Dear all. Ini ada tulisan ok seorg doter di milis sebelah ttg virus n bakteri.. n knapa ada dokter yg selalu meresepkan Ab saat sakit tnp uji bakteri Smoga bs jd pencerahan yah..
Uci mamaKavin Date: Wed, 15 Feb 2006 13:13:35 +0900 From: Tonang Ardyanto <tonang.milist@ > Subject: Si virus, obat dan sistem imun ... (1) Mohon maaf kepada dr Wati dan para senior, berikut ini sekedar bacaan selepas kerja, tentu sangat jauh dari "menu" untuk para senior. Tonang ===== Kalau kita menganggap secara sederhana unit kehidupan terkecil adalah sel, maka sebenarnyalah si virus ini hanya "setengah hidup". Kalau bakteri memiliki perangkat lengkap DNA dan RNA, si virus hanya punya salah satu saja. Karena setengah hidup, maka antibiotika - anti terhadap yang "bio", yang hidup - tidak mempan melawan virus. Karena itu hehehe .... Penyakit pada anak-anak nggak perlu antibiotika ? Hmm, kita baca dulu deh ... Namun, karena sifat "setengah hidup" ini pula, virus butuh sel yang hidup untuk "ditumpangi". Begitu masuk tubuh manusia, segera si virus mencari sel manusia untuk tumpangan. Setelah masuk sel, si virus akan berusaha menguasai sel tempatnya menumpang, dengan menguasai sistem di dalam sel dan menjadikannya home-base. Sebelum benar-benar menguasai sel tempatnya menumpang, virus perlu waktu, ini yang kita kenal sebagai masa inkubasi. Setelah menguasai itulah, si virus akan menimbulkan penyakit beragam bentuknya, dengan melepaskan berbagai "peluru dan meriam". Masalahnya, kalau sudah berhasil menguasai suatu sel, kemudian menjadikannya home-base serangan, maka bumerang buat si virus, karena kemudian sel itu akan mati dan pertahanan si virus menjadi terbuka. Akibatnya apa ? Si virus harus beralih mencari "home-base" baru. Sementara itu, saat tubuh manusia kemasukan si virus tamu tak diundang, tentu saja tidak tinggal diam. Segera mereka membentengi diri, sehingga ketika virus sudah menguasai sel, kemudian pertahanannya terbuka dan harus mencari "home-base" baru, akan terlanjur terhadang pertahanan tubuh. Jadilah si virus kehilangan sumber kehidupan, dan berakhirlah riwayatnya. Karena itulah para SP disini sangat paham paradigma : penyakit akibat virus bersifat self-limiting disease - lama-lama si virus juga mati sendiri - dan tidak perlu antibiotika. Lha kok kemarin katanya bisa saja diberikan obat ? Ceritanya .... Seperti disebut diatas, tentu tentara tubuh tidak akan sekedar melongo di markasnya melihat si virus merajalela. Terjadilah perang baratayudha, antara Pandawa yang berbaju putih (sel-sel darah putih) melawan Kurawa berjas hitam (Men in Black eh si virus maksudnya). Saking hebohnya pertempuran, tubuh si anak jadi demam. Mengapa ? Karena si kurawa ini termasuk tentara yang meski sakti, penampilan seram bak preman pasar ...mana aja deh, ketimbang di-somasi .... tapi manjanya nggak ketulungan. Kalau tubuh manusia demam, dia jadi cepat lelah, nggak garang lagi. Sementara si putih, kalau terjadi demam, malah makin giat bertempur, makin giat mencetak tentara baru. Karena itulah para SP sudah sangat paham : kalau anak demam jangan buru-buru panik dan memberi obat. Mengapa ? Asal pertahanan memang kuat, terus suhu tubuh naik, maka virus makin cepat dikalahkan ... Mengapa kadang diperlukan obat ? Ceritanya ... Setiap hari, sebenarnya banyak musuh mengancam tubuh manusia, ada si virus hitam, ada si hijau bakteri (termasuk kerabatnya si parasit semacam cacing kemarin). Tetapi sebaliknya, tubuh juga punya tentara. Kita cerita soal sistem imun tubuh dulu deh. Tentara tubuh terbagi atas 3 batalyon utama : penyerang/pemukul, intelijen dan markas. Si penyerang/pemukul ini siaga di semua lini dari pintu gerbang (kulit, selaput lendir, permukaan usus) sampai siap diterjunkan melawan musuh di segala medan dalam tubuh manusia. Si intelijen bergerak lincah mengawasi setiap sudut, mengenali mana kawan mana lawan, memberikan informasi kepada penyerang : mana yang harus diserang, mana yang harus di-blokade, mana yang harus hati-hati tidak boleh gegabah dihancurkan. (catatan : batalyon intelijen ini mah kelasnya jauh di atas yang melakukan operasi intelijen terhadap anggota DPR penyelidik impor beras hehehe ....) Si batalyon markas bekerja di litbang, merancang setiap strategi serangan maupun memproduksi senjata ampuh (antibodi) berdasarkan informasi dari batalyon intelijen. Informasi setiap musuh yang pernah menyerang, disusun dalam database, agar tentara lebih siap kalau suatu saat si musuh yang sama kembali menyerang. Nah, meski banyak si hijau (bakteri) yang setiap saat mengancam tubuh Manusia, tetapi nasibnya lain dengan virus. Kalau virus, dia bisa masuk tubuh melalui berbagai teknik kamuflase dan "kunci palsu" sehingga - lagi-lagi karena sifat setengah hidupnya tadi - tidak mudah terdeteksi oleh tentara tubuh penjaga pintu gerbang, bahkan seringkali bisa menipu mentah-mentah, licin bagai belut, cerdik bagai kancil, tidak kalah dengan jagoan kita : I am Bond, James Bond ... Lain dengan si hijau, dasar orangnya "lugu", seragamnya norak, gaptek lagi, tentara tubuh cepat mendeteksi. Jadilah pada saat tentara segar-bugar, siap senjata, si hijau hanya bisa sekedar melakukan provokasi, sementara tentara tubuh bahkan sudah siap kalaupun harus melakukan pre-emptive strike. Saat tubuh bertempur baratayudha, tentulah dia akan banyak kehilangan Sumber daya, konsentrasinya akan terfokus, pertahanannya akan rentan. Saat-saat seperti itulah, si hijau (bakteri) punya peluang mencari celah masuk tubuh manusia, memanfaatkan kesempatan. Terus gimana coba ? Harus diberi "antibiotika" ? Bisa dibayangkan, kalau saat harus bertempur, padahal sehari-hari si tentara ini sudah kurang makan, kurang gizi, bahkan kurang personel gara-gara nggak ada bakal tentara yang memenuhi syarat (tumbuh kembang tubuh kacau). Karena itulah, pada kondisi tertentu, diperlukan "doping" power dari luar ("obat") agar para tentara itu sanggup mempertahankan tubuh dari pertempuran melawan virus, sekaligus membentengi diri terhadap provokasi si bakteri. Kapan kira-kira pasokan power dari luar ini diperlukan ? Faktor-faktor yang gampang dipahami : kalau pertempuran melawan virus sudah kelewat lama, analisa terhadap profil pertahanan tubuh sebelumnya mengindikasikan banyak Kelemahan (sudah sering sakit-sakitan, tumbuh kembang terganggu), atau bila tanpa disadari si bakteri sudah terlanjur menembus barikade pertahanan. Siapa yang menilai kebutuhan pasokan dari luar ini ? Bisa dari tubuh itu sendiri yang mengibarkan bendera dan berteriak minta tolong (misalnya kejang akibat demam mendadak, panas tinggi terus menerus tanpa perbaikan, nyeri yang sangat) atau terlihat dari luar muncul tanda-tanda sudah ada penyusupan bakteri yang memperparah serangan si virus (terbentuk pus/discharge, pembengkakan, dan pemeriksaan lab tentunya). Dalam hal ini, Security Council (Doctor) lah yang akan menilainya. Berlanjut .... Date: Wed, 15 Feb 2006 13:16:46 +0900 From: Tonang Ardyanto <tonang.milist@ > Subject: Si virus, obat dan sistem imun .... (2) Hmm, sampai mana ya ? Seperti banyak disampaikan : virus itu tidak ada obatnya. Secara ringkas ini jelas salah, wong ada yang namanya "obat anti virus" (antiviral therapy) kok ! Tapi, dua-duanya perlu dipahami lebih dalam. Memang, seperti paparan sebelumnya, secara langsung virus itu sendiri tidak bisa di-mati-kan seperti antibiotika mematikan bakteri (ada sih zat yang bisa mematikan virus secara langsung seperti detergen, alkohol, formaline, tapi kan nggak mungkin meminumnya untuk membunuh virus di dalam tubuh). Lantas, antivirus itu untuk apa ? Untuk bisa memasuki suatu sel, perlu "kunci". Agar virus bisa masuk dengan aman, maka dia bisa memiliki "kunci palsu" yang mirip dengan kunci asli. Dengan cara ini tentara penjaga pintu gerbang maupun barisan intelijen tidak mendeteksinya, karena dianggap "teman" sendiri. Melengganglah virus dengan santai masuk pintu di dinding sel. Begitu masuk pintu ini, sebenarnya kebanyakan virus tetap meninggalkan jejak yang tertangkap radar barisan intelijen, bahkan ada yang "jaket" (envelope) si virus ini sudah bisa menimbulkan infeksi. Masalahnya, setelah terlanjur virus masuk sel, barisan intelijen dan batalyon pemukul bingung karena kalau akan dihancurkan, sel itu masih "keluarga" sendiri. Nah, satu kelompok obat antivirus berusaha mencari jalan menghambat kerja virus mencari home-base ini, paling banyak dengan teknik "kompetisi" menutup Celah di dinding sel yang "kunci palsu"nya sudah dipegang si virus. Kelompok antivirus lain, berusaha mengganggu kerja virus dalam menumpang dan menguasai home-base-nya. Dalam teknik ini ada risiko memang, meski sudah diminimalkan, kadang terpaksa sel home-base-nya ikut rusak dalam usaha menghancurkan virus yang "menyusup" ke dalamnya. Yah daripada terlanjur dikuasai virus, terus jadi home-base serangan, terpaksa mengorbankan satu sel keluarga sendiri ... Disamping itu, ada kelompok obat antivirus yang berusaha memperingan efek penyerangan virus dengan cara menghambat kerja "peluru dan meriam" (zat-zat tertentu yang dikeluarkan si virus) penyebab sakit pada tubuh manusia. Sejauh ini, belum ada obat antivirus yang 100% berhasil menahan/menghambat/menghancurkan virus. TETAPI efeknya tetap signifikan dalam : memperingan efek serangan virus, meminimalkan efek sisa paska serangan dan memperingan kemungkinan penularan terhadap orang lain. Sebagai contoh : pada Herpes zoster, pemberian Acyclocyr akan efektif bila mulai diberikan sebelum 24 jam pertama. Mengapa ? Agar masih ada kesempatan untuk melawan kerja si virus, sehingga sequele (gejala sisa) bisa minimal. Kalau terlambat, virus terlanjur menguasai keadaan, maka dia akan sempat membentuk "tempat persembunyian" di pangkal pembuluh syaraf, kemudian suatu ketika kembali menyerang. Ternyata, ada juga virus yang makin pinter. Virus hepatitis B atau HIV misalnya, bisa melakukan teknik "doormant". Begitu masuk sel, dia melihat bahwa suasana di luar sel tidak kondusif untuk melakukan serangan (tentara siap, alutsishan lengkap, modern, canggih dan terpelihara - nggak kayak F16 kita - intelijen rutin patroli, radarnya bisa mengcover seluruh medan - lagi-lagi nggak kayak punya kita - dan litbangnya juga tekun bekerja). Menghadapi ini, si virus akan "sembunyi" dengan cukup menumpang saja, yang penting tidak mati, tidak ambisius menguasai sel tempatnya menumpang. Sampai suatu saat nanti, tentara pas lemah - mungkin situasi politik lagi goyah - si virus bangun dari tidurnya dan menyerang manusia. Karena itu, masa inkubasi HIV bisa bertahun-tahun, baru benar-benar menimbulkan masalah. Apakah virus itu memang kerjanya hanya bikin susah ? Hmm, ternyata Tuhan memang maha bijaksana. Memanfaatkan sifatnya yang "bak James Bond", jenis virus tertentu bisa kita "titipi" zat terapetik, kemudian di-infeksikan agar memasuksi sel-sel tertentu dalam tubuh kita, sehingga zat terapetik itu ikut terbawa kesana. Pada lapangan Gene-Therapy, si virus ini kita "rekayasa" agar memiliki sifat genetik tertentu, kemudian kita infeksikan, dia memasuki sel-sel dalam tubuh, menguasai sel tersebut, sehingga akhirnya sel tersebut berubah sifat genetiknya sesuai keinginan kita. Tentu saja, untuk ini dipilih virus-virus yang sudah "dijinakkan". Di bagian selanjutnya, bagi saya merupakan masalah yang cukup pelik dan tingling ... Yaitu, bagaimana memutuskan menggunakan antibiotika ? Date: Wed, 15 Feb 2006 14:33:04 +0900 From: Tonang Ardyanto <tonang.milist@ > Subject: Si virus, obat dan sistem imun ...(3) Ini bagian yang rasanya paling sulit untuk ditulis bagi saya ... Pertanyaan ©¯lantas kapan antibiotika selayaknya diberikan pada infeksi yang kebanyakan akibat virus© adalah hal yang sulit dijawab dengan tuntas. Mengapa ? Benar, 90 (atau 95%) penyakit saluran pernafasan pada anak-anak disebabkan virus. Benar, bahwa antibiotika bukan obat untuk virus, karena yang membunuh adalah sistem pertahanan tubuh. Sebaliknya, benar pula bahwa infeksi virus bisa menimbulkan kerentanan. Benar bahwa karena rentan, bakteri bisa ©¯menumpang© ikut menyerang. Dan jelas bakteri itu obat-nya antibiotika (tentu dengan sistem pertahanan tubuh juga). Lantas, bagaimana kita tahu bahwa bakteri sudah menumpang ? Jawaban standar : dibuktikan dengan tes laboratorium. Berapa hari pemeriksaannya ? Berapa bayarnya ? Selama menunggu itu bagaimana ? ... Urut-urutan dasar seorang dokter menegakkan diagnosa seharusnyalah tetap melewati prosedur baku : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, baru diagnosa. Setelah diagnosa ketemu, barulah ada terapi. Bagaimana melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, adalah hal-hal yang boleh dianggap ©¯inti© dari ilmu menjadi seorang dokter. Soal penentuan/interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, bahkan soal analisis hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dibaca-baca ilmunya. (ilmu kedokteran itu sebenarnya open-book, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang namanya "jurus guru jurus cantrik"). Tetapi ketika sampai pada ©¯melakukan dan menganalisis anamnesis, melakukan dan menganalisa pemeriksaan fisik©, disinilah faktor ©¯the man behind the gun© akan berbicara. Dan hal inilah yang paling sulit dicapai melalui fasilitas ©¯maya© semacam rubrik konsultasi cetak/online dan milist. Sebagian besar ú kalau tidak ingin dikatakan hampir semua ú dokter tahu dan sadar soal ©¯kesalahan© melakukan poli-farmasi, soal risiko resistensi antibiotika, soal virus dan banyak hal lain. Masalahnya, ketika berhadapan dengan pasien, yang ada adalah ©¯harus membuat keputusan©. Agar fokus, ketika berhadapan dengan pasien bayi/anak-anak dokter juga sadar bahwa ©¯anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini©, penyakitnya bisa lain, perjalanan penyakit bisa lain, respon terapinya lain, efek dan side-effect obatnya juga lain ú let alone soal-soal yang lebih ©¯simple© semacam menghitung dosis obatnya. Mengapa diberikan antibiotika ? Mengapa tidak diperiksa laboratorium dulu ? Prinsip kedokteran jelas menyebutkan : menggunakan kemampuan tertinggi untuk sebesar-besar keuntungan pasien. Saya kira, kalau memang semua data bisa didapatkan dalam waktu sesingkat mungkin, semua dokter juga senang, karena lebih mudah baginya memutuskan. Beberapa dokter langsung memberikan antibiotika tanpa pemeriksaan laboratorium lebih dahulu, mengapa ? Secara obyektif, akan ada 2 kelompok alasan : Faktor medis : memang kondisi infeksinya sudah berat, untuk itu diberikan antibiotika narrow spectrum, sambil dilakukan pemeriksaan lab, untuk kemudian dilihat perkembangannya; atau dokter sudah tahu riwayat medis si pasien sebelumnya. Faktor non medis : memang pasien tidak mampu melakukan tes laboratorium lebih dahulu, kondisi lingkungan pasien tidak mendukung bila harus menunggu pemeriksaan lab lebih dahulu (higiene dan sanitasi kurang), dan sejenisnya. Kalau terus dikejar ©¯bagaimana tahu kondisi infeksinya sudah berat© ? Kembali, ananmesis dan pemeriksaan fisik secara langsung