anak kita...
=========
kita?????
ellluuuuuu..!!! :P~

*ngetes mba ini negatip apa pocitip*




"MAMA  JJ" <[EMAIL PROTECTED]> 
03/09/2006 03:33 PM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
<balita-anda@balita-anda.com>
cc

Subject
Re: [balita-anda] kegagalan empati






Mba Noni,

Hehhe Papa JJ emang misoa I... JJ stands for Jacqueline Joanne..anak 
kita...

----- Original Message ----- 
From: "Noni Mira Timotius" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "balita-anda" <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Thursday, March 09, 2006 1:43 PM
Subject: [balita-anda] kegagalan empati


> Kegagalan Empati..
>
>
>
> Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas satu.
Sebut
> namanya Iskandar. Ia anak konglomerat ternama.
>
> Bukan cuma bapaknya yang pedagang besar. Kakek moyangnya pun demikian.
> Mereka adalah rezim saudagar terkenal sejak era abad pertengahan. Ketika
> Pires berkata, ''Tuhan menciptakan Timor untuk pala, Banda untuk lada, 
dan
> Maluku untuk cengkih,'' di sanalah kakek moyang Iskandar berperan.
>
> Iskandar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD
unggulan
> berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah
> (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4
> kilometer setiap hari). Seorang sopir dan ''baby sitter'' mengantar dan
> menungguinya setiap hari saat ia belajar.
>
> Laiknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah pelajaran
yang
> diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak kelas
satu,
> sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan kata-kata
yang
> tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.
>
>
> Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat 
karangan
> tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng 
sekolah.
> Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah,berharap dapat 
menumbuhkan
> empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain
> yang tak berpunya. Iskandar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang
> andal. Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun
secerdas
> ibunya saat harus membuat hitung-hitungan dan perbandingan.
>
> Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ''Menulislah
> dengan hati,'' begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat. Lalu,
dengan
> sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Iskandar
> menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia
> menamai tokoh dalam karangannya sebagai Pak Abu.
>
> ''Pak Abu,'' tulisnya, ''adalah orang yang sangat miskin. Benar-benar
> miskin, sampi-sampai pembantunya juga miskin, sopirnya miskin, dan 
tukang
> kebunnya pun miskin.''''Karena sering tak punya uang, Pak Abu jarang
> membersihkan kolam renang di rumahnya. Ia juga hanya bisa memelihara
> ikan-ikan kecil di akuarium seperti lou han yang makannya sedikit, tidak
> seperti arwana dan koi di rumahku. Kucing siam punya Pak Abu juga kurus,
> soalnya kurang makan. Ayam yang ia pelihara juga yang kecil-kecil, jenis
> kate.''
>
> Iskandar yang berpikir bebas menulis karangannya itu dengan penuh haru. 
Ia
> sesekali mengernyitkan dahi. Ia berpikir dirinya tak mungkin bisa
> menanggungkan kemiskinan seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu.
> Alangkah malangnya keluarga Pak Abu, pikirnya. Jangan-jangan 
anak-anaknya
> harus berebut saat bermain PS2, karena alat permainan itu hanya ada satu
di
> ruang keluarga. Lain dengan di rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar
> Iskandar, di kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya .
>
> Sopir dan pembantu Pak Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena tidak 
seperti
> pembantu dan sopir dirinya. Iskandar membandingkan handphone yang 
dipegang
> sopir dan pembantu Pak Abu mungkin jenis monophonic yang ketinggalan
zaman,
> lain dengan handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa 
kirim
> MMS.
>
> Ia membayangkan kepala urusan dapur di rumah Pak Abu mungkin hanya bisa
> belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di perempatan jalan.
> Padahal, pembantu di rumahnya sangat biasa berbelanja ke hypermarket
Prancis
> dan mal-mal. ''Anak-anak Pak Abu,'' tulisnya dengan empati penuh, 
''kalau
> liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku. Mereka hanya bisa
> berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang murah, low cost carrier.''
>
> Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu. Saya
hanya
> mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. Bukan karena orangnya tidak
tulus,
> tapi ia memang tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia di
luar
> dirinya. Iskandar adalah wakil dari kegagalan itu.
>
>
> Saya kembalikan kepada Anda kisah-kisah di luar. Masih teringat saat
seorang
> menteri berkata, ''Kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan gunakan
> elpiji,'' apa komentar Anda?
>
> Bagi saya, itu adalah kegagalan empati. Mungkin karena sekadar kurangnya
> wawasan dia tentang penderitaan, mungkin juga karena kemalasan melihat
dunia
> luar. Bayangkan setelah si menteri berkata seperti itu, harga minyak 
tanah
> melambung tiga kali lipat. Kita tentu tak berharap pejabat itu akan
berkata,
> ''Kalau tidak mampu beli minyak tanah, jangan gunakan minyak tanah.''
Lalu,
> ketika harga beras melonjak sekian kali lipat, ia pun berpidato lagi,
> ''Kalau tidak mampu beli beras, jangan makan nasi.''
>
> Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di
dalamnya
> tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati 
kepada
> orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan sebagai
orang
> miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan?
>
>
>
> Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat
> mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang hanya 
bergerak
> kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam.
>
> Pemerintah kita mendefinisikan kemiskinan sebagai hasil perhitungan dari
> sebuah nilai subsidi. Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu
> sebagai batas kemiskinan. Kurang dari angka itu berarti miskin dan 
berhak
> mendapat santunan Rp 100 ribu. Persoalannya, orang yang berpenghasilan 
di
> antara Rp 175 ribu dan Rp 275 ribu masuk kategori apa? Tidak jelas,
kecuali
> satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di negeri ini.
>
>
>
> Selamat Pagi dan Selamat Bekerja....Selamat Mengucapkan Syukur Pada Sang
> Pemberi Rejeki & Tuhan Memberkati
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> ================
> Kirim bunga, http://www.indokado.com
> Info balita: http://www.balita-anda.com
> Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
> Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
>
>



================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke