hiks....ibu's en bapak's.............Sumimasen jika sudah pernah baca...........
Mata aimasho, *ygabisdiajarincakapniponmabapak2miliisBAjuga* ========================================================= Perselingkuhan itu membawa dua korban berikutnya: isteri dan anaknya. Mereka pun tertular HIV. ***** "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV…" Pagi, siang, sore dan malam, aku sebagai istri selalu setia menemani suamiku, selalu melayani keperluannya lahir-batin. Setiap terjadi debat mulut, aku yang mengalah. Padahal permasalahan yang kuhadapi sangat menusuk hati, sangat perih sekali. Suamiku berselingkuh dengan wanita lain. Buktinya, aku menemukan celana dalam perempuan tersimpan di dalam lemari pakaian suamiku. Namun demikian, aku yang ditakdirkan Ilahi sebagai seorang istri, tetap setia kepadanya. Aku maafkan dia asalkan tidak mengulangi perbuatan kejinya. Saking percayanya aku kepadanya, setiap kami berhubungan badan, kubiarkan dia tidak memakai alat kontrasepsi. Ternyata, ia kembali menoreh dosa. Akibatnya, aku dan putra bungsuku tertular virus HIV. Ya Tuhan, apa salahku? Inilah kisahku. Sebelumnya aku memohon maaf karena nama yang kuungkapkan di sini selain namaku adalah nama samaran. Namaku Yanti, 39 tahun. Aku mengidap penyakit HIV/AIDS dari suamiku, Yanto, 41. Kini. virus itu menjadi momok yang mengerikan bagiku. Aku tidak hanya menderita fisik, tapi juga harus memendam derita batin yang berkepanjangan. Derita inilah yang sangat menyakitkanku. Aku dikucilkan dari lingkungan sosial. Bagiku, dunia seakan kiamat. Aku shock dan putus asa. Roda nasibku bagaikan berputar tiga ratus enam puluh derajat menggelinding ke bawah, ketika Yanto, divonis positif terserang HIV, kuman penyebab penyakit AIDS. Virus yang menyerang sel darah putih dan menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang infeksi dari berbagai penyakit itu memang lelah bersarang di tubuh suamiku Ia dari hari ke hari tak kunjung sembuh. Tubuhnya kian menipis. Aku sangat terkejut ketika mengetahui ia positif mengidap HIV/AIDS. "Kalau tidak percaya silakan Anda kembali melakukan pemeriksaan darah ulang di laboratonum," kata dokter Kepada suamiku dan diriku yang menemaninya berobat. Aku panik, bingung, sedih, kesal bahkan marah bercampur baur menyatu. Mengapa dia bisa mengidap penyakit itu? Apa salahku kepada suami? Apakah suamiku berselingkuh? Seribu pertanyaan menggumpal di benakku. Tubuhku lemas. Namun, aku tidak mau terus menerus tersiksa prasangka yang tidak-tidak. Walau hatiku tertusuk, aku harus menerima nasib buruk ini. Sebagai seorang istri, aku harus tegar dan tabah. Aku akan berbuat baik kepada suamiku, aku harus menjalankan kewajibanku sebagai seorang ibu rumah tangga dengan baik. Termasuk pula melakukan hubungan suami-istri. Setiap kali kami menjalani hubungan suami-istri, ia memakai kondom, Aku tidak peduli setelah bersebadan dengan suamiku akan tertular virus HIVyang dimungkinkan penularannya lewat hubungan seks. Setelah beberapa bulan berperang melawan penyakit AIDS, akhirnya suamiku tidak bisa bertahan juga. Ia yang aku cintai meninggal dunia di tahun 2002. Semenjak kepergian suamiku itu, barulah aku tersadar dengan kesehatan diriku, yang semakin hari semakin menipis. Sebetulnya, aku sudah berani menduga, tapi toh ketika aku memeriksakan diri ke laboratorium dan mengetahui diriku tertular HIV, batinku memberontak. "Tidak!...''' Aku berteriak sekencang-kencangnya setelah tiba di rumah. Tubuh, tangan dan kakiku bergerak tak menentu. Semua benda yang berada di depanku, aku lempar hingga pecah. Kepalaku yang bulat ini, aku adukan dengan daun pintu rumahku. Tubuhku dirasuki setan. Dunia ini tiba-tiba gelap gulita. Badanku terasa lemas dan rasanya tidak mampu lagi melanjutkan hidup ini. Wahai Sang Pencipta, kenapa Engkau limpahkan pendentaan ini kepadaku? Kenapa?! Rasa frustrasi mencengkramku. Sampai-sampai semua barang rumah tangga yang aku miliki seperli AC, kulkas dan sebagainya, aku berikan pada adik dan kakakku. Aku tidak berguna lagi, aku sudah dihadang maut. Aku akan meninggalkan dunia. Aku tinggal menunggu waktu saja. Saat itu, aku pun mengucapkan Selamat Tinggal Dunia. Selanjutnya, aku mengurung diri dan hidup dalam keputusasaan. Namun, kedua orangtuaku, tidak usah kusebutkan namanya terus memberikan semangat hidup. "Jodoh, rejeki dan maut di tangan Tuhan. Orang sehat pun kalau Tuhan berkehendak sekarang meninggal, ya meninggal! Jadi kamu jangan menyia- nyiakan usia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa, apalagi kamu punya anak. Kasihan mereka," kata Ibuku. Lambat laun luka hati yang bersarang di tubuhku mulai pulih, Semangat untuk hidup pun muncul kembali. Karena itulah aku rajin memeriksakan diri ke dokter. Walau demikian, aku lidak dendam dengan suamiku yang telah menularkan penyakit berbahaya itu. Buat apa, nasi sudah menjadi bubur. Aku yakin, semua penderitaan ini ada hikmahnya. Jadi, aku harus menerima cobaan ini dengan lapang dada. Sejak itulah, sehari-hari, aku isi waktu dengan beribadah. Aku berdoa memohon ampun atas kesalahan diriku. Aku juga memohon kepadaNya agar mengampuni kesalahan suamiku yang telah meninggalkan kami. Kenangan manis itu... Ya Rabbi, kenangan baik-buruk ilu masih melekat di lubuk hatiku. Izinkan aku mengenangnya. Bagiku, Yanto tipe suami yang baik dan berperilaku santun. Kami berkenalan, kemudian akrab dan akhirnya saling jatuh cinta, Ketika itu aku bekerja di sebuah perusahaan swasta, bahan kimia, sedangkan dia menjadi salah satu distributor di perusahaan tersebut. Dengan kesepakatan dan ikatan batin, akhirnya Yanto meminangku. Kami menikah 18 Mei 1996 di daerah Jakarta Pusat. Bahtera rumah tanggaku berjalan mulus dan cukup harmonis. Apalagi pada 21 September 1997, kami dikaruniai anak pertama, Buah hati kami itu kami beri nama Bella, Ia adalah anak perempuan yang manis dan menggemaskan. Aku bahagia sekali. Rasanya dunia ini milik kami bertiga, tidak ada yang bisa mengganggu kebahagiaan ini. Belaian kasih sayang aku berikan kepada Bella dan suamiku. Namun sayang, karena kondisiku yang memprihatinkan, putri pertamaku itu, aku titipkan kepada kerabat dekatku di sebuah tempat yang dirahasiakan. Maklumlah kondisi dan taraf hidup kami masih di bawah, sangat memprihatinkan. Biarlah Bella tidak mengetahui kondisiku sehingga ia tidak terbebani. Karena itulah, suamiku terus membanting tulang demi mendapatkan hasil yang maksimal. Jerih payahnya itu membuahkan hasil yang luar biasa. Ia bisa memperbaiki taraf perekonomian keluarga. Kehidupan keluargaku beranjak meningkat, lebih baik. Buktinya, kami sudah sanggup lengser dari rumah orangtua, mengontrak rumah di bilangan Pamulang, Jakarta Selatan. Tak hanya itu, aku bisa membeli sebuah mobil baru jenis minibus. Yang membanggakanku, aku bisa membantu kehidupan saudara-saudaraku yang lainnya. Saat itulah, aku kembali mengambil Bella. Kami hidup dalam kebahagiaan. Seakan angin surga telah berhembus di keluargaku. Suamiku sangat memperhatikan keluarganya, menyanyangiku dan putriku sepenuh hati. Dia sangat baik sekali, ia bekerja terus menerus untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama. Hanya bertahan sekitar tiga tahun. Di tahun 2000 seiring meningkatnya ekonomi keluarga berimbas pula dengan perubahan perilaku Yanto yang cenderung negatif. Ia sering pulang larut malam bahkan terkadang dini hari baru tiba di rumah. Pertengkaran pun bewarnai keluargaku. Selama adu mulut itu berlangsung, aku banyak mengalah. Hal ini aku lakukan demi kepentingan keluarga yang lebih besar. Dan aku teringat pesan kedua orangtuaku agar menghindari pertengkaran setelah berumah tangga. Yang terpenting harus saling percaya dan memegang teguh kejujuran. Saat itu aku sedang mengandung anak kedua. Pada suatu hari: saat aku sedang membersihkan kamar, betapa terperanjatnya aku menemukan celana dalam perempuan yang bermerk beken dan masih baru di dalam sebuah bungkusan. Aku terkejut bukan kepalang, karena celana dalam itu bukan milikku. Suamiku dengan mudah berkilah bahwa celana dalam baru itu sengaja ia belikan untukku. Karena kesibukan kerja, ia belum sempat memberikannya kepadaku. Itulah alasannya. Aku tidak percaya, aku anggap itu silat lidah untuk menutupi kesalahannya saja. Aku cemburu, mengamuk dan minggat dari rumah bersama Bella. Untuk sementara, aku menginap di rumah kakak kandungku. Di sanalah aku banyak berkeluh kesah. Tak lama kemudian, suamiku datang menyusul. Ia memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ia sempat meneteskan air mata dan mencium telapak kakiku, Karena suamiku sudah memohon ampun seperti itu. mau tidak mau akhirnya hatiku luruh. Aku dan suamiku kembali pulang ke rumah. Namun, Bella tetap kutitipkan pada kakak kandungku itu. Awalnya, Yanto menunjukan sikap yang baik kepadaku. Ia kembali membelaiku. Ternyata, kemesraan ini tidak lama, hanya bertahan kurang lebih dua minggu. Kelakuan suamiku semakin hari semakin tampak aneh. Aku dan suamiku bertengkar kembali. Puncak konflik terjadi, ketika handphone suamiku tertinggal di rumah. Sepuluh menit sekali telepon selular itu berdering. Diriku curiga karena tidak mengenal nomor yang tertera di layar telepon genggamnya. Aku coba menghubungi kembali nomor tersebut. Tak kuduga, pemilik nomor selular itu adalah seorang perempuan yang tidak kukenal. Dalam pembicaraan, wanita tersebut mengenal suamiku. Ya Tuhan, apa yang terjadi terhadap suamiku dan wanita ini? Apakah pikiranku yang sudah terbuang jauh-jauh, bahwa suamiku berselingkuh akan terwujud? Aku terus menyelidiki. Hasilnya, wanita `asing' itu mengaku bias berkenalan dengan suamiku melalui perantaraan seseorang, yang biasa dipanggil 'mami'. Hatiku terpana, ketika wanita itu mengatakan bahwa dirinya sering berhubungan dengan Yanto. Bahkan wanita itu juga berani menghujatku yang katanya tidak bisa memuaskan suami. "Kalau kamu bisa melayani suami, tidakmungkin ia lari. Kami sudah sepuluh kali berhubungan intim di sebuah hotel di daerah Menteng, Jakarta Pusat," inilah perkataan yang membuat hatiku terbakar. Perasaanku pedih, sangat pedih! mengetahui tabiat buruk Yanto yang sebenarnya. Ia kembali menoreh dosa. Ingin rasanya aku membunuhnya yang tega berselingkuh dengan pelacur. Kendati demikian, aku tidak menginginkan rumah tanggaku hancur berkeping-keping. Akibat perbuatannya, suamiku menderita sakit. Aku sebagai seorang istri tetap setia merawat dan memberikan kasih sayang. Sebenarnya aku sudah memiliki firasat tidak baik, kalau suamiku itu bisa mengidap HIV/AIDS karena perilakunya. Dan ternyata memang benar!... Tertular HIV Tahun 2000 aku dikaruniai anak kedua, kuberi nama Titon. Setahun setelah buah hatiku lahir, barulah penyakit suamiku itu semakin bertambah parah. Tadinya aku bingung penyakit yang diderita suamiku, aku mengira salah makan. Kubawa dia ke dokter. Hasil pemeriksaan darah menunjukan HIV positif. Semakin hari tubuh suamiku semakin mengurus. Dan akhirnya suamiku kembali kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Sepeninggal suamiku, aku merasa waswas dengan kondisi tubuhku. Ternyata benar, laboratorium menganalisis bahwa diriku tertular-HIV. Kurasakan masa depanku suram. Bahkan hidupku semakin tidak berarti dan terkucilkan secara sosial. Karena sakit-sakitan, pimpinan perusahaan tempatku bekerja meminta agar aku mengundurkan diri. Hatiku semakin ciut, ketika seluruh karyawan membuat pernyataan yang berisi "Kami tidak setuju Yanti dipekerjakan di perusahaan ini. Kami mohon agar Yanti dikeluarkan," Aku harus tabah, harus tabah! Dan siap menerima kenyataan pahit. Aku yakin Tuhan akan memberikan rejeki untukku dan kedua anakku. Tuhan tidak akan menyia-nyiakan ciptaan-Nya. Namun demikian, aku bersyukur karena perusahaan itu memberikan sedikit dana kebijaksanaan, uang pesangon. Aku terperosok, sangat terperosok. Sanak keluargakulah yang masih memberiku semangat. Aku didukung untuk tetap tegar menapaki hidup ini, termasuk melupakan luka traumatik akibat dijauhi lingkungan kerja. Tiga bulan kemudian aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi, pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat bagi diriku dan orang lain. Aku dipercaya Dr.Syamsurizal untuk bekerja di tempatnya. Tugasku di sana memberikan semangat hidup dan motivasi bagi penderita AIDS seperti diriku ini. Aku sangat senang sekali memperoleh pekerjaan ini. Semangat hidupku pun tumbuh berlipat-lipat. Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku harus menerima kenyataan buruk untuk kesekian kalinya. Bulan Mei dua tahun silam, anakku Titon ternyata juga menderita HIV/AIDS. Hal ini aku ketahui setelah memeriksakan kesehatannya dan hasil dari laboratorium menyatakan ia positif terkena HIV. Raut wajahku terus terbelenggu memandangi muka mungil Titon. Sejak semula aku sudah curiga kalau Titon akan tertular penyakit yang berbahaya itu. Perkembangannya pun sangat lambat. Usia dua tahun belum bias berjalan dan berbicara, Badannya juga kecil. Namun, aku terus berharap agar semua itu tidak terbukti. Aku pun harus terus memperhatikan kesehatannya, bermainnya. Matanya cekung, kulitnya sedikit kasar dan berbintik-bintik halus, raut mukanya juga tidak cerah. Hidupnya hanya mengandalkan obat- obatan dari dokter. Bila tidak, badannya akan membumbung panas. Sekali berobat, aku harus mengeluarkan dana sebesar Rp 250 ribu. Ya Tuhan, ampuni dosa-dosa keluargaku. Lelehan air mata tak bias kubendung. Aku terus menangis dan menangis menerima kenyataan pahit untuk sekian kalinya. Hatiku pun bergolak kembali. Tapi aku tidak boleh larut di dalam kesedihan ini, aku harus melawan virus HIV itu bersama anakku. Aku tidak mau menghentikan obat yang diberikan dokter, nanti bisa semakin parah. Aku akan berusaha menjalani hidup yang diberikan Tuhan dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Kini, hidup matiku kuserahkan kepada Tuhan. Dokter memperkirakan usiaku bisa bertahan lima tahun. Namun, hingga kini, Tuhan masih memberikan kasih sayangNya kepadaku. Yang kuinginkan, kepergianku tidak menyusahkan orang lain. Dan aku berharap sekali ada yang mau menjaga anakku. Kalaupun kemudian aku meninggal, aku tidak ingin dalam keadaan kurus seperti suamiku, aku ingin tetap cantik. Aku sudah pasrah siapakah yang lebih dahulu dipanggil Tuhan, apakah diriku, atau Titon. Aku rela, kalau aku yang dipanggil terlebih dahulu, mudah-mudahan anakku ada yang memeliharanya. Sekarang, aku sudah bisa hidup kembali ke lingkungan masyarakat. Sumber: "Ya Tuhan, Suamiku mewariskan HIV…" - www.amanah.or.id