-http://www.krlmania.com/gado/read.php?id=127

March 7, 2006, 
Panti Asuhan Raudhotunnisa Membutuhkan Uluran Tangan Kita

Minggu, 5 Maret 2006 akhirnya saya ditemani suami berkesempatan menyambangi 
Panti Asuhan Raudhotunnisa (terimakasih Pak Wawan dari milis BA-Depok atas info 
alamatnya). 

Hujan deras yang mengguyur Depok sepanjang siang hingga sore itu sempat 
mengurungkan niat saya untuk pergi, tapi karena memang sudah niat, tak lama 
setelah hujan
masih menyisakan rintik-rintik saya pun berangkat. 

Tak mudah mencari alamat panti asuhan tersebut. Sepanjang Jalan Cilodong
yang dua kali disusuri tak ada secuil pun plang nama petunjuk. Alhamdulilah 
berdasarkan informasi tukang ojek, perjalanan diarahkan ke Komplek Pabuaran 
Indah. Sampai di komplek itu masih belum ada
petunjuk sama sekali. Beruntung sekali lagi seorang Bapak tukang ojek dengan 
baik hati mengantarkan kami hingga mulut gang panti. 

"Panti Asuhan Raudhotunnisa," plang nama yang sudah kusam terpasang di
dinding. Sekali mengucapkan salam, muncul seorang anak laki-laki
tanggung yang mempersilakan kami masuk. Hmm, kami pun masuk ke ruangan
kosong berubin putih yang kosong melompong. Hanya ada selembar karpet
kusam dan dipojok dinding ada lemari kayu berisikan Al Qur'an dan
setumpuk buku-buku. Si anak lelaki itu mempersilakan kami langsung
masuk ke ruang tengah. "Langsung ke dalam saja bu soalnya si ibunya
sedang sakit jadi tidak bisa jalan," katanya.

Dan benar, kami mendapati seorang ibu, lebih tepatnya seorang nenek
yang duduk di pinggir ranjang. Sementara di lantai ada dua orang
lelaki yang rupanya tamu si ibu itu. Tidak lama kami datang, si tamu
tersebut pulang.

"Iya neng, mak sudah dua bulan sakit. Nih kaki bengkak abis jatuh.
Udah di urut, disuntik belum sembuh juga. Mak pengen cepet sembuh
soalnya kesian si bocah-bocah kagak ada yang ngurusin," katanya sambil
nunjukin kaki kanannya yang sakit.

Ibu itu, Hajjah Tiana, tampak bersemangat menceritakan soal `para bocah 
asuhannya.' Meski sudah sepuh (usianya 80-an tahun), baik bicara maupun 
pendengarannya masih jelas. Kedua matanya pun masih sehat.

'Wajahnya bersih dan segar. Ini mungkin karena si Ibu selalu dekat dengan anak 
yatim. Saya membatin.

Dari hasil ceritanya yang melompat-lompat terangkum cerita kalau panti
asuhan itu sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Sebagai penduduk asli
daerah tsb pasangan Hj Tiana dan sang suami memwakafkan sebagian
tanahnya untuk dibangun Panti Asuhan dan sekolah madrasah. Sejak
ditinggal wafat suaminya di tahun 90-an, praktis ibu itu yang
menjalankan roda panti. Total anak yatim yang disantuni ada 78 orang,
dimana 25 orang tinggal di panti asuhan itu, dengan rata-rata usia SD
- SMP. Sebagian besar adalah dari daerah sekitar Pabuaran - Cibinong,
tapi ada juga yang datang dari Padang hingga Medan. 25 anak yang
tinggal disitu terdiri dari 10 anak perempuan dan sisanya laki-laki.

"Sehari-hari kaga cukup uang 50 ribu buat makan si bocah-bocah. Itu
juga cuman makannya nasi sama tempe, atau sayur. Tapi untung mereka
ngertiin. Yang paling bingung tuh bayar gurunya. Mak kelimpungan
kemarin kaga ada uang, tapi Alhamdulilah ada saja rejeki, jadi bisa
buat nutup," jelasnya dengan mata menerawang.

Saya bisa memahami apa yang jadi pikiran si Ibu itu. Seadainya beliau
sehat, biasanya si Ibu ini rajin berkeliling memberikan ceramah dari
satu tempat ke tempat lain sekalian menjemput dana bagi siapa saja
yang berniat menyumbang. Setelah sakit, praktis beliau tidak bisa
pergi kemana-mana. Mengharapkan dana santuan dari pemerintah pun
rasanya jauh dari angan, karena selama ini mereka mengusahakan apa-apa
sendiri.

Saya pun minta ijin untuk melihat-lihat ruangan sambil memotret dengan
diantar oleh anak perempuan si Ibu itu. Bangunan permanen dua lantai
itu banyak ruang bersekat tapi minim jendela, sehingga kesannya gelap
dan lembab. Di beberapa atapnya tampak tidak sempurna menyebabkan
beberapa tempat bocor. 

Di kamar laki-laki, tampak beberapa ranjang tiga tingkat dengan kasur
tanpa seprai. Tampak berantakan sekali. Pemandangan tersebut tak beda
dengan di kamar perempuan. Kardus-kardus disusun menjadi tempat
pakaian. Dengan penerangan yang minim, tampak beberapa anak asyik
membaca majalah. Saya sempat mengintip dapur. Tampak ada sebakul nasi
dingin dan satu baskom sayur asem yang menyisakan kuahnya saja. 

Beralih ke bangunan TK, tampak fasilitas yang sederhana. Hanya ada dua
mainan anak. Sementara di ruang guru, hanya ada satu buah meja dan 
beberapa bangku plastik. 

"Pengen sih nambah mainan, kursi, lemari, dan banyak lagi dah. Tapi ya
mau gimana lagi dananya yang kaga ada, " ujar Ibu Tartila, si anak Ibu
itu. Saya cuma mengangguk. Memang betul panti asuhan ini minim fasilitas.

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Saya pun kembali menemui si Ibu
untuk berpamitan, sambil mengangsurkan sedikit uang yang tidak
seberapa sambil bertekad untuk datang kembali di lain kesempatan.

'....Alangkah beruntungnya kami yang diberikan rejeki lebih dari
anak-anak itu. Meski demikian kadang kami banyak tidak bersyukur. Saya
pribadi salut sekali dengan si Ibu tersebut. Meski usianya sudah
lanjut, tapi semangatnya masih tetap tinggi. Semangat untuk tetap
memperjuangkan hidup anak yatim.....'

Kenapa, kok diam ? Suara suami membuyarkan pengembaraan pikiran saya.
Seakan tahu yang ada di kepala dan hati saya, suami pun berujar, 
"Insya Allah kita datang lagi kesana!"

Dan kami pun pulang.

Buat teman, sahabat, kerabat, tetangga, dan siapun yang membaca sepotong kisah 
ini, yuk mari kita bantu meringankan beban si Ibu
tersebut. Wujud riil bantuan kita sudah tentu akan sangat membantu
meringankan beban si Ibu itu, apalagi manakala kebutuhan hidup terus
melangit. Buat makan, bayar upah honorer guru, beli buku-buku, bayar
ujian persamaan, dan banyak lagi. Akan lebih bermanfaat jika sumbangan
berbentuk uang langsung. Dan jika memang repot untuk mengirimkan,
mereka bisa ditelpon untuk menjemput dana. 

PANTI ASUHAN RAUDHOTUNNISA
Jl Masjid Al-Barkah Rt 004/02 Kp. Bedahan Pabuaran
Cibinong
telp 8765915, 8763523


Reply via email to