Saya juga mengalami hal tersebut, sediih banget waktu dia cari mama tapi
yang didatanginya pengasuhnya... tapi Alhamdulillah sekarang tiap pulang
kerja ataupun saat libur saya dan suami yang full pegang dia, dan saya
istirahatkan pengasuhnya... sehingga dia tahu bahwa mbaknya hanya
menggantikan bunda dan ayah bila sedang bekerja.
Bunda AQILLA


-----Original Message-----
From: Kamariah Latief [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: 28 Februari 2003 8:54
To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Terima kasih Tuhan, telah mengingatkanku.



Cerita yang sangat menyentuh dan membuatku meneteskan air mata pagi ini.
Namun air mata ini adalah rasa syukur karena masih ada yang berbaik hati
mengingatkan kita.

Memang anak-anak itu penuh dengan kepolosan dan tidak ada rekayasa apalagi
intrik di dalah hati dan pikirannya. Makanya kita akan bisa hidup dengan
enteng dan bahagia tanpa beban jika kita bisa bersikap seperti anak kecil
yang Gampang Memaafkan dan Tidak Menyimpan Dendam serta selalu ceria.

Saya pernah 'diuji' kesabaran juga oleh-Nya pada saat saya mengalami
kecelakaan lalu lintas sehingga saya harus istirahat selama kurang lebih 2
bulan. Anak saya baru berusia 8 bulan. Karena selama sakit saya di rumah
sakit dan hanya sekali2 nengok saya, anak saya memanggil saya 'Mbak' dan
baby sitternya dipanggil 'Mama'.
Sepulang ke rumah, penerimaan anak saya tersebut terasa lebih menyakitkan
daripada penderitaan fisik yang saya alami akibat kecelakaan. Saya coba beri
pengertian ke BS supaya menolak jika dipanggil Mama, namun anak saya selalu
meronta-ronta ingin selalu lari ke BS-nya jika saya sentuh. Saya benar-benar
seperti asing buatnya.  Selama masa ini, saya sering menangis curhat ke Ibu
saya. Ibu hanya menyarankan saya bersabar karena ketulusan kita mencintai
pasti akan lebih besar dari BS dan lama kelamaan anak akan merasakan itu.
Tadinya saya ingin menyuruh BS saya pulang dan saya ganti dengan yang lain.
Tapi setelah dipikir2 saya khawatir anak saya malah akan semakin kehilangan
orang yang selama ini menyayangi dia dan mengurus dia. 
Kondisi ini baru bisa normal kembali dalam waktu kira2 4 bulan. Setelah 4
bln barulah anak saya memanggil saya 'Mama'.
Itulah kepolosan anak dan mereka tidak sekedar memerlukan kata 'sayang' dari
kita sebagai orang tua, tapi harus kita buktikan dengan perhatian tulus
kepada mereka.

Ini sekedar sharing pengalaman semoga rekans netter tidak akan mengalaminya.
Salam,
Ria

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, February 27, 2003 3:33 PM
To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]
Subject: [balita-anda] Terima kasih Tuhan, telah mengingatkanku.

Ini di-forward oleh seorang teman.... cukup menyentuh buat direnungkan para
ibu ....hiks...

--------------------------------------

Terima kasih Tuhan, telah mengingatkanku.


Sore, pulang kantor, seperti biasa aku menunggu bis didepan Chase Plaza,
untuk membawaku pulang, bertemu dengan kedua anak-anakku yang masih berusia
2 tahun dan 9 bulan.  Mikhail dan Fara namanya.  Cuaca menggerahkan
tubuhku.
Penat seharian kerja, dengan segala masalah yang ada selama bekerja.  Sudah
seminggu ini aku selalu lupa menanyakan keadaan kedua anakku Entah
menanyakan sudah makan siang atau belum, bagaimana keseharian mereka, atau
hanya sekedar memainkan telfon untuk mendengarkan suara sang buah hatiku,
si
sulung Mikhail yang sudah banyak bicara.  Bahkan aku juga lupa bahwa saat
ini kedua buah hati tercinta sedang sakit flu.  Aku terlalu sibuk sehingga
sempat melupakan mereka.
Tapi ah, aku pikir aku meninggalkan buah hati bersama orangtuaku dan
pengasuhnya.  Jadi, untuk apa aku pusingkan akan hal itu?  Jahatkah aku?
Aku rasa betul, aku jahat.  Tapi aku lebih mementingkan pekerjaanku
daripada
keluargaku.

