ada infeksi dan mengarah kanker 70-90%," 
tandasnya.
        Sebagian besar  mereka mengonsumsi ketela dan jagung. Akibatnya, 
anak-anak kekurangan gizi dan yodium. 

        Ia berpandangan perlu rancangan program terpadu  yakni menjauhkan  
mereka dari jalanan dan melibatkan mereka dalam pembangunan di desanya, Bangun 
balai sebagai tempat mengumpulkan anak-anak dengan berbagai kegiatan. Arahkan 
mereka tinggal di panti asuhan sambil mengikuti kegiatan/pelatihan sesuai  usia 
dan potensinya.
        Kebanyakan jaringan ini bersifat homogen dari satu kelompok desa atau 
satu keluarga besar, jadi  lebih mudah diputuskan  jaringannya sebelum menjadi 
heterogen. Perlu penyuluhan kepada pemimpin/masyarakat di wilayah aktivitas 
mereka dan menggugah nuraninya bahwa anak Bali adalah anak mereka juga.  Ia 
berpendapat, perlu pararem dalam upaya mengatasi masalah gepeng ini.  

        Uang adalah  Segalanya
        Saat ini sekitar 300 anak bekerja sebagai pengemis dan tukang suun  
secara paksa di Pasar Badung. KPAID  Bali bekerja sama dengan Bagian Psikiatri 
FK Unud/RS Sanglah berhasil mewawancarai  31 anak yang termasuk dalam 
eksplotasi ekonomi/sosial tersebut.    Sekitar 25% usia mereka berkisar 10 
tahun.  Anak-anak di bawah 5 tahun tidak bisa dipantau, karena ibunya melarikan 
diri ketika didekati.
        Dari 31 anak tersebut, laki-laki 6 dan perempuan 25 orang. Sebanyak 58% 
berasal dari Desa Pedahan Kaja, 25% dari Desa Pedahan Klod, dan 16,12% dari 
Desa Tianyar, Karangasem.  Sebanyak 24 orang mengatakan tidak pernah mengenyam 
bangku sekolah, 6 orang pernah sekolah dan bisa membaca, satu orang bisa 
membaca karena belajar dari kakaknya. 

        Mereka di Denpasar hanya tinggal di tempat kos ukuran 3 x 2 meter. 
Sebanyak 5 orang mengatakan tinggal sekamar dengan 2-4 orang, 7 orang tinggal 
sekamar dengan 5-6 orang, dan 9 orang sekamar dengan 7 orang. 
        Lokasi tempat tinggal mereka di sekitar Jalan Kusuma Bangsa, Jalan 
Gunung Batukaru, Banjar Monang-maning, dan Jalan Penjahitan Banjar Kerandan 
Denpasar.  Alasan mereka datang ke Denpasar, ingin membantu orangtua membangun 
rumah di kampungnya. Ada juga yang beralasan bapaknya sakit, atau mencari bekal 
untuk membeli keperluan upacara odalan di kampungnya.

        Mereka beroperasi 3 shift, dan tidak merebut lahan saat mengemis.  
Jadwalnya, pukul 08.00-12.00,  14.00-18.00, dan  18.00-21.00. Sebagian 
anak-anak ini pindahan dari Kuta. Mereka mengaku, lebih sulit mengemis di Kuta 
karena banyak saingan.   Rata-rata penghasilan mereka Rp  20. 000, minimal Rp 
5.000, dan maksimal Rp 50.000.  Jika tinggal bersama orangtua, hasil mengemis 
diserahkan semuanya kepada orangtuanya. Jika mereka tinggal bersama bibi/kakak, 
uang mereka dipotong 20% untuk biaya kos.

        Dari 31 anak, 11 orang mengatakan tidak ingin sekolah, 14 orang 
mengatakan ingin bisa membaca, menulis, berhitung, dan 6 orang ingin 
melanjutkan sekolah. 
        Ketika ditanya cita-citanya, ada yang ingin menjadi presiden. 
Alasannya, presiden hidupnya enak.  Ada yang ingin bercita-cita menjadi guru, 
dokter, pengusaha, polisi, buka usaha foto, tukang masak, sopir, buruh.
        Sudah tertanam dalam benak anak-anak tersebut uang adalah segalanya. 
Ketika diwawancarai, mereka meminta uang untuk mau mengobrol. 

        Anak-anak ini rentan tindak kekerasan yang dilakukan teman mereka saat 
berebut penghasilan. Orangtua menjambak dan memukuli mereka kalau nakal dan 
tidak mau bekerja.  Kekerasan juga bisa dilakukan orang dewasa yang merasa 
tersaingi dalam meraih rezeki dari pengunjung pasar.
        Sebagian besar mereka tidak berani berobat ke klinik di Pasar Badung, 
walaupun gratis. Mereka hanya membeli obat di warung dan menggunakan loloh dan 
boreh. Tidak pernah ke puskesmas dengan alasan uangnya nanti habis.

        Ketua KPAID Bali Dokter Sri Wahyuni berpandangan, mereka perlu 
pendampingan sebagai motivator agar mereka percaya diri  bahwa hidup adalah 
perjuangan. Mereka juga membutuhkan bantuan pendidikan, keterampilan, 
kesehatan, penyediaan lahan pekerjaan dan bantuan pangan selama  masa transisi.
        Ketua LPA Prov. Bali Nyoman Masni, S.H. menyarankan, dalam menangani 
kasus gepeng  jangan menindak anak-anak. "Mereka hanya korban. Menggepeng bukan 
cita-cita mereka. Yang harus ditindak para bos dan yang memberi tempat 
tinggal/menampung mereka," ujarnya.   

        Perlu Perda dan Perarem
        I Nengah Sukarta dari Satpol PP Badung mengungkapkan, setelah 
ditangkap, gepeng  diangkut ke Dinas Sosial Badung, kemudian Dinas Sosial 
memulangkan mereka ke daerah asalnya. Besoknya, mereka datang lagi. Begitu 
seterusnya. 
        Satpol PP sudah berkoordinasi dengan  semua instansi terkait di 
masing-masing kecamatan. Para gepeng ini setelah ditangkap dikarantina di 
Kantor Lurah Kuta dan diberi pembinaan. Namun, kata Sukarta,  upaya tersebut 
masih belum maksimal. "Setelah titik strategis diawasi, mereka lari ke 
Denpasar," katanya. 

        Ia menganggap penting adanya peraturan daerah. Dalam perda diatur 
sanksi kepada yang memberikan uang. "Kalau para gepeng tidak mendapatkan uang 
dari mengemis,  mereka pasti akan tertarik mengikuti pelatihan yang diberikan 
beberapa LSM," ujarnya. 
        Ia mengungkapkan, di Jakarta ada fatwa MUI yang mengharamkan gepeng. 
"Apakah itu bisa juga  diterapkan di Bali?" ujar Sukarta.  

        Ketut Suparsa dari Dinas Trantib Kota Denpasar berpandangan, 
penyelesaian gepeng sekarang ini masih sendiri-sendiri sehingga belum tuntas.  
Di Denpasar ada kelompok anak jalanan punk. Usianya muda, penampilannya kumuh, 
tidak pernah mandi, dan tidur di emper toko.  Mereka pernah ditangkap kemudian 
dikembalikan ke orangtuanya. Tetapi, mereka tetap kembali ke jalanan. Ia pun 
berpendapat, diperlukan perda yang ada sentuhan humanisnya. "Diatur pos 
penertibannya, ke mana mereka akan dibawa. Harus ada penyaluran yang tepat  
agar mereka berhenti menjadi anak jalanan. Setelah ada perda, kemudian dibuat 
pararem," katanya. 
       

   

<<image001.png>>

<<image002.png>>

<<image003.jpg>>

Kirim email ke