ú hampir ú tak bisa tergantikan oleh pemeriksaan ©¯jarah jauh© (sampai batas tertentu bisa dicapai dalam konsep referral and second opinion yang selayaknya). Kalau dikejar lagi ©¯tanpa laboratorium, bagaimana dokter berani menentukan antibiotikanya© ? Ada dua hal : 1. secara obyektif : darimana kita tahu bahwa ©¯setelah DPT anak demam ringan, membaik meski tanpa obat sekalipun©, atau bahwa ©¯kejang demam pertama kurang dari 5 menit, hanya 30% yang akan terulang©, atau juga tahu bahwa ©¯95% .... Karena virus© ? Itu semua adalah data statistik, diperoleh dari pencatatan secara berkesinambungan. Secara statistik pula dokter tahu bahwa ©¯penyakit X biasa disebabkan bakteri Y, yang memiliki respon terapi sekian persen baik dengan antibiotika A, tetapi resisten terhadap antibotika B©. 2. secara subyektif : keunggulan dokter ditentukan juga oleh pengalamannya, yang akan membentuk "intuisi". Dan bicara "intuisi", tentu kita paham, ini bukan soal untuk diperdebatkan "intuisinya", yang bisa dinilai hanya "hasil"nya. Bagaimana di lapangan ? Saya tidak berani memastikan, tetapi menghadapi kenyataan seperti itu di lapangan, saya kira akan ada 3 kelompok dokter : 1. Di sisi ekstrem kiri dari kurva normal - saya berusaha mengikuti pola dr Wati soal kurva normal ini - akan ada sekelompok dokter yang "emang gue pikirin" pokoknya kasih obat dengan berbagai alasan. 2. di sisi ekstrem kanan dari kurva normal, akan ada sekelompok dokter yang berusaha teguh memegang "teori" sambil berusaha sekuatnya mengikuti perkembangan. Yang begini ini - maaf lho - tentu memerlukan jiwa besar dan ketegaran menghadapi "mekanisme pasar". 3. sebagian besar dokter akan berusaha mengambil jalan tengah, melihat situasi-kondisi pasien. Tetap mengikuti teori dan perkembangannya, berusaha melakukan edukasi, tetapi juga mau melakukan kompromi (sampai batas-batas tertentu). Ah, itu kan dokter-nya yang nyari untung ? Soal untung, itu relatif, tetapi tidak perlu dipungkiri bahwa dokter juga memikirkan self-interest. Mulai soal yang relatif "kecil" semacam nggak dapat pasar, sampai ke yang jauh lebih serius : memang kalau dokter meyakinkan bahwa "Bu ini nggak perlu antibiotika karena 95% disebabkan virus" tetapi 2-3 hari kemudian anak tiba-tiba masuk ke kondisi shock-septic, dokternya nggak akan disalahin dan bisa membela diri karena "lha saya kan ada dasar ilmunya bilang begitu" ? Iya sih, tetapi berarti itu dokternya "nggak pede" dong ? Pada akhirnya ilmu kedokteran itu bukan sekedar "ilmu" tetapi juga "art". Dokter diharuskan mampu meniti tali antara simpul "teori by book" di satu ujung dengan "cost-benefit-ratio" di sisi lain. Apakah berarti dokter tidak "pede" ? Bisa terjadi demikian kalau dia tidak sanggup "meniti tali ilmu dan seni" tadi, tetapi tidak akan terjadi kalau memang memiliki kemampuan profesional untuk membuat judgement. Lho, kalau ternyata kekhawatiran dokter itu "salah" kan bisa berabe ? Menghadapi ini, ada yang mengatakan : risiko obat itu jelas bisa diprediksikan, tetapi risiko penyakit sulit diperkirakan. Ibaratnya, daripada menanggung risiko kena "penyakit" masih lebih enak menanggung risiko "obat". Apakah sesederhana itu ? Tentu saja tidak, justru kembali ke awal tadi : how doctor he/she is .... Terakhir - lha sudah panjang banget je ternyata - saya jujur masih termasuk kelompok dokter di "tengah-tengah kurva" tadi, sesuai dengan kondisi lapangan yang waktu itu saya hadapi. Tentu, saya mengikuti perkembangan. Usaha edukasi tetap saya jalankan, tetapi sampai batas tertentu, saya juga tetap melakukan kompromi. Yuk, dance ya ... Mau gambyong pareanom, srimpi, atau bedhaya ? Heheheh ... tonang Uci mamaKavin http://oetjipop.multiply.com Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]