Aku termenung.  Tadi pagi sebelum berangkat aku lagi-lagi lupa membekalkan
suami dengan dua potong roti omelete kesukaannya.  Aku juga lupa
membekalkan
teh hangat manis dimobilnya.  Aku sempat merajuk gara-gara suamiku
menanyakan sarapan rutinnya untuk dimobil.  Aku kan cape Mas, aku kan harus
siapkan bekal anak-anak sebelum mereka dititipkan ketempat Oma-nya.  Aku
kan
harus selesaikan cucian sebelum aku mandi tadi pagi.  Dan sejuta alasanku
untuk tidak lagi dibahas masalah sarapan rutin mobil.  Dan ini sudah
terjadi
selama satu minggu pula.  Ah, aku juga melupakan kebiasaanku yang disukai
suami, ternyata.  Bahkan, aku lupa minta maaf dengan kelakuanku seminggu
ini.

Bahkan, akupun lupa Shalat sudah seminggu ini !!!  Alangkah ajaibnya
diriku.
Tapi kurasa Tuhan mengerti.  Begitu pikirku selama dikantor.  Dan akupun
tenggelam dengan pekerjaanku dikantor.

Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5.25 sore, langit mendung, dengan
udara
lembab.  Haus.  Aku lupa minum sebelum pulang tadi.  Mestinya aku sediakan
segelas minum untuk bekalku diperjalanan.  Aku membutuhkan 2 jam perjalanan
dari kantor sampai rumahku di Bintaro.  Lagi-lagi, alasan sibuk yang
membuatku lupa membawa gelas hijauku yang dulu biasa "tidur"
dalam tasku.

Pada saat itulah mataku tertuju dengan 2 orang kakak beradik, anak pengamen
jalanan.  Tidak beralas kaki, kotor dan kumuh.  Usia mereka sekitar 4 dan 2
tahun.  Mataku tertuju dengan sang adik.  Wajahnya kuyu.
Kotor dan diam.  Terlihat wajah manisnya walaupun kurasa anak kecil itu
tidak pernah mandi.  Tidak beralas kaki.  Terlihat ada luka ditelapak
kakinya yang mungil, semungil telapak kaki buah hatiku Mikhail.  Sang adik
tertawa saat seorang wanita muda memberikan pecahan Rp.  2000 kepada
kakaknya.  Alangkah senangnya si kakak.  Diberikan selembar kepada sang
adik, dan sang adikpun menerima dengan hati riang.  Dipandangnya uang
lembaran Rp.  1000 itu sambil bernyanyi kecil.  Ah, dia menyanyikan lagu
masa kecilku dulu.  Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.  Aku membayangkan
buah hatiku Mikhail menyanyikan lagu itu.  Pasti tangannya tidak lepas dari
pipiku, karena pada bait lagu "dor" buah hatiku selalu memukul pipiku.  Aku
tersenyum pada si kecil.  Suaranya.  Ya, suaranya masih pula cadel.  Tangan
kanannya memegang lembaran seribuan, tangan kirinya memegang alat musik
kecrekan dari tutup botol.  Alangkah polos wajahnya.  Sang kakak duduk
ditrotoar sambil menghalau lalat yang berseliweran dikepala adik.  Kutahu,
pasti dia tidak keramas.  Uh, mandi saja mungkin jarang apalagi mencuci
rambut?

Tiba-tiba saja, waktu sudah menunjukkan pukul 5.35 sore.  Belum gelap.
Tapi aku tak tahu sudah berapa bis jurusanku yang terlewatkan karena
kekhusyukanku memandang 2 bocah polos didepanku?.  Aku rogoh dompetku.
Duh, makin menipis.  Aku harus beli susu sang buah hatiku yang kecil.  Aku
juga harus beli alat kosmetikku yang sudah hancur dimainkan anak sulungku.
Pokoknya aku memang harus beli hari ini.  Tapi pemandangan didepanku
meluluhkan hatiku.  Kuambil selembar duapuluh ribuan dan kuberikan kepada
sang kakak.  Terkejut, tentu saja.  Sang adik tidak kalah terkejut.  Sambil
teriak, sang adik bertanya pada kakaknya: aku bisa makan hari ini ya kak
ya.
Hhh..  aku tersenyum pilu.  Begitu bahagianya mereka menerima lembaran
dariku.  Aku tegur kakaknya "kamu berdua belum makan?" Pertanyaanku dijawab
dengan sebuah anggukan kepala yang pelan.
Saat itu juga aku menitikkan air mata.  Aku kasihan sekali.  Adiknya tidak
memakai celana apapun.  Bahkan aku bisa melihat bahwa adiknya seorang
perempuan.  Beberapa orang yang sedang menunggu bis, menjadikan
percakapanku
dengan bocah-bocah itu sebagai tontonan mereka.  Beberapa ada yang
memberikan selembar 5000an.  Ah, Jakarta !

