Hilangnya Kewarasan Juru Pengadil 

KEADILAN milik sedikit orang. Celakanya, belum tentu yang benar yang mendapat 
keadilan. Yang lebih tragis ialah bila anak-anak yang innocent dan masa 
depannya masih panjang justru yang tidak memiliki keadilan itu.

Perlakuan tidak adil terhadap anak-anak, bahkan kekerasan terhadap anak-anak, 
merupakan salah satu masalah sosial serius di negeri ini. Di mana-mana dapat 
ditemukan dengan sangat gampang bagaimana anak-anak di negeri ini diperlakukan 
dengan semaunya, seakan-akan anak tidak memiliki hak-hak asasi. Hanya orang 
dewasa yang memiliki HAM!

Sebaliknya, dalam hal yang seharusnya anak tidak boleh diperlakukan sebagai 
orang dewasa atau disamakan dengan orang dewasa, justru itu yang dilakukan. 
Anak dipenjara dalam satu sel dengan penjahat orang dewasa dan diadili pula 
seperti orang dewasa. Bahkan, lebih buruk daripada perlakuan terhadap orang 
dewasa karena tidak didampingi pengacara. Bisakah dibayangkan, bagaimana 
seorang anak mampu membela dirinya dengan dalil-dalil hukum di muka pengadilan?

Kasus terbaru terjadi di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, 
Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, yang terendus pers awal pekan ini. Yakni, 
disidangkannya Muhammad Azwar, bocah kelas III SD yang baru berusia delapan 
tahun. Raju, begitu Muhammad Azwar biasa disapa, disidang karena berkelahi 
dengan Armansyah, temannya yang baru berumur 14 tahun, pada 31 Agustus tahun 
lalu. Perkara yang mestinya bisa diselesaikan antaranak atau antarorang tua itu 
harus masuk ke meja hijau.

Maka, mulailah mimpi buruk dalam kehidupan bocah lugu itu. Di ruang sidang, 
hakim memasang wajah garang, berteriak, dan membentak Raju. Hakim 'memvonis' 
bocah yang mestinya tidak layak berada di ruang sidang itu telah memberi 
keterangan berbelit-belit.

Akibatnya, sejak 19 Januari lalu Raju ditahan selama 14 hari di Rumah Tahanan 
(Rutan) Pangkalan Brandan. Di tempat itu, bocah yang masih membutuhkan belaian 
kasih sayang orang tua itu dikurung bersama para penjahat dewasa. Padahal, UU 
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tegas-tegas melarang penahanan 
anak bersama-sama pelaku pidana dewasa dalam satu ruang. Kian jelaslah bukan 
hanya keganjilan yang terjadi di pengadilan itu, melainkan juga hilangnya 
kewarasan.

Hukum bukan cuma tercerabut dari tujuannya, yakni tegaknya keadilan, melainkan 
juga hukum telah dipakai sewenang-wenang oleh para juru pengadil itu. 
Undang-undang dan kitab-kitab rujukan hukum telah diselewengkan dan ditafsirkan 
seenaknya.

Hak anak-anak yang mestinya mendapat perlindungan hukum secara ekstra malah 
dirampas para juru pengadil. Padahal, UU Nomor 03 Tahun 1997 tentang Pengadilan 
Anak jelas-jelas menyebutkan pengadilan merupakan pintu terakhir penyelesaian 
kasus kenakalan anak. Itu pun bila dosis kenakalannya sangat tinggi. Sedangkan 
Raju, ia hanya berkelahi, tindakan yang sangat biasa dalam dunia anak-anak.

Kasus itu semakin menunjukkan betapa bobrok dan salah arahnya penegakan hukum 
di negeri ini. Penegak hukum tidak tahu lagi kepada siapa palu keadilan 
diayunkan.
 
M Tri Agus 
http://triagus.multiply.com

Kirim email ke