Mbak, kisah ibu ini menyentuh sekali. Saya pernah mengalaminya. Thank you and regards, Ella
email address: [EMAIL PROTECTED] ----- Original Message ----- From: <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Thursday, February 27, 2003 3:32 PM Subject: [balita-anda] Terima kasih Tuhan, telah mengingatkanku. > Ini di-forward oleh seorang teman.... cukup menyentuh buat direnungkan para > ibu ....hiks... > > -------------------------------------- > > Terima kasih Tuhan, telah mengingatkanku. > > > Sore, pulang kantor, seperti biasa aku menunggu bis didepan Chase Plaza, > untuk membawaku pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang masih berusia > 2 tahun dan 9 bulan. Mikhail dan Fara namanya. Cuaca menggerahkan > tubuhku. > Penat seharian kerja, dengan segala masalah yang ada selama bekerja. Sudah > seminggu ini aku selalu lupa menanyakan keadaan kedua anakku Entah > menanyakan sudah makan siang atau belum, bagaimana keseharian mereka, atau > hanya sekedar memainkan telfon untuk mendengarkan suara sang buah hatiku, > si > sulung Mikhail yang sudah banyak bicara. Bahkan aku juga lupa bahwa saat > ini kedua buah hati tercinta sedang sakit flu. Aku terlalu sibuk sehingga > sempat melupakan mereka. > Tapi ah, aku pikir aku meninggalkan buah hati bersama orangtuaku dan > pengasuhnya. Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu? Jahatkah aku? > Aku rasa betul, aku jahat. Tapi aku lebih mementingkan pekerjaanku > daripada > keluargaku. > > Aku termenung. Tadi pagi sebelum berangkat aku lagi-lagi lupa membekalkan > suami dengan dua potong roti omelete kesukaannya. Aku juga lupa > membekalkan > teh hangat manis dimobilnya. Aku sempat merajuk gara-gara suamiku > menanyakan sarapan rutinnya untuk dimobil. Aku kan cape Mas, aku kan harus > siapkan bekal anak-anak sebelum mereka dititipkan ketempat Oma-nya. Aku > kan > harus selesaikan cucian sebelum aku mandi tadi pagi. Dan sejuta alasanku > untuk tidak lagi dibahas masalah sarapan rutin mobil. Dan ini sudah > terjadi > selama satu minggu pula. Ah, aku juga melupakan kebiasaanku yang disukai > suami, ternyata. Bahkan, aku lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu > ini. > > Bahkan, akupun lupa Shalat sudah seminggu ini !!! Alangkah ajaibnya > diriku. > Tapi kurasa Tuhan mengerti. Begitu pikirku selama dikantor. Dan akupun > tenggelam dengan pekerjaanku dikantor. > > Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5.25 sore, langit mendung, dengan > udara > lembab. Haus. Aku lupa minum sebelum pulang tadi. Mestinya aku sediakan > segelas minum untuk bekalku diperjalanan. Aku membutuhkan 2 jam perjalanan > dari kantor sampai rumahku di Bintaro. Lagi-lagi, alasan sibuk yang > membuatku lupa membawa gelas hijauku yang dulu biasa "tidur" > dalam tasku. > > Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang kakak beradik, anak pengamen > jalanan. Tidak beralas kaki, kotor dan kumuh. Usia mereka sekitar 4 dan 2 > tahun. Mataku tertuju dengan sang adik. Wajahnya kuyu. > Kotor dan diam. Terlihat wajah manisnya walaupun kurasa anak kecil itu > tidak pernah mandi. Tidak beralas kaki. Terlihat ada luka ditelapak > kakinya yang mungil, semungil telapak kaki buah hatiku Mikhail. Sang adik > tertawa saat seorang wanita muda memberikan pecahan Rp. 2000 kepada > kakaknya. Alangkah senangnya si kakak. Diberikan selembar kepada sang > adik, dan sang adikpun menerima dengan hati riang. Dipandangnya uang > lembaran Rp. 1000 itu sambil bernyanyi kecil. Ah, dia menyanyikan lagu > masa kecilku dulu. Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya. Aku membayangkan > buah hatiku Mikhail menyanyikan lagu itu. Pasti tangannya tidak lepas dari > pipiku, karena pada bait lagu "dor" buah hatiku selalu memukul pipiku. Aku > tersenyum pada si kecil. Suaranya. Ya, suaranya masih pula cadel. Tangan > kanannya memegang lembaran seribuan, tangan kirinya memegang alat musik > kecrekan dari tutup botol. Alangkah polos wajahnya. Sang kakak duduk > ditrotoar sambil menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik. Kutahu, > pasti dia tidak keramas. Uh, mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci > rambut? > > Tiba-tiba saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35 sore. Belum gelap. > Tapi aku tak tahu sudah berapa bis jurusanku yang terlewatkan karena > kekhusyukanku memandang 2 bocah polos didepanku?. Aku rogoh dompetku. > Duh, makin menipis. Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil. Aku > juga harus beli alat kosmetikku yang sudah hancur dimainkan anak sulungku. > Pokoknya aku memang harus beli hari ini. Tapi pemandangan didepanku > meluluhkan hatiku. Kuambil selembar duapuluh ribuan dan kuberikan kepada > sang kakak. Terkejut, tentu saja. Sang adik tidak kalah terkejut. Sambil > teriak, sang adik bertanya pada kakaknya: aku bisa makan hari ini ya kak > ya. > Hhh.. aku tersenyum pilu. Begitu bahagianya mereka menerima lembaran > dariku. Aku tegur kakaknya "kamu berdua belum makan?" Pertanyaanku dijawab > dengan sebuah anggukan kepala yang pelan. > Saat itu juga aku menitikkan air mata. Aku kasihan sekali. Adiknya tidak > memakai celana apapun. Bahkan aku bisa melihat bahwa adiknya seorang > perempuan. Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan > percakapanku > dengan bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka. Beberapa ada yang > memberikan selembar 5000an. Ah, Jakarta ! > > "Kamu mau makan? Mau saya belikan makanan?" Lagi-lagi pertanyaanku dijawab > dengan sebuah anggukan kecil. Sang adik tersenyum kepadaku. Ah, polosnya > senyuman itu. Tanpa beban. Tanpa arti. Tapi yang kutahu, senyuman itu > senyuman bahagia dari kepolosannya. Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi > Padang didekat Chase Plaza, kantorku. Aku tawarkan makanan sesuka mereka. > Raut wajah mereka memucat. Aku mengerti, mereka sudah lapar dan dahaga. > Kupandangi mereka makan. Duh, lahapnya. Aku sendiri tidak makan seharian > tadi, karena lagi-lagi kesibukanku dikantor. Apakah aku sudah sedemikian > kuatnya sehingga aku mampu melupakan makan siang, mampu melupakan > kewajibanku sebagai istri dan ibu dari 2 orang buah hati terkasih? Aku > ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan. Duh, rokok tidak pernah lepas > dariku, seakan dialah pasangan hidupku. Kuperhatikan sang adik. "Siapa > nama kamu?" Jawaban malu-malu keluar dari bibirnya "Ririn, Ibu". Ah, > namanya Ririn. Sebuah nama indah. > > Tapi kenapa nasibnya tidak indah?. Aku melamun. Tiba-tiba saja aku jadi > cengeng luar biasa. Airmataku menitik. Duh, sejahat inikah yang namanya > Jakarta? Hingga mampu menciptakan dua orang bocah yang sedang makan > dihadapanku menjadi pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya > ditengah-tengah gedung tinggi? Bahkan, celana dalampun mereka tidak punya. > Mungkin punya, tapi cuma beberapa. Aku tidak menanyakan hal itu. > Kurasa tidak perlu. Bodohnya aku !. > > "Kamu rumah dimana?" Aku tidak mendapatkan jawaban. Hanya gelengan kepala > si kecil. Ah, mereka tidak punya rumah. Rumah mereka di bedeng kardus, > dekat stasiun Senen. "Jalan kaki dan numpang bis dari Senen untuk ngamen" > kata sang kakak. Aku melamun. Kuhisap rokokku dalam-dalam. > Rumah kardus? Pengap? Tanpa orang tua? Nyamuk? Penyakit? Kotoran > dimana-mana? Adakah yang peduli dengan masa depan Ririn kecil? Adakah > yang > peduli? Kenapa mereka ada di Jakarta? Kenapa bisa bertemu denganku > disini? > Tiba-tiba saja lamunanku buyar. "Ibu, terima kasih kami sudah makan enak". > Mataku berkaca-kaca. "Ya, sama-sama. Semoga kamu kenyang dan senang" > jawabku berat. Ririn kecil tersenyum. Kurasa ia kekenyangan. > Keringat didahinya berbicara. Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya. > Bunyinya tidak beraturan. Tidak ada nada sama sekali. Hanya suara > cadelnya > yang membuatku tersenyum. Aku berkaca-kaca. Senangnya bisa memberikan > arti > buat mereka. "Ibu, jangan melamun. Aku mau nyanyi buat Ibu". Ah, > menyanyi? Buatku? Apa istimewanya aku?. Aku tertegun. > Suara cadel itu. Suara polos itu. Mereka menyanyikan sebuah lagu untukku. > Aku tidak mengerti lagunya. Tapi terdengar indah ditelingaku. > Ah, aku diberi hadiah: lagu !. > "Sekarang kamu berdua pulang. Masih ada yang merindukan kamu berdua. Ini > bekal buat dijalanan". Aku berikan selembar duapuluh ribuan, seliter air > mineral, roti manis dan sandal buat kedua bocah itu. Kebesaran. Tapi > tidak > apa. Mereka senang sekali memakai sandal baru. Aku pandangi kedua bocah > dengan senyum. Mereka berlarian mengejar bis. Entah kemana lagi mereka > pergi. Mencari uang lagikah? Atau pulang kerumah kardus mereka di > pinggiran stasiun Senen seperti ucapan mereka tadi? Aku terharu, air > mataku > menetes. Ah Jakarta... jahat sekali kamu. > > Sudah jam 7 lewat 10. Aku pasti terlambat sekali sampai rumah ibuku. Aku > harus menjemput buah hatiku dan setelah itu pulang kerumahku. Aku duduk > dalam bis. Terdiam. Aku lagi-lagi meneteskan airmata. Apakah aku ditegur > Tuhan? Apakah aku disentil olehNya? Mata polos itu. Mata polos itu > menegurku, Tuhan. > > Aku lupa bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya untukku. Aku lupa > dengan anak-anakku. Aku lupa dengan suami dan tanggung jawabku sebagai ibu > dan istri. Mata Ririn kecil menusukku tajam. Aku ditegur olehnya. > Oleh mata kecil polos tanpa duka itu. > > Fara kecil tertidur dipangkuanku. Mikhail, buah hatiku yang sulung dengan > mesra memainkan rambut Papanya. "Papa, hari ini aku sudah bisa belajar > mewarnai. Hari ini aku tadi makannya banyak. Aku tadi mau minum obat. > Aku > hari ini jadi anak Papa yang pintar". Celotehannya yang cadel membuatku > tersenyum berkaca-kaca. "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama?" tanyaku. > "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama. Mama kan mama yang sibuk". Bahkan > si sulungpun kini sudah mulai menjauh dariku. Dia malah lebih sayang > dengan > Papanya. Suamiku. Duh, rasanya seperti tertusuk jarum. Sakit. Tapi aku > diam. Ini memang semua salahku. > > Tertidur. Mikhail dan Fara tertidur sudah. Tanggapan akan ceritaku dari > suami, hanya tersenyum. Bijaksana sekali. "Itulah teguran Allah untukmu. > Maka bersujudlah. Mohon ampun padaNya". Malam itu juga aku Shalat. > Memohon ampun pada yang Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu. Mohon ampun > telah melupakanNya. > > Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta. Pulas. Tampak genangan > liur dibantal mereka. Fara tersenyum. Buah hati kecilku itu kalau tidur > memang suka tersenyum kecil. Sayangnya Mama... > > Setetes air mata kembali mengalir dipipiku. Entah siapa kedua bocah yang > kutemui sore tadi sepulang kantor, entah siapa Ririn kecil yang memandangku > polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah lagu untukku disebuah > warung nasi. Yang aku tahu, mata lugu itu telah menegurku dengan sangat > tajam. Terima kasih Allah, telah mengirimkan dua bocah kecil, miskin tiada > arti, untuk merubah hidupku. Mungkinkah mereka Engkau kirim untukku? > > Jakarta, February 20, 2003 Dari seorang Ibu. > > > > --------------------------------------------------------------------- > >> Bunga untuk rayakan kelahiran ? ----> http://www.indokado.com/kelahiran.html > >> Info balita, http://www.balita-anda.com > >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] > --------------------------------------------------------------------- >> Bunga untuk rayakan kelahiran ? ----> http://www.indokado.com/kelahiran.html >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]