----- Original Message -----
From: RiTa SeTyaNingRuM

ANAK SEPASANG BINTANG
Bunda ..., jadah itu artinya apa?"
Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka pertanyaan itu akan keluar dari
sela bibir mungilku, gadis kecilnya yang baru berumur lima tahun. "Kenapa
Sayang?" Bunda bertanya sambil mendekapku di dadanya.
"Orang-orang menyebutku seperti itu," jawabku dengan sangat polos. Aku
memeluk Bunda semakin erat dan merasakan perlindungannya.
Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.
"Bunda ..., apa saya punya Ayah? Orang-orang itu bilang saya tak punya
Ayah," tanyaku. Bunda baru saja selesai mendongeng padaku waktu itu. Bunda
tertegun begitu lama.
"Ada!" tegas Bunda meyakinkanku. "Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya?"
Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu berkepinding. Berjalan ke
halaman tanpa penerangan.
"Kau lihat langit di atas sana?" Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya.
Aku mengangguk mengiyakan. "Ayahmu ada di sana!" jawab Bunda meyakinkan.
Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan taburan berjuta bintang
tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana.
Tapi aku tidak ingin bertanya lagi. Barangkali ayahku adalah satu di antara
kerlip bintang-bintang itu. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan
mengatakan aku tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya.
* * *
Sejak kecil aku cuma punya Bunda. Perempuan yang miskin tanpa harta tapi
penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk menyerap luka-luka.
Dengan upah seadanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa keluarga,
Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan jadi
orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.
Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri. Mengasuh anak yang terus
tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang. Tapi tidak sekalipun
aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam aku terbangun dan
melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah.
Setiap kali aku menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang
kemudian menjadi jawabannya. Seperti menguak luka yang tak pernah kering
sama sekali. Lalu aku jadi tak pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya.
Sebab Bunda terlalu mulia untuk terluka.
Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya tidak boleh sia-sia.
Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu semangatku untuk
belajar dengan giat. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara sejak duduk
di
bangku SD hingga SMU. Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan Bunda. Aku
diterima masuk tanpa test di salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota
Pontianak. Sekarang aku bahkan telah diterima bekerja di salah satu Bank
Syariah terkemuka yang baru berdiri. Aku ingin menjemput Bunda untuk
mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak.
* * *
Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran aku akan bisa hidup dengan
tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa ayahku tidak akan
memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia menjelma jadi
kutukan yang mengikuti kemana pergi.
Aku telah dewasa kini. Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga
orang lelaki shaleh yang datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga
kali pula aku terpaksa menolaknya. Aku takut menceritakan keluargaku. Aku
tak mungkin mengatakan bahwa aku anak sebuah bintang.
"Rabbi ..., aku hanya ingin tahu siapa lelaki yang menjadi ayahku. Hanya
itu. Apa aku durhaka pada Bunda?"
"Kau beruntung masih mempunyai Bunda. Aku dibesarkan di panti asuhan, tak
tahu siapa keluargaku." Asti , teman satu kamarku mencoba menghiburku.
Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung mempunyai Bunda. Dalam sujudku
malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada Allah untuk membahagiakan
Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum bunga.
* * *
Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah seorang tetangga kami di
kampung
dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku. Padaku ia cerita Bunda sedang
sakit. "Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi tak mau cerita. Bunda bilang
tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku pikir kau memang perlu tahu!"
Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Tempat tidur yang
sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa mendekap, mendongeng dan
berdoa sebelum lelap menyergapku.
"Kenapa Bunda tidak memberitahuku?" tanyaku setelah mencium tangannya.
"Bunda tak mau pikiranmu terganggu," jawabnya sambil tetap mengukir senyum
di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin lemah saja. "Bunda ingin
mengatakan
sesuatu tentang ayahmu, ia ...,"
"Tidak perlu, Bunda," potongku cepat. "Jangan katakan apa-apa. Tidak ada
yang perlu Bunda jelaskan tentang masa lalu. Bunda tetaplah Bunda.
Perempuan
yang dicipta dari seribu kuntum bunga!"
Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia biasa. Mungkin pernah
khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah anugerah Allah
terbesar dalam hidup ini. Dua hari kemudian Bunda berpulang ke Rahmatullah.
Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti waktu kecil dulu saat aku
bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan menunjuk ke arah langit.
Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang. Bunda kini telah
pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu kini. Jika
seorang
lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang keluargaku, aku
akan
mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!



---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke