Mbak...Koq suratnya terpotong yaaa?... Lagi serius nih bacanya... soalnya saya sekarang sedang persiiiiiiiis mengalamai hal yang sama... Ihiks...puyeng deeeh....
-----Original Message----- From: ingga gloriana [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, June 16, 2003 1:04 PM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: RE: [balita-anda] SURAT UNTUK MAMAKU SAYANG Makasih Mbak Rina,Umi Farhan & Zaafa, Mbak Hernawan. Regards, Ingga --- hernawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > di bawah sendiri ada artikel yg dicopy pastekan > pemenang lomba karya tulis dr > www.alhikmah.com > > semoga bermanfaat .. > > On Sun, 15 Jun 2003, Rina Sofiany wrote: > > > Mbak Ingga, sebetulnya saya juga punya obsesi yg > sama, sudah selesai ambil > > master kok "hanya" jadi ibu rumah tangga, apalagi > saya sempat mengenyam > > dunia kerja yg sesuai dengan bidang keilmuan saya. > Ditambah lagi rasa > > "berhutang" kepada negara (maklum..subsidi > pendidikan saat itu banyak > > Mbak Ingga juga bis ajadi "mama plus", bukan an > ordinary mama. Dengan > > pengetahuan dan wawasan yg mbak miliki, Insya > Allah semanya bisa berguna > > untuk mendidik buah hati. > > > ====== > > > > Mbak, saya jadi sedih nih.. Gimana ya.. saya baru > > lulus S2, dalam angan2 saya tentu saja ingin > > mengamalkan ilmu yg saya peroleh dg kerja keras > ini. > > Tapi kalo inget anakku Elle yg baru 5 1/2 bln, > jadi > > bimbang juga. Apalagi setelah membaca surat ini. > ===== > > MENGEJAR KEBAHAGIAAN HAKIKI* > Penulis:DIANA MARDIAHAYATI ([EMAIL PROTECTED]) > Tanggal:7.05.2003 > > Alhikmah.com -Kamu serius mau berhenti kerja? > Suamimu sudah kaya ya? > > Degg! Kaget, heran, sedih, terhenyak, semua > perasaanku bercampur baur. Tak > menyangka ucapan kasar itu muncul dari mulut kolega > kerjaku, mbak X (sebut > saja demikian) yang selama ini boleh dikata > merupakan dosen yang khusus > kubantu dalam penanganan tes massal di kampusku. > Kata tak santun dari > mulut seseorang yang berpendidikan tinggi, kaum > terpelajar! > > Dengan muka ungu menahan amarah yang coba kupendam, > kutelusuri wajah > ayunya. Sama sekali tak bergeming dari rautnya yang > tegang. Kami sama-sama > membara. Sedetik berlalu, kutinggalkan ia. > 'Time-out'sekaligus menurunkan > ketegangan emosi yang memenuhi dada masing-masing. > > Hari ini seolah memang bukan hari indahku. Bagaimana > tidak, tiba-tiba saja > segala problema yang selama ini berusaha sekuat > tenaga aku pendam, > termuntahkan, dan ditambah dengan ucapan spontanku > untuk mengundurkan diri > dari pekerjaanku sebagai dosen fakultas psikologi. > Aku lelah, lelah mental > terutama. Ibarat aku menetap di dalam rumah tanpa > jendela dan cahaya, > pemberontakanku mencapai titik klimaks. Aku ingin > bebas dari situasi > ini. Bebas, BEBAS! Biarlah orang bicara apa saja, > asalkan aku bebas.... > > > > ******* > > Menjadi dosen adalah pilihan karirku, cita-citaku. > Mungkin karena aku > dibesarkan dalam keluarga guru, dan budaya membaca > demikian kental dan > mengasyikkan. Dedikasi tinggi dari bapak dan ibu > terhadap pekerjaannya, > begitu memukau pesona. Bahwa ilmu yang diajarkan > insya Allah takkan > berhenti di satu terminal, namun akan terus mengalir > dan mengalir beserta > pahalanya. Jadilah aku menggapai asaku, memenuhi > harapan orang tuaku, > sekaligus menobatkan predikat psikolog di bahuku. > > Semula segalanya berjalan baik-baik saja. Menikah, > dan kemudian lahirlah > putri sulungku, Kuni. Kami pindah ke daerah > Cimanggis, dengan memboyong > serta Yu Ri'ah. Masalah mulai muncul ketika ia > ternyata tidak kembali lagi > dari kampungnya setelah lebaran usai. Aku tak > kunjung mendapatkan > penggantinya yang memadai. Jujur saja, mungkin > standar dan tuntutan > terhadap calon khadimat terlalu tinggi dan ideal. > Bagaimana tidak, dia > haruslah seorang yang sabar dan ngemong terhadap > anakku. Terus-terang, > agaknya ini dipicu oleh pengalaman mengamati > anak-anak tetangga baruku di > perumahan itu yang kebanyakan nakal dan diasuh oleh > pembantu, sementara > sang ibu bekerja seharian penuh di kantor. Tentu > sulit mencari khadimat > yang sempurna sesuai gambaranku kala itu. Beberapa > kali aku mendapat > khadimat baru, hanya bertahan sebentar, dengan > beraneka ragam kendala dan > hambatan. > > Begitulah, akhirnya aku tidak punya pilihan lain > kecuali selalu membawa > anakku ke kampus. Kuni yang saat itu baru berusia > satu tahun selama hampir > setahun lamanya kubawa-bawa selama aku mengajar. Ia > ikut ke kelas, ikut > membaca di perpustakaan bagian, atau bahkan ikut > rapat rutin seminggu > sekali setiap hari Kamis. Yang sering terjadi adalah > ia kelelahan menanti > mamanya bekerja, hingga kadang-kadang tertidur di > bilik shalat. Sementara > aku terpaksa tidak dapat lagi ikut terlibat dalam > kegiatan pelatihan siswa > SMU/STM yang rutin diadakan Bagianku. Kucoba menutup > telinga atas komentar > teman-teman dosenku, namun lama-kelamaan aku > menyadari bahwa itu sangatlah > tidak adil buat mereka. Perlahan-lahan keadaan ini > membuka celah mata > hatiku. Meresahkanku, mengusik hati nuraniku. Ya > Rabb, apa yang sebenarnya > kucari selama ini? Mencari materi alias uang > sebanyak-banyaknya? Mempertahankan gengsi karena > berhasil menjadi dosen di > kampus negeri yang ternama seantero Indonesia dalam > usia muda? Setimpalkah > semua itu dengan pengorbanan anakku yang masih > belia? Bukankah seharusnya > terbalik, akulah yang semestinya berkorban untuknya, > unuk kehidupannya, > demi kebahagiannnya? Bukankah itu esensi terindah > dari seorang ibu? Bukan, > atau iya? Bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW > bahwa surga di bawah > telapak kaki ibu? Namun telapak kaki ibu yang > bagaimana? Rasanya aku bukn > kategori ibu demikian. Astaghfirullah, > astaghfirullah.... > > Sejuta pertanyaan bertalu-talu, sama layaknya sejuta > jawab beterbangan di > isi kepalaku. Pusing, bingung, frustrasi, seolah > kaki tak tahu harus > melangkah ke mana. Sungguh suatu ironi seorang > psikolog tak mampu mencari > jawab atas problema hidupnya sendiri. Setiap > bertanya kepada teman > sejawat, fokus mereka selalu berlabuh pada karir dan > karir. Anak bisa > dititipkan kepada ibu atau mertua, carilah pembantu > dari yayasan, kalau > perlu dua orang, kamu harus bisa menyiasati keadaan, > dan bla bla, > bla.... Semua itu bagiku tidak memberi jalan keluar > karena bertentangan > dengan prinsip hidupku dan suamiku. Bagi kami, anak > identik dengan amanah > yang perlu dan harus dipertanggungjawabkan. Lalu di > mana tanggung jawab > kami bila amanah itu dengan seenaknya dititipkan, > terlebih pada ibu dan > ibu mertua yang kebetulan masih aktif bekerja? > Apakah itu justru bukan > saat yang tepat untuk berisitirahat bagi ibu-ibu > kami yang sudah berusia > paruh baya? > > Saat itu kuteringat dengan firman-Nya dalam Al > Qur'an surat Al Baqarah, > 286,Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai > dengan > kesanggupannya.... Apakah ini menyiratkan agar aku > bersegera bertindak > atas lingkaran setan problemku? Namun jauh di > permukaan, entah mengapa, > aku masih saja terjebak dalam dilema, hati ini masih > berbolak-balik, > antara keinginan untuk mencoba bertahan atas karirku > yang susah payah > kubangun semenjak masih kuliah, berhasil menjadi > lulusan terbaik, bahkan > === message truncated === __________________________________ Do you Yahoo!? SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month! http://sbc.yahoo.com --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]