"Kamu mau makan?  Mau saya belikan makanan?" Lagi-lagi pertanyaanku dijawab
dengan sebuah anggukan kecil.  Sang adik tersenyum kepadaku.  Ah, polosnya
senyuman itu.  Tanpa beban.  Tanpa arti.  Tapi yang kutahu, senyuman itu
senyuman bahagia dari kepolosannya.  Aku ajak mereka ke sebuah warung nasi
Padang didekat Chase Plaza, kantorku.  Aku tawarkan makanan sesuka mereka.
Raut wajah mereka memucat.  Aku mengerti, mereka sudah lapar dan dahaga.
Kupandangi mereka makan.  Duh, lahapnya.  Aku sendiri tidak makan seharian
tadi, karena lagi-lagi kesibukanku dikantor.  Apakah aku sudah sedemikian
kuatnya sehingga aku mampu melupakan makan siang, mampu melupakan
kewajibanku sebagai istri dan ibu dari 2 orang buah hati terkasih?  Aku
ambil rokok mentholku, dan kuhisap perlahan.  Duh, rokok tidak pernah lepas
dariku, seakan dialah pasangan hidupku.  Kuperhatikan sang adik.  "Siapa
nama kamu?" Jawaban malu-malu keluar dari bibirnya "Ririn, Ibu".  Ah,
namanya Ririn.  Sebuah nama indah.

Tapi kenapa nasibnya tidak indah?.  Aku melamun.  Tiba-tiba saja aku jadi
cengeng luar biasa.  Airmataku menitik.  Duh, sejahat inikah yang namanya
Jakarta?  Hingga mampu menciptakan dua orang bocah yang sedang makan
dihadapanku menjadi pengamen jalanan dengan alat kecrekan seadanya
ditengah-tengah gedung tinggi?  Bahkan, celana dalampun mereka tidak punya.
Mungkin punya, tapi cuma beberapa.  Aku tidak menanyakan hal itu.
Kurasa tidak perlu.  Bodohnya aku !.

"Kamu rumah dimana?" Aku tidak mendapatkan jawaban.  Hanya gelengan kepala
si kecil.  Ah, mereka tidak punya rumah.  Rumah mereka di bedeng kardus,
dekat stasiun Senen.  "Jalan kaki dan numpang bis dari Senen untuk ngamen"
kata sang kakak.  Aku melamun.  Kuhisap rokokku dalam-dalam.
Rumah kardus?  Pengap?  Tanpa orang tua?  Nyamuk?  Penyakit?  Kotoran
dimana-mana?  Adakah yang peduli dengan masa depan Ririn kecil?  Adakah
yang
peduli?  Kenapa mereka ada di Jakarta?  Kenapa bisa bertemu denganku
disini?
Tiba-tiba saja lamunanku buyar.  "Ibu, terima kasih kami sudah makan enak".
Mataku berkaca-kaca.  "Ya, sama-sama.  Semoga kamu kenyang dan senang"
jawabku berat.  Ririn kecil tersenyum.  Kurasa ia kekenyangan.
Keringat didahinya berbicara.  Lalu ia mulai memainkan kecrekan gembelnya.
Bunyinya tidak beraturan.  Tidak ada nada sama sekali.  Hanya suara
cadelnya
yang membuatku tersenyum.  Aku berkaca-kaca.  Senangnya bisa memberikan
arti
buat mereka.  "Ibu, jangan melamun.  Aku mau nyanyi buat Ibu".  Ah,
menyanyi?  Buatku?  Apa istimewanya aku?.  Aku tertegun.
Suara cadel itu.  Suara polos itu.  Mereka menyanyikan sebuah lagu untukku.
Aku tidak mengerti lagunya.  Tapi terdengar indah ditelingaku.
Ah, aku diberi hadiah: lagu !.
"Sekarang kamu berdua pulang.  Masih ada yang merindukan kamu berdua.  Ini
bekal buat dijalanan".  Aku berikan selembar duapuluh ribuan, seliter air
mineral, roti manis dan sandal buat kedua bocah itu.  Kebesaran.  Tapi
tidak
apa.  Mereka senang sekali memakai sandal baru.  Aku pandangi kedua bocah
dengan senyum.  Mereka berlarian mengejar bis.  Entah kemana lagi mereka
pergi.  Mencari uang lagikah?  Atau pulang kerumah kardus mereka di
pinggiran stasiun Senen seperti ucapan mereka tadi?  Aku terharu, air
mataku
menetes.  Ah Jakarta...  jahat sekali kamu.

Sudah jam 7 lewat 10.  Aku pasti terlambat sekali sampai rumah ibuku.  Aku
harus menjemput buah hatiku dan setelah itu pulang kerumahku.  Aku duduk
dalam bis.  Terdiam.  Aku lagi-lagi meneteskan airmata.  Apakah aku ditegur
Tuhan?  Apakah aku disentil olehNya?  Mata polos itu.  Mata polos itu
menegurku, Tuhan.

Aku lupa bersyukur dengan apa yang telah diberikanNya untukku.  Aku lupa
dengan anak-anakku.  Aku lupa dengan suami dan tanggung jawabku sebagai ibu
dan istri.  Mata Ririn kecil menusukku tajam.  Aku ditegur olehnya.
Oleh mata kecil polos tanpa duka itu.

Fara kecil tertidur dipangkuanku.  Mikhail, buah hatiku yang sulung dengan
mesra memainkan rambut Papanya.  "Papa, hari ini aku sudah bisa belajar
mewarnai.  Hari ini aku tadi makannya banyak.  Aku tadi mau minum obat.
Aku
hari ini jadi anak Papa yang pintar".  Celotehannya yang cadel membuatku
tersenyum berkaca-kaca.  "Mikhail enggak mau cerita dengan Mama?" tanyaku.
"Mikhail enggak mau cerita dengan Mama.  Mama kan mama yang sibuk".  Bahkan
si sulungpun kini sudah mulai menjauh dariku.  Dia malah lebih sayang
dengan
Papanya.  Suamiku.  Duh, rasanya seperti tertusuk jarum.  Sakit.  Tapi aku
diam.  Ini memang semua salahku.

Tertidur.  Mikhail dan Fara tertidur sudah.  Tanggapan akan ceritaku dari
suami, hanya tersenyum.  Bijaksana sekali.  "Itulah teguran Allah untukmu.
Maka bersujudlah.  Mohon ampun padaNya".  Malam itu juga aku Shalat.
Memohon ampun pada yang Kuasa atas kemalasanku sebagai Ibu.  Mohon ampun
telah melupakanNya.

Kupandang kedua wajah polos buah hatiku tercinta.  Pulas.  Tampak genangan
liur dibantal mereka.  Fara tersenyum.  Buah hati kecilku itu kalau tidur
memang suka tersenyum kecil.  Sayangnya Mama...

Setetes air mata kembali mengalir dipipiku.  Entah siapa kedua bocah yang
kutemui sore tadi sepulang kantor, entah siapa Ririn kecil yang memandangku
polos, entah siapa yang telah menyanyikan sebuah lagu untukku disebuah
warung nasi.  Yang aku tahu, mata lugu itu telah menegurku dengan sangat
tajam.  Terima kasih Allah, telah mengirimkan dua bocah kecil, miskin tiada
arti, untuk merubah hidupku.  Mungkinkah mereka Engkau kirim untukku?

Jakarta, February 20, 2003 Dari seorang Ibu.



---------------------------------------------------------------------
>> Bunga untuk rayakan kelahiran ? ---->
http://www.indokado.com/kelahiran.html
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Bunga untuk rayakan kelahiran ? ---->
http://www.indokado.com/kelahiran.html
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Bunga untuk rayakan kelahiran ? ----> http://www.indokado.com/kelahiran.html